Pertahankan Daya Listrik 450 VA, Pemerintah Berkomitmen Wujudkan Energi Berkeadilan
Tenaga Ahli Utama KSP Hageng Nugroho menuturkan, pemerintah memiliki komitmen kuat mewujudkan energi berkeadilan. Hal ini ditempuh, antara lain, dengan selalu memastikan ketersediaan dan keterjangkauan energi bagi warga.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berkomitmen mewujudkan energi berkeadilan dengan selalu memastikan ketersediaan dan keterjangkauan energi bagi masyarakat, terutama mereka yang masuk kategori menengah ke bawah. Penegasan Presiden Joko Widodo tentang tidak adanya penghapusan dan pengalihan listrik dengan daya 450 volt ampere dinilai merupakan bukti konkret keberpihakan pemerintah terhadap rakyat kecil.
”Masyarakat tidak perlu resah karena pemerintah selalu memastikan akses energi yang andal dan terjangkau demi mewujudkan energi yang berkeadilan,” kata Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Hageng Nugroho di Gedung Bina Graha, Jakarta, Rabu (21/9/2022).
Sebelumnya, dalam keterangannya kepada media di Gerbang Tol Gabus, Kabupaten Bekasi, Provinsi Jawa Barat, Selasa (20/9/2022), Presiden Jokowi mengatakan bahwa pemerintah tidak menghapuskan dan tidak mengalihkan golongan pelanggan listrik dengan daya 450 volt ampere (VA). ”Tidak ada, tidak ada penghapusan untuk yang 450 (VA). Tidak ada juga perubahan dari 450 (VA) ke 900 (VA), tidak ada,” kata Presiden Jokowi.
Pada kesempatan tersebut, Kepala Negara juga menuturkan bahwa pemerintah tidak pernah berencana membuat peraturan mengenai hal tersebut. Bahkan, subsidi pemerintah untuk masyarakat pengguna daya listrik 450 VA juga masih tetap diberikan.
Pemanfaatan masih rendah
Secara terpisah, Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov menuturkan, salah satu tantangan di sektor ketenagalistrikan adalah pemanfaatan listrik oleh masyarakat di Indonesia yang relatif masih rendah. Hal ini tecermin dari masih rendahnya konsumsi listrik per kapita yang hanya 1,1 megawatt hour (MWh).
”(Apabila) dibandingkan (di antara) negara di G20, Indonesia menjadi negara terbuncit, terkecil, dalam hal konsumsi listrik per kapita,” kata Abra pada diskusi publik bertajuk Dampak Kenaikan Harga BBM dan Isu Penghapusan Daya Listrik 450 VA yang digelar secara daring, Rabu.
Sebagai perbandingan, negara anggota G20 umumnya memiliki tingkat konsumsi energi listrik rata-rata 5-6 MWh per kapita pada 2020. Negara dengan konsumsi listrik per kapita tertinggi adalah Islandia, yaitu 51 MWh per kapita dan disusul Norwegia 23,2 MWh per kapita. Adapun konsumsi listrik di negara anggota Uni Eropa, seperti Finlandia, Swedia, Irlandia, Austria, dan Slowakia, pada umumnya berkisar 5-14 MWh per kapita.
”(Hal) ini sebetulnya menjadi kelemahan sekaligus peluang. Kalau masyarakat kita, rumah tangga ataupun industri, bisa didorong lagi untuk meningkatkan konsumsi listrik per kapita, itu pada gilirannya juga bisa mendukung pertumbuhan ekonomi karena mencerminkan aktivitas ekonomi yang meningkat. Jadi, konsumsi listrik kita masih di bawah level optimal,” kata Abra.
Menurut Abra, Indonesia tidak mengalami masalah dari sisi pasokan listrik. Masalah terjadi pada sisi permintaan. ”Antara target pemerintah di sisi suplai—untuk meningkatkan pasokan listrik yang tecermin dari dokumen RUPTL (rencana usaha penyediaan tenaga listrik) di beberapa tahun terakhir—dan realisasi konsumsi listrik terjadi mismatch, terjadi disparitas antara supply dan demand,” ujarnya.
Abra mengatakan, kesenjangan antara pasokan dan permintaan listrik nasional tersebut cukup besar jika dilihat dari olahan data tahun 2012 sampai 2021. Pada 2021, misalnya, dari pasokan listrik sekitar 349.803 gigawatt hour (GWh) kapasitas terpasang, yang terjual oleh PLN hanya 257.634 GWh.
”Jadi, terdapat oversupply kurang lebih 26 persen. Nah, kalau dirata-rata dalam satu dekade terakhir, sama, rata-rata oversupply-nya setiap tahun itu 25 persen. Artinya, ada potensi ekonomi kita yang idle, yaitu dari sisi supply listrik kita mubazir, terbuang sia-sia karena sudah dibangun pembangkit listriknya, tetapi tidak termanfaatkan secara maksimal,” kata Abra.
Kalau dirata-rata dalam satu dekade terakhir, rata-rata oversupply setiap tahun itu 25 persen. Artinya, ada potensi ekonomi kita yang idle, yaitu dari sisi supply listrik kita mubazir, terbuang sia-sia karena sudah dibangun pembangkit listriknya, tetapi tidak termanfaatkan secara maksimal.
Apabila diasumsikan BPP atau biaya pokok penyediaan listrik tahun 2021 Rp 1.333 per kWh, maka ketika dikalikan dengan total kelebihan pasokan didapatkan potensi pemborosan sekitar Rp 122,8 triliun. Pemborosan ini harus ditanggung oleh PLN, APBN, dan juga masyarakat.
”Sehingga kenapa subsidi dan kompensasi listrik setiap tahun tetap tinggi, ya, salah satunya karena masih tingginya oversupply. Di tahun lalu, nilai subsidi dan kompensasi listrik totalnya Rp 74,5 triliun. Nilai subsidi dan kompensasi ini juga berpotensi terus meningkat dari tahun ke tahun karena tadi, melihat dari sisi hulunya, oversupply kita masih belum dibenahi,” ujar Abra.