Investor kadang lupa, tidak semua yang tertera dalam prospektus dapat menjadi kenyataan, termasuk soal imbal hasil investasi. Investor sebaiknya tidak mentah-mentah menghitung pengembalian dana sesuai prospektus.
Oleh
ANASTASIA JOICE TAURIS SANTI
·2 menit baca
Ketika merencanakan bisnis, perhitungan mengenai berapa modal, biaya, dan proyeksi keuntungan selalu dicantumkan dalam prospektus. Tentu saja tidak semua target indah dalam prospektus dapat tercapai. Sering kali asumsi yang dibuat ketika prospektus disusun berubah drastis di tengah jalan.
Untuk itu, para investor pada platform urun dana atau crowdfunding dianjurkan untuk selalu membaca terlebih dahulu prospektus bisnis yang ditawarkan. Penyelenggara urun dana menawarkan berbagai macam bisnis berskala usaha kecil dan menengah, seperti outlet makanan, minimarket, atau rumah kos, untuk didanai beramai-ramai dengan minimal investasi Rp 1 juta.
Biasanya yang dicari investor adalah tingkat pengembalian investasi. Untuk sebuah minimarket, misalnya, di prospektus tercantum imbal hasil 15-20 persen per tahun. Sedangkan untuk rumah kos, berkisar 10-13 persen per tahun.
Ada banyak faktor yang bisa membuat asumsi target tersebut meleset. Pada kenyataannya, sebagian besar memang berjalan tidak seperti yang tercantum dalam prospektus. Misalnya, saat pandemi, pembatasan mobilitas yang sangat berpengaruh membuat asumsi dalam prospektus sebuah kafe menjadi berantakan. Ada kafe yang selama berbulan-bulan merugi sehingga harus ditutup. Akibatnya, realisasi tingkat pengembalian pun hanya nol persen dari asumsi belasan persen.
Sebuah bisnis riil memang memiliki berbagai macam risiko. Risiko tidak mendapatkan izin usaha, risiko pengelolaan yang kurang baik, dan berbagai macam risiko lainnya. Investor kadang terlupa bahwa tidak semua yang tertera dalam prospektus dapat menjadi kenyataan, termasuk perihal imbal hasil investasi.
Dengan demikian, dalam menghitung pengembalian investasi, hendaknya investor urun dana tidak mentah-mentah menghitung sesuai prospektus. Pembagian dividen dari bisnis pada platform urun dana sebaiknya dicatat dengan cermat. Dengan demikian dapat diketahui besar perbedaan antara realitas yang diperoleh dengan yang dijanjikan di prospektus.
Sayangnya, ketika mendapati tingkat pengembalian sangat kecil dalam investasi platform urun dana, investor tidak bisa cepat-cepat keluar. Pasar sekunder untuk menjual atau membeli saham investasi ini masih sangat tidak likuid. Pasar sekunder hanya dilaksanakan sewaktu-waktu saja. Itu pun tidak semua bisnis membuka pasar sekunder.
Hingga saat ini, kalau ada investasi urun dana yang tidak sesuai dengan harapan, para investor hanya bisa bersabar dan berdoa agar bisnisnya berjalan semakin lancar.
Ke depan, harapannya otoritas terkait akan terus mengembangkan jenis investasi baru ini agar pasar sekunder menjadi semakin likuid sehingga dapat menjadi jalan keluar bagi investor yang mendapati bisnisnya tidak seindah di prospektus.