Penghentian Dini Operasi PLTU Bisa Tingkatkan Permintaan Energi Terbarukan
Selain terkait harga pembelian listrik dan insentif bagi badan usaha energi terbarukan, Perpres No 112/2022 juga memuat tentang ketentuan pensiun dini PLTU. Hal itu diharapkan mempercepat pengembangan energi terbarukan.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mendorong langkah penghentian operasi lebih dini pada pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU melalui sejumlah ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Hal itu dinilai bakal meningkatkan permintaan energi terbarukan di dalam negeri.
Dalam Pasal 3 Perpres No 112/2022 yang diundangkan 13 September 2022 itu disebutkan, peta jalan percepatan pengakhiran masa operasional PLTU memuat tiga hal. Ketiganya adalah pengurangan emisi gas rumah kaca PLTU, strategi percepatan pengakhiran masa operasional PLTU, dan keselarasan antarkebijakan lainnya.
Pada Ayat (4) pasal itu disebutkan, PLTU baru dilarang dibangun, kecuali untuk yang telah ditetapkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) sebelum berlakunya perpres. Artinya, seperti dalam RUPTL PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) 2021-2030, masih ada 13,8 gigawatt (GW) pengembangan PLTU batubara hingga 2030.
Dalam Perpres No 112/2022 juga disebutkan, PLTU beroperasi paling lama sampai dengan 2050. Dalam upaya peningkatan proporsi energi terbarukan dalam bauran energi listrik, PLN melakukan percepatan pengakhiran waktu PLTU milik sendiri dan/atau kontrak perjanjian jual beli tenaga listrik (PJBL) PLTU yang dikembangkan pengembang pembangkit listrik (PPL), dengan mempertimbangkan kondisi pasokan dan permintan tenaga listrik.
”Perpres itu mencoba membangun enabling environment untuk mendorong penetrasi energi terbarukan lebih cepat. Menurut saya, yang utama ialah terkait memensiunkan PLTU karena akan mempercepat permintaan energi terbarukan,” kata Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa saat dihubungi, Jumat (16/9/2022), di Jakarta.
Menurut Fabby, mulai tahun depan sudah seharusnya ada PLTU tua dan inefisien yang dipensiunkan atau dihentikan operasinya lebih awal. Hasil kajian IESR, ada sekitar 5 GW PLTU yang inefisien, kontraknya akan habis, serta dengan tingkat polusi tinggi. Proses memensiunkan PLTU dapat dilakukan bertahap 2023-2025, yang artinya akan meningkatkan permintaan energi terbarukan hingga 10 GW.
Selain itu, lanjut Fabby, penciptaan iklim usaha kondusif (enabling environment) untuk percepatan pengembangan energi terbarukan dalam perpres itu ialah terkait dengan pemberian insentif bagi badan usaha. Bahkan, sudah tertuang juga, antara lain, terkait dengan pendanaan ataupun derisking atau penanggungan risiko.
Perpres itu dapat menjadi pendorong bagi Kementerian Keuangan untuk membuat peraturan menteri keuangan mengenai pemberian insentif yang lebih rinci. ”Termasuk mekanisme untuk mendapat insentif itu agar lebih disederhanakan. Setelah perpres ini, seharusnya menteri-menteri terkait bisa membahas agar implementasinya lebih cepat,” ujar Fabby.
Adapun pada Pasal 24 disebutkan, jika pembelian listrik dari pembangkit berbasis energi terbarukan menyebabkan peningkatan biaya pokok pembangkit tenaga listrik PLN, maka PLN harus diberi kompensasi atas semua biaya yang telah dikeluarkan. Segala aturan rinci mengenai ini, imbuh Fabby, juga mesti segera disiapkan sejak sekarang agar efektif.
”Sebab, kita sudah tidak memiliki waktu lama lagi dalam mendorong percepatan energi terbarukan. Sudah sangat terlambat. Lewat aturan-aturan ini, diharapkan bisa mempercepat capaian (target) 23 persen bauran energi terbarukan pada 2025,” ucap Fabby.
Peluang sinergi
Di samping itu, perpres tersebut juga mengatur terkait dengan harga pembelian tenaga listrik dari pembangkit listrik yang memanfaatkan energi terbarukan oleh PLN. Pengaturan harga terdiri atas harga patokan tertinggi dan harga kesepakatan, dengan atau tanpa memperhitungkan faktor lokasi. Ada hitungan di setiap jenis sumber energi terbarukan.
Ketua Umum Asosiasi Pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Air (APPLTA) Zulfan Zahar menilai, harga yang tertuang sudah cukup baik meskipun tak dapat memuaskan semua pihak atau investor, baik PLTA maupun pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTM). Tarif tersebut dirasa cukup adil.
Adapun pengembang atau investor PLTA/PLTM, kata Zulfan, cukup beragam, dari skala kecil hingga besar. ”Adanya perpres ini belum dapat mengakomodasi semua pihak. Namun, terdapat peluang untuk sinergi,” ujarnya.
Zulfan menambahkan, APPLTA akan mengusulkan sejumlah hal kepada pemerintah, seperti diperlukannya petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan. ”Ini menjadi poin untuk para pengembang PLTA/PLTM dalam rangka menciptakan peluang lebih baik, termasuk pelaksanaan insentif fiskal yang diamanatkan dalam perpres tersebut,” kata Zulfan.
Sebelumnya, Executive Vice President Engineering and Technology PLN Zainal Arifin, di sela-sela pameran Energy & Engineering 2022 di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Kamis (15/9), menuturkan, terkait perpres, ia memahami apa yang dialami industri, pelaku bisnis, atau investor (perihal kesenjangan harga). Namun, jika semua diserahkan kepada PLN sebagai off taker (pembeli), menurut dia, itu akan berat bagi pemerintah.
Di sisi lain, lanjut Zainal, PLN berkutat dengan permasalahan kelebihan pasokan. ”Kami harap bersabar dulu. (Agar) kami di PLN cooling down dulu. Kalau demand dan supply hampir seimbang, baru tancap lagi. Kami masih belum selesai dalam (persolan) oversupply (kelebihan pasokan). Dalam lima tahun ke depan, masih struggle dengan itu,” ucapnya.
Pemerintah menargetkan porsi energi terbarukan sebesar 23 persen pada 2025 dalam bauran energi nasional. Angka tersebut diharapkan naik menjadi sedikitnya 31 persen pada 2050. Sampai 2021 lalu, realisasinya masih sekitar 11,5 persen.