Industri hotel belum sepenuhnya pulih dari pandemi Covid-19. Kenaikan harga bahan bakar minyak diperkirakan akan berimbas ke permintaan perjalanan wisata dan akhirnya berpotensi membuat okupansi hotel turun.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
KOMPAS/ANGGER PUTRANTO
Pengunjung berfoto di Agrowisata Taman Suruh Banyuwangi, Rabu (15/8/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Tingkat okupansi hotel, yang belakangan mulai membaik, diperkirakan kembali turun seiring berkurangnya pergerakan wisatawan sebagai dampak kenaikan harga bahan bakar minyak. Padahal, industri hotel belum sepenuhnya pulih dari pandemi Covid-19.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengatakan, kunjungan ke destinasi-destinasi wisata membutuhkan daya beli masyarakat yang cukup baik. Kenaikan harga BBM mendorong harga barang dan jasa ikut naik sehingga akan mengganggu daya beli masyarakat, yang akhirnya bisa menurunkan minat orang bepergian dan menginap di hotel.
”Pariwisata juga bukan termasuk kebutuhan primer masyarakat,” ujarnya, Rabu (14/9/2022), di Jakarta.
Maulana mencontohkan dampak naiknya harga avtur pada 2019. Situasi ini mengakibatkan pergerakan wisatawan Nusantara (wisnus) turun dari 300-an juta pada 2018 menjadi 200-an juta pada 2019. Kondisi saat itu bisa saja kembali terulang.
”Pemerintah menaikkan harga BBM kan baru-baru ini. Padahal, sejak Juli 2022, tingkat okupansi kamar hotel secara nasional sebenarnya turun 3 persen dibandingkan dengan Juni 2022,” kata Maulana.
Menurut Maulana, sebelumnya pelaku industri hotel biasanya mengandalkan tamu dari agenda-agenda korporasi pada semester II jika mengalami sepi okupansi dari tamu wisatawan. Namun, dengan situasi seperti sekarang, dia mengkhawatirkan agenda korporasi ikut dikurangi sehingga tingkat okupansi rendah akan berlangsung sampai akhir tahun.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf/Baparekraf) Sandiaga S Uno sebelumnya mengatakan, tingkat okupansi hotel bintang dan nonbintang diperkirakan turun 5–10 persen sebagai dampak berkurangnya pergerakan wisatawan akibat kenaikan harga BBM. Hotel nonbintang dia yakini akan terimbas lebih besar. Selama ini, hotel nonbintang menjadi preferensi menginap wisatawan kelas menengah ke bawah.
Adapun bagi masyarakat menengah ke atas, pariwisata bukan lagi menjadi kebutuhan tersier, tetapi merupakan kebutuhan utama. Dengan demikian, kenaikan harga BBM dia yakini tidak akan berpengaruh signifikan kepada kelompok wisatawan ini. Okupansi hotel bintang — yang selama ini memiliki segmen wisatawan kelas menengah atas — diperkirakan tidak terdampak signifikan oleh kenaikan harga BBM.
”Kenaikan harga BBM hingga 30 persen berpotensi mendorong naiknya harga layanan transportasi dan pasti berimbas ke usaha akomodasi, hotel, dan penyedia makanan-minuman. Desa-desa wisata juga terimbas. Kajian awal kami menunjukkan harga produk pariwisata dan ekonomi kreatif mengalami kenaikan berkisar 10–20 persen,” katanya.
Menurut Sandiaga, pelaku usaha pariwisata kecil menengah beserta tenaga kerjanya akan jadi perhatian pemerintah. Kemenparekraf/Baparekraf akan berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan supaya ada bantuan subsidi kepada mereka.
Sandiaga menyebutkan ada beberapa kebijakan yang akan diterapkan kementerian. Salah satunya mengadakan bimbingan teknis dan pendampingan kepada pelaku pariwisata dan ekonomi kreatif mengenai pengelolaan biaya operasional.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat penghunian kamar (TPK) hotel klasifikasi bintang pada Juli 2022 mencapai 49,77 persen. Sepanjang 2021, TPK menyentuh di atas 50 persen hanya pada Desember 2021. Adapun sepanjang 2020, TPK selalu di bawah 50 persen.
Pada Juli 2022, data BPS menunjukkan, rata-rata lama menginap tamu asing dan domestik di hotel berbintang mencapai 1,61 hari. Durasi ini tidak mengalami perubahan dibandingkan dengan Juni 2022. Apabila dibandingkan dengan Juli 2021, rata-rata lama menginap turun 0,21 poin.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal secara terpisah mengatakan, pemerintah semestinya sejak awal mengantisipasi dampak kenaikan harga BBM terhadap industri pariwisata. Apalagi, pariwisata termasuk salah satu sektor industri penting dan mampu memberikan multidampak ekonomi yang besar. Pariwisata juga termasuk sektor industri yang paling rentan terdampak oleh berbagai hal, seperti kenaikan harga BBM, bencana alam, dan pandemi.
”Pemerintah telah berencana melakukan normalisasi kebijakan mulai tahun 2023, baik dari sisi kebijakan fiskal maupun nonfiskal, termasuk membatasi restrukturisasi kredit kepada pelaku industri. Jika rencana itu jadi diterapkan, kami harap sektor pariwisata tetap mendapatkan berbagai insentif,” ujar Faisal.
Bahkan, jika diperlukan, pemerintah bisa memberikan tambahan insentif baik fiskal maupun nonfiskal.