Semakin Mengarah ke Tata Kelola Berkelanjutan
Sejumlah pelaku usaha perhotelan dan resor di Indonesia gencar mengupayakan operasional dengan pendekatan keberlanjutan lingkungan.
Deretan pepohonan lebat dan jalan tanah menuntun langkah memasuki Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tanjung Kelayang, Belitung, akhir pekan lalu. Konsep natural yang diusung KEK Tanjung Kelayang menjadikan lokasi itu dipilih sebagai tempat pertemuan tingkat menteri pembangunan kelompok negara G20.
Hotel Sheraton Belitung yang menjadi lokasi penginapan delegasi menteri-menteri pembangunan G20 berada di antara rimbunan pepohonan alam. Lobi hotel dengan konsep ruang terbuka tanpa pendingin ruangan mengandalkan penyejuk dari beberapa kipas angin yang dipasang pada langit-langit ruangan.
Langit ruangan menggunakan kayu susun dari pohon lenggadai (Bruguiera parviflora), salah satu pohon yang hidup di vegetasi hutan bakau.
Menanggalkan konsep business as usual, bisnis pariwisata di KEK Tanjung Kelayang diarahkan menuju industri yang berkelanjutan. Di antaranya, melalui penggunaan konten lokal pada material bangunan dan operasional hotel, serta transformasi menuju energi ramah lingkungan.
Di antaranya, tidak ada pengeboran air tanah. Pembangunan hotel juga dibatasi dengan koefisien dasar bangunan (KDB) atau perbandingan luas seluruh lantai dasar bangunan dengan luas lahan tidak melebihi 20 persen.
Baca juga : Tren Pariwisata Terus Berubah Seiring Pandemi
Direktur KEK Tanjung Kelayang, Daniel Alexander, mengemukakan, upaya KEK Tanjung Kelayang untuk mencapai lingkungan keberlanjutan dan tranformasi energi ramah lingkungan diterapkan oleh Sheraton Belitung Resort. Di antaranya, tidak ada pengeboran air tanah. Pembangunan hotel juga dibatasi dengan koefisien dasar bangunan (KDB) atau perbandingan luas seluruh lantai dasar bangunan dengan luas lahan tidak melebihi 20 persen.
Koefisien dasar bangunan Sheraton Belitung saat ini 18,6 persen. Selain itu, digunakan pula dinding batu bata putih yang merupakan material asal Belitung.
”Dulu batu bata putih seperti dibuang masyarakat karena dianggap kalah bagus dengan batu bata merah akibat pembakaran tidak sempurna. Setelah kami telusuri, warna putih itu karena unsur kandungan kaolin pada batu bata yang sangat baik untuk bangunan,” ujarnya.
Sementara itu, kebutuhan air baku di KEK tidak mengeksploitasi air tanah, melainkan bersumber dari cekungan air di kawasan yang dimanfaatkan melalui sistem pengelolaan air. Cekungan alami yang menadah air hujan itu memiliki daya dukung pemenuhan air setara lima kali kebutuhan Sheraton. Penggunaan solar panel terapung berkapasitas 10 kwph yang digunakan sebagai sumber listrik berkontribusi terhadap 40 persen kebutuhan listrik kawasan.
Pada tahun 2023, KEK Tanjung Kelayang siap menambah pembangunan dua hotel baru bertaraf bintang lima. Dua hotel yang dibangun direncanakan menggunakan material yang sama dengan Sheraton Belitung.
”Kami berusaha sangat berhati-hati melakukan pembangunan di kawasan agar tidak melebihi daya dukung lingkungan. Penggunaan komponen lokal untuk setiap pembangunan di kawasan juga dengan sendirinya akan mengangkat potensi dan keunikan daerah,” kata Daniel.
Menurut Organisasi Pariwisata Dunia Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNWTO), sektor perhotelan adalah salah satu pendorong terbesar lapangan kerja dan pendapatan ekonomi industri pariwisata. Namun, pada saat yang sama juga salah satu yang paling intensif mengonsumsi energi. Hotel dan jenis akomodasi lainnya menyumbang sekitar 2 persen dari 5 persen CO2 global yang dikeluarkan oleh sektor pariwisata.
Sektor perhotelan pun juga menyumbang sampah plastik. Secara global dorongan agar perhotelan menguranginya sudah muncul melalui Prakarsa Plastik Pariwisata Global yang dipimpin oleh Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Asosiasi Pariwisata Dunia. Prakarsa ini telah menargetkan untuk menghilangkan semua—menggunakan plastik dari resor pada tahun 2025.
Perhotelan adalah salah satu pendorong terbesar lapangan kerja dan pendapatan ekonomi industri pariwisata. Namun, pada saat yang sama juga salah satu yang paling intensif mengonsumsi energi.
Selain Hotel Sheraton Belitung, sejumlah pelaku usaha hotel dan resor di Indonesia juga sedang gencar menerapkan operasional dengan pendekatan berkelanjutan.
Senior Vice President Commercial Hyatt Hotels untuk Asia Pasifik Carina Chorengel, Rabu (14/9/2022), di Jakarta, mengatakan, di kalangan chain hotel, seperti Hyatt Hotels yang memiliki 1.150 hotel dengan 26 merek hotel di seluruh dunia, secara bertahap mengarahkan seluruh operasional hotel memakai pendekatan keberlanjutan lingkungan.
”Pandemi Covid-19 mengakselerasi kesadaran keberlanjutan lingkungan. Selama masa pembatasan sosial, polusi udara lebih berkurang dan ini membuat masyarakat dan pelaku usaha perhotelan semakin sadar betapa pentingnya merawat bumi,” ujar dia.
Carina lantas mencontohkan beberapa upaya. Di Grand Hyatt Jakarta, Indonesia, pihak hotel memasang panel surya fotovoltaik di rooftop. Sebanyak 45 panel dipasang ke helipad, dan menghasilkan listrik rata-rata 589 GWh. Jumlah energi itu memungkinkan hotel untuk mengimbangi 177.463,89 liter bensin. Pada siang hari, panel surya dapat menghasilkan energi yang cukup untuk menyalakan 20 kamar. Pihak hotel pun telah menggantikan plastik sekali pakai dengan botol kaca isi ulang dari Nordaq untuk digunakan sebagai air minum di semua kamar.
Contoh lain adalah Alila Villas Uluwatu, bagian dari Hyatt Hotels. Resor ini telah menghilangkan kemasan plastik di semua vila dan restoran, menanam bahan untuk restoran di kebun cabai organik, serta memiliki fasilitas pemilahan sampah Sustainability Lab. Sandal bagi tamu dibuat dari ban daur ulang dari mobil buggymilik resor.
Ulaman Eco Luxury Resort memiliki cerita berbeda. Nina Williamson, Marketing Communication and Public Relation Manager Ulaman Eco Luxury Resort (Ulaman), Selasa (13/9/2022), mengatakan, sejak awal Ulaman dibangun dengan prinsip kesadaran ekologi mulai dari desain hingga praktik untuk keberlanjutan lingkungan jangka panjang.
Dari segi konstruksi, Ulaman dibangun menggunakan bahan-bahan alami yang berkelanjutan dan ramah lingkungan yang ditemukan secara langsung di lokasi dan di lingkungan sekitarnya. Sebagian besar struktur Ulaman terbuat dari bambu dan kayu daur ulang. Semua dinding melengkung di permukaan tanah dibangun dengan metode Rammed Earth.
Rammed Earth merupakan salah satu metode konstruksi tertua di dunia yang telah dipraktikkan 10.000 tahun. Metode ini melibatkan pencampuran dan penyatuan dari beberapa bahan baku alami, seperti tanah, kapur, pasir, batu kapur dan kerikil, menjadi bahan yang padat untuk membuat fondasi, lantai dan dinding bangunan. Teknik kuno, kata dia, hanya menghasilkan sebesar 0,025 persen jejak karbon yang dihasilkan oleh beton.
”Dari segi landscape, Ulaman dibangun tanpa menebang pohon dan tanaman yang berada di lingkungan aslinya. Desain arsitektur dirancang sedemikian rupa untuk secara hati-hati menyesuaikan keberadaan pohon-pohon besar yang lebih dulu tumbuh di lokasi,” ujar Nina.
Memaksimalkan material yang ada menjadi salah satu prinsip yang dijunjung sejak awal pembangunan ataupun pengembangan.
Di luar desain, dia mengatakan, pihak resor mengupayakan praktik operasional sehari-hari mendukung visi awal. Restoran mengambil berbagai bahan sayuran dan buah-buahan yang dibudidayakan oleh kebun organik sendiri, sisanya dari komunitas petani sekitar resor. Sampah restoran dijadikan kompos untuk kebun organik milik resor.
Untuk sumber tenaga listrik, Nina menyebut sudah memakai panel surya. Saat ini, Ulaman tengah berupaya mengembangkan pembangkit listrik tenaga air dengan memanfaatkan arus sungai dan air terjun alami di sekitar lingkungan resor.
Baca juga : Andalkan Pariwisata Berkelanjutan
Di Surakarta dan Yogyakarta juga terdapat hotel butik yang didesain dengan pendekatan keberlanjutan lingkungan. Sebagai contoh, Rumah Turi dan Greenhost Boutique Hotel. Joko Haryanto, arsitek dari Timtiga, yang turut dalam tim perencana dua hotel butik itu, menjelaskan, memaksimalkan material yang ada menjadi salah satu prinsip yang dijunjung sejak awal pembangunan ataupun pengembangan. Fondasi Rumah Turi tetap mempertahankan fondasi lama dan kerangka atap memakai bekas pakai.
Di Greenhost Boutique Hotel, material limbah pabrik dipakai untuk bahan membuat produk interior. Besi anval pun tetap dipakai mengisi bangunan. Perangkat pendingin ruangan hanya dipasang di kamar. Di kamar pun tidak disediakan kulkas mini ataupun perangkat pengering rambut. Air limbah disaring hingga bisa dipakai kembali untuk pembilasan di toilet.
Tantangan
Menurut Joko, tren hotel mengupayakan pendekatan keberlanjutan terjadi di seluruh dunia. Dari sisi desain bangunannya, saat ini, telah tersedia mekanisme sertifikasi bangunan hijau. Akan tetapi, sertifikasi ini tidak menghasilkan dampak signifikan kepada pemilik ataupun pengelola gedung.
”Di luar negeri, sertifikasi bangunan hijau jadi ajang pemerintah memberikan insentif. Di sini belum. Berdasarkan pengalaman kami yang sempat ingin mengajukan sertifikasi, persyaratan pengajuan cenderung rumit,” ujarnya.
Joko mencontohkan salah satu persyaratan yaitu setiap kamar harus dipasang meteran listrik guna mengetahui konsumsi daya. Padahal, bangunan hotel sudah berdiri dan beroperasi.
Keputusan menerapkan desain ataupun operasional hotel dengan pendekatan keberlanjutan lingkungan akan langsung memengaruhi bisnis
Arsitek sekaligus investor di Sun Sang Eco Village, Tabanan, Bali, I Made Wirahadi Purnawan, mengatakan, penerapan keberlanjutan lingkungan di desain bangunan hotel telah jadi tren sepuluh tahun terakhir. Sayangnya, sampai sekarang, penerapannya masih terbatas ke kalangan menengah atas. Kelompok ini dinilai lebih teredukasi konsep-konsep keberlanjutan lingkungan.
”Keputusan menerapkan desain ataupun operasional hotel dengan pendekatan keberlanjutan lingkungan akan langsung memengaruhi bisnis,” kata pria yang akrab disapa Made Chiko ini.
Selama 12 tahun terakhir, dia merancang sekitar 60 bangunan akomodasi pariwisata, di antaranya hotel, dengan pendekatan keberlanjutan lingkungan. Beberapa di antara rancangan dilanjutkan alias jadi dieksekusi.
”Pengusaha hotel dan arsitek biasanya mencari alternatif material bangunan. Bambu, salah satunya. Selain pertumbuhannya relatif cepat, teknologi terkini sudah mampu membuat bambu tahan 15–20 tahun,” katanya.
Sementara menurut Nina, menuju operasional yang berkelanjutan biasanya butuh ”investasi mahal” di awal. Namun, pengusaha ataupun tamu akan mendapatkan manfaat jangka panjang.
”Kami tidak memakai plastik sama sekali, termasuk sedotan. Kami pun tidak memakai disposable coffee capsules tetapi stainless steel capsules untuk mesin kopi di setiap vila. Jadi, setiap pagi staf kami memasukkan bubuk kopi ke kapsul, lebih repot, namun ini demi kelestarian lingkungan jangka panjang,” imbuh Nina.