Hampir 400 kontainer berisi produk impor hortikultura dilaporkan tertahan di tiga pelabuhan, yakni Tanjung Priok, Jakarta; Belawan, Medan; dan Tanjung Perak, Surabaya. Hal itu akibat disharmoni aturan yang dikeluarkan.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Disharmoni regulasi yang diterbitkan pemerintah membuat ratusan kontainer berisi produk impor hortikultura tertahan di tiga pelabuhan, yakni Tanjung Priok, Jakarta; Balawan, Medan; dan Tanjung Perak, Surabaya. Ombudsman Republik Indonesia akan memberi tindakan korektif agar ada solusi bersama antar-kementerian terkait.
Anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Yeka Hendra Fatika, di sela-sela tinjauannya di Terminal Petikemas Koja Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (19/9/2022), mengatakan, produk impor yang tertahan itu antara lain anggur, lemon, cabai kering, lengkeng, dan jeruk mandarin. Produk-produk tersebut legal.
Per Rabu (14/9//2022), ada sekitar 149 kontainer di tiga pelabuhan dengan volume 1.440 ton dan total nilai mencapai Rp 31,53 miliar (seluruh barang yang diimpor). Sementara itu, nilai kerugian akibat barang tertahan lama mencapai Rp 3,2 miliar.
”Sekarang sudah lebih dari itu. Barang-barang ini memiliki surat persetujuan impor dan semua dokumen kekarantinaan juga lengkap. Yang minus adalah tidak adanya RIPH (rekomendasi impor produk hortikultura) Kementerian Pertanian,” kata Yeka.
Merujuk Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 25 Tahun 2022, sebagai turunan Undang-Undang Cipta Kerja, imbuh Yeka, sudah tidak diperlukan RIPH sebagai syarat keluarnya surat persetujuan impor (SPI). Sementara itu, Peraturan Menteri Pertanian Nomor 5 Tahun 2022 mewajibkan syarat RIPH. Hal itu membuat adanya disharmoni regulasi.
Akibat tertahannya kontainer-kontainer produk impor hortikultura itu, lanjutnya, kerugian ditanggung pengusaha. Selain nilai produk tersebut, juga terkait biaya penumpukan dan listrik. Belum lagi biaya-biaya demurrage atau batas waktu pemakaian peti kemas di dalam pelabuhan yang dapat terus bertambah setiap hari.
Yeka menuturkan, produk-produk hortikultura itu memang bukan produk pertanian strategis. Namun, jika melihat rantainya, selain importir, juga melibatkan distributor, agen, pengecer, hingga konsumen. ”Jangan lupa, kita baru bangkit dari Covid-19 dan kini saatnya perekonomian tumbuh. Kerugian akibat ini tidaklah kecil,” ujarnya.
Di samping itu, ORI akan memberikan tindakan korektif agar kementerian-kementerian dapat menjalankan peran sesuai tugas pokok dan fungsinya. Pasalnya, disharmoni regulasi tersebut telah membuat pelayanan publik terganggu. Padahal, menurut dia, jika regulasi itu diniatkan untuk melayani publik, dapat dilihat juga misalnya ketepatan waktunya.
”Kami berharap, sebelum (ORI) melaporkan tindakan korektif kepada Presiden, Kementerian Pertanian dapat lebih dulu memberi solusi sehingga persoalan teratasi. Solusi agar masalah serupa tidak terulang di kemudian hari,” ujarnya.
Saat ini, kata Yeka, sudah ada 24 kontainer yang KT-13 atau dikenai surat penolakan, juga karena alasan tidak memiliki RIPH. Terhadap barang-barang tersebut, solusinya adalah direekspor, dimusnahkan, atau dikuasai negara.
Dalam kesempatan sama, Kepala Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok Kementerian Pertanian Hasrul menilai, permasalahan itu sekadar momentum yang tidak pas. Menurut dia, saat perizinan impor keluar, semestinya sebelumnya ada rekomendasi impor dari Kementan. Namun, ia mengakui, yang terjadi saat ini belum sinkron.
”Sebenarnya kalau kami kasih waktu sebulan, sudah selesai (urusan) barang ini. RIPH itu, kan, rekomendasi, lalu (Kementerian) Perdagangan keluarkan PI (perizinan impor). Namun, karena kami sebagai pelaksana teknis, hanya laksanakan tugas atau perintah, ketika diperintah (untuk) tolak, ya, tolak,” ujar Hasrul.
Dihubungi terpisah, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Veri Anggrijono menyampaikan, sesuai regulasi, sebagai tindak lanjut Undang-Undang Cipta Kerja, memang telah dihilangkan persyarataan rekomendasi/pertimbangan teknis. Namun, di sisi lain, Kementan, sebagai kementerian teknis, mewajibkan RIPH.
”Ini sedang kami sinkronkan. Saat saya masuk (menjadi Plt Dirjen Perdagangan Luar Negeri), kan, sudah berlaku peraturan-peraturan itu sehingga akhirnya ada pencekalan. Kami juga sudah dipanggil Ombudsman. Nanti (terkait sinkronisasi), Kemenko (Bidang Perekonomian) yang menangani. Ada juga sejumlah solusi, misalnya dari karantina. Jadi, terhadap persetujuan impor yang telah terbit sebelum diberlakukannya kembali RIPH bisa dikeluarkan (barangnya),” kata Veri.