Pusat Perbelanjaan Pulih, Ritel Masih Hadapi Tantangan
Pusat belanja mulai pulih. Sejalan dengan itu, tantangan pasar ritel masih besar seiring perubahan perilaku konsumen dan daya beli.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kinerja pusat perbelanjaan dilaporkan mulai pulih. Sejalan dengan itu, industri ritel menunjukkan tren membaik, meski dihadapkan sejumlah tantangan pergeseran pasar.
Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja mengemukakan, tingkat kunjungan ke pusat perbelanjaan terus meningkat sejak Ramadhan dan Idul Fitri tahun 2022. Ini sejalan dengan terkendalinya penyebaran Covid-19 dan berbagai pelonggaran yang diberikan pemerintah.
“Saat ini, bahkan tingkat kunjungan di beberapa pusat perbelanjaan telah mencapai 100 persen pada waktu-waktu tertentu,” kata Alphonzus, saat dihubungi di Jakarta, Selasa (20/9/2022).
Ia memprediksi, rata-rata tingkat kunjungan ke pusat perbelanjaan hingga akhir tahun 2022 akan mencapai 80-90 persen. Kondisi ini jauh lebih baik dibandingkan tingkat kunjungan pada tahun 2020 yang hanya sekitar 50 persen dan tahun 2021 sekitar 60 persen.
Secara terpisah, Dewan Penasihat Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Tutum Rahanta menambahkan, kinerja pusat belanja yang semakin membaik diikuti secara paralel dengan membaiknya aktivitas di sektor ritel. Saat ini, kinerja sektor ritel rata-rata mencapai 80-90 persen jika dibandingkan kondisi normal sebelum pandemi Covid-19.
Meski demikian, industri ritel yang terbagi ke dalam subsektor makanan dan minuman serta kebutuhan sehari-hari; produk sekunder dan sandang; serta kelompok hiburan memiliki kondisi beragam. Sebagian subsektor ritel saat ini mulai pulih, tetapi ada pula yang masih bergerak lamban.
Subsektor yang membaik, namun bergerak pelan antara lain produk sekunder. Perilaku konsumen menggeser arah pasar. Ritel yang memiliki keunikan produk berkembang pesat, dan sebaliknya, usaha ritel yang tidak adaptif semakin tertinggal. Di sisi lain, faktor daya beli dan pergeseran perilaku konsumen turut memengaruhi.
“Persaingan di sektor ritel semakin ketat, serta perubahan perilaku konsumen turut memengaruhi pasar ritel,” ujar Tutum.
Tutum menambahkan, upaya peritel untuk mengadopsi perkembangan belanja secara daring tidak cukup untuk bisa bertahan dan melaju. Diperlukan pula strategi dan adaptasi agar produk yang ditawarkan memiliki keunggulan, keunikan, dan sesuai perkembangan selera pasar saat ini. Peritel perlu lebih fokus melihat selera konsumen.
Adapun ritel-ritel baru yang muncul masih perlu dibuktikan daya tahannya. Konsistensi produk dan layanan perlu teruji untuk bisa mempertahankan pasar. Apalagi, saat ini muncul fenomena gerai-gerai yang tutup meski sempat viral di media sosial.
“Ritel harus bisa fokus menonjolkan keunikan bisnis, karena konsumen begitu luas. Tidak bisa lagi membidik seluruh segmen,” katanya.
Sementara itu, Senior Associate Director Research Colliers Indonesia Ferry Salanto, berpendapat, proyeksi sentimen positif serta atmosfer kondisi sektor ritel yang terlihat membaik akan mendatangkan lebih banyak permintaan ruang ritel pada semester II-2022.
“Kunci sektor ritel lebih cepat pulih adalah saat tidak lagi ada pengetatan mobilitas masyarakat dan kasus Covid-19 tidak banyak lagi,” katanya, dalam paparan kinerja sektor properti semester I-2022, beberapa waktu lalu.
Ia menambahkan, terbatasnya jumlah pasokan mal yang akan datang menjadi faktor yang bisa mendorong meningkatnya tingkat okupansi di mal-mal yang ada saat ini. Dari sisi pasok, penambahan mal tidak terlalu signifikan jika dibandingkan perkantoran. Di Jabodetabek, terdapat penambahan tiga mal baru hingga tahun 2025 dengan pasokan 350.000 meter persegi.
Di Surabaya, terdapat penambahan lima mal baru secara bertahap hingga tahun 2025 yang akan menambah pasok ritel sekitar 100.000 meter persegi.