Gandum sebagai Bahan Baku, Apakah Bisa Terganti?
Menggantikan gandum dengan sorgum sebagai bahan baku industri makanan dan minuman tidak semudah membalik telapak tangan. Industri menanti kejelasan peta jalan dari pemerintah terkait pengembangan sorgum dari hulu-hilir.
Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk Franciscus ”Franky” Welirang merogoh mangkuk berisi tumpukan untaian mi kering yang terbuat dari tepung sorgum di hadapannya, pertengahan minggu lalu. Ketika dipegang, mi dengan rona merah pucat itu sontak hancur dan melebur menjadi serpihan kecil menyerupai serbuk tepung.
Franky mengibas sisa-sisa serbuk serpihan mi yang menempel di jarinya. ”Saya pernah coba kasih ini ke burung peliharaan saya, dia tidak mau, langsung di-lepeh, dibuang lagi,” katanya sambil terkekeh kecil.
Mi kering yang dipegang Franky itu adalah salah satu contoh produk pangan olahan sorgum yang sedang dipelajari di laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan PT Indofood Sukses Makmur Tbk Divisi Bogasari Flour Mills di Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Baca juga : Tekan Impor Gandum, Pemerintah Kembangkan Industri Sorgum
Mi tersebut 100 persen terbuat dari tepung sorgum merah. Bahan baku biji sorgum mentah dikirimkan oleh Kementerian Pertanian baru-baru ini ketika wacana pengembangan sorgum sebagai alternatif bahan baku industri untuk menggantikan gandum kembali digaungkan pemerintah di tengah ketidakpastian kondisi ekonomi dan ancaman krisis pangan.
Lantaran tidak memiliki campuran kandungan gluten dari tepung terigu yang berasal dari gandum, tingkat kepadatan dan kekenyalan mi sorgum memang jauh berbeda dibandingkan mi yang beredar di pasaran pada umumnya. ”Baru dipegang saja hancur, apalagi kalau dimasukkan ke air panas untuk dimasak. Malah jadi bubur sorgum itu, bukan mi sorgum,” ujar Franky.
Selain mi, produk olahan lain dari sorgum yang sedang diriset oleh Bogasari adalah makanan ringan berupa kue kering dan roti. Berbeda dengan mi sorgum, tingkat kepadatan, kerenyahan, tekstur, dan rasa kue kering dari sorgum tidak jauh berbeda dibandingkan biskuit pada umumnya. Orang awam bisa saja ”tertipu” dan mengira biskuit itu terbuat dari tepung terigu, bukan sorgum.
Kompas sempat mencoba beberapa olahan sorgum, seperti lidah kucing, biskuit kacang, keripik bawang, semprit keju, keciput, kukis vegan, dan roti chapati atau cane (flatbread). Berbagai kudapan itu juga 100 persen dibuat dari jenis tepung sorgum putih dan merah. Di antara semuanya, hanya roti cane sorgum yang tekstur dan rasanya terasa asing di lidah.
Dicampur
Herni Sutanto, Vice President Quality and Product Development PT Indofood Sukses Makmur Tbk Divisi Bogasari Flour Mills, mengatakan, untuk menghasilkan produk makanan ringan khas Indonesia yang umumnya diproduksi di level kecil dan menengah, tepung sorgum masih bisa digunakan 100 persen untuk menggantikan tepung terigu.
”Yang seperti itu memang lebih mudah pengolahannya dan lebih gampang diterima lidah masyarakat,” katanya.
Lantaran tidak memiliki campuran kandungan gluten dari tepung terigu yang berasal dari gandum, tingkat kepadatan dan kekenyalan mi sorgum memang jauh berbeda dibandingkan mi yang beredar di pasaran.
Namun, penggunaan tepung sorgum hingga 100 persen sulit diterapkan untuk produk makanan yang diproduksi dalam skala besar, seperti mi instan, atau untuk produk tertentu, seperti roti yang membutuhkan kandungan gluten agar bisa mengembang.
Hal itu bisa diakali dengan memproduksi tepung komposit atau campuran tepung sorgum dan tepung terigu dengan komposisi tertentu. Herni dan tim sempat mencoba mengolah mi instan dengan komposisi tepung sorgum 20-30 persen dan tepung terigu 70-80 persen.
Hasilnya tidak serapuh mi yang dibuat dari 100 persen tepung sorgum, meski tetap berbeda dari tekstur, tampilan, dan kekenyalan. ”Hampir mirip dengan mi biasa, tetapi warnanya lebih pucat, tidak kuning.Feel-nya juga berbeda, tidak terlalu kenyal. Memang perlu kampanye dan edukasi besar-besaran dulu ke masyarakat, agar mi seperti ini bisa diterima,” kata Herni.
Bukan asal sulap
Wacana pengembangan sorgum untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor gandum akhir-akhir ini memang menguat. Keterbatasan pasokan dan harga gandum dunia yang mahal membuat pemerintah kembali mencanangkan program pengembangan sorgum sebagai alternatif bahan pangan.
Presiden Joko Widodo telah berulang kali meminta pelaku usaha untuk mengembangkan industrialisasi bahan pangan berbasis sorgum dari hulu hingga hilir. Pelaku industri yang mengimpor gandum juga bakal didorong menjadi pembeli (offtaker) sorgum.
Franky menilai, mendorong sorgum sebagai penganekaragaman pangan sebenarnya bisa dan harus dilakukan di tengah ancaman krisis pangan. Saat ini, hal itu pun sudah dikembangkan oleh masyarakat dan industri rumah tangga di sejumlah daerah.
Namun, menurut dia, sorgum masih sulit didorong menjadi produk massal (mass production) atau sebagai bahan baku industri pengganti gandum. Selain kualitas dan cita rasa produk akhir yang berbeda, kendala utamanya adalah keterbatasan pasokan dan harga sorgum yang dibutuhkan industri berskala besar. Ini membuat pengembangan sorgum selalu kandas di tengah jalan.
Baca juga : Saatnya Kita Melihat ke Dalam
Atas dorongan pemerintah, Bogasari pernah memproduksi tepung komposit campuran sorgum dan gandum pada tahun 2011. Izin edar sudah didapat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada 2016. Namun, produksi dan pemasarannya terhenti pada tahun 2017 karena kekurangan pasokan sorgum. Harga sorgum juga saat itu lebih mahal daripada harga gandum impor.
Selain kualitas dan cita rasa produk akhir yang berbeda, kendala utamanya adalah keterbatasan pasokan dan harga sorgum yang dibutuhkan industri berskala besar.
”Sudah dikembangkan, dipasarkan, tapi begitu mau saya komersialkan, sorgumnya tidak ada, harganya mahal. Ya sudah, mesin sosohnya (untuk mencacah biji sorgum) masuk museum, saya justru rugi,” kata Franky.
Oleh karena itu, ia mempertanyakan kebijakan pemerintah yang kini kembali mewacanakan sorgum untuk menggantikan gandum. Tanpa jaminan pasokan dan harga hasil panen sorgum serta jaminan pasar, pelaku industri akan ragu untuk berinvestasi.
”Pasarnya memang ada, tetapi niche (kecil dan spesifik), bukan mass product. Investasi itu, kan, bukan asal sulap. Kita harus pesan mesin, cari teknologi, riset dan pengembangan, investasi sampai jutaan dollar. Bagaimana kalau di tengah jalan sorgumnya tidak ada?” ujarnya.
Hulu ke hilir
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia Adhi S Lukman mengatakan, pemerintah harus memiliki peta jalan yang jelas dari hulu ke hilir untuk meyakinkan industri menyerap sorgum sebagai bahan baku.
”Seperti apa pemetaan area lahan penanaman sorgum? Kapan mulai ditanam? Berapa yang bisa diproduksi? Seperti apa support benih dan pupuk terhadap petani-petani pionir? Itu harus dipastikan dulu,” katanya.
Di sisi lain, perlu ada kampanye dan edukasi juga kepada masyarakat mengenai keunggulan sorgum supaya pasarnya tercipta. ”Misalnya, sifatgluten free dari produk olahan sorgum ini sebenarnya bisa jadi daya tarik untuk masyarakat tertentu yang ingin hidup sehat,” ujarnya.
Senada, menurut Dekan Fakultas Pertanian IPB University Suryo Wiyono, strategi pengembangan sorgum dari hulu ke hilir harus dimatangkan. Dimulai dari identifikasi dan pemetaan pengembangan sorgum, riset teknologi produksi dan pengolahan, hingga fasilitasi industri perintis dan pemasarannya.
”Saya belum tahu apakah sudah ada industri besar yang sudah mau menampung (sorgum). Tapi, sebaiknya memang tidak terlalu bergantung pada 1-2 perusahaan saja. Perlu dikumpulkan industri perintisnya. Dan itu perlu dukungan fasilitasi dan insentif dari pemerintah,” tuturnya.
Direktur Pangan dan Pertanian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Anang Noegroho mengatakan, pendekatan transformasi sistem pangan berbasis lokal dari hulu ke hilir sudah disiapkan dalam perencanaan. Dari memastikan infrastruktur dasar, pengembanganbudidaya (on farm), sampai pengolahan dan pemasarannya (off farm).
”Jadi, tidak hanya Kementerian Pertanian yang akan terlibat dalam sorgum ini, tapi ada kerja sama dengan sektor-sektor lain,” ujarnya.
Pendekatan kita adalah produce what you can sell. Kita produksi apa yang memang jelas bisa kita jual.
Ia juga meyakini, pasar bisa tercipta. Kajian survei yang dilakukan pemerintah pada tahun 2021 terhadap 525 responden menunjukkan, 65 persen responden menyatakan sorgum dapat menjadi sumber pangan. Sementara 97,7 persen responden menilai sorgum bisa menggantikan beras.
”Pendekatan kita adalah produce what you can sell. Kita produksi apa yang memang jelas bisa kita jual. Artinya, pasarnya harus jelas karena kita tidak hanya berpikir untuk skala subsisten, tetapi juga seperti apa tata niaganya,” kata Anang.
Baca juga : Sorgum sebagai Alternatif Bahan Pangan