Pedagang Pasar dan Pelaku Usaha di Surabaya Kehilangan Pembeli
Kenaikan harga BBM langsung diikuti melambungnya harga barang-barang 10-20 persen. Kondisi ini memicu menurunnya daya beli.
Oleh
AGNES SWETTA PANDIA
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Kenaikan harga bahan bakar minyak sejak Sabtu (3/9/2022) mulai berdampak pada semakin lesunya daya beli sebagian warga di Kota Surabaya, Jawa Timur. Tingginya harga berbagai komoditas jadi salah satu pemicu. Sejumlah pelaku usaha mulai kehilangan konsumennya.
Sulaiman (50), pedagang daging dan sayuran di Pasar Gunung Anyar, mengatakan, sebelum kenaikan harga BBM, omzet dagangannya mencapai Rp 2,5 juta per hari. Namun, sekarang dia terpaksa menguranginya menjadi hanya Rp 1,5 juta per hari. Dia enggan merugi karena dagangannya berpotensi tidak laku akibat sepi pembeli.
”Begitu harga BBM naik, seluruh harga barang terkerek naik berkisar 10-20 persen,” kata lelaki asal Banyuwangi itu.
Munaroh (35), pedagang ikan di Pasar Gunung Anyar, terpaksa mencari cara lain agar tidak menanggung rugi. Akibat minim konsumen, dia sekarang memilih tidak setiap hari berjualan.
”Saya sekarang berjualan tiga kali sepekan saja. Pembelinya benar-benar sepi,” kata Munaroh.
Tidak hanya penjual bahan mentah, pelaku UMKM juga terpukul. Yanto (53), pemilik warung makan ”Pakde Yanto” di Pujasera Rungkut Industri, juga kehilangan pembeli. Dua pekan terakhir, dia hanya menghabiskan 5 kilogram beras atau setara dengan 55 porsi nasi bungkus. Jumlah itu anjlok 50 persen dari sebelumnya, mencapai 10 kg beras atau setara 110 bungkus nasi. Untuk setiap bungkus, dia menjual Rp 10.000-Rp 17.000.
”Begitu semua harga naik, harga menu saya naikkan. Tapi, pelanggan langsung kabur,” kata bekas karyawan toko buku ini.
Pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga, Surabaya, Wisnu Wibowo, mengatakan, kenaikan harga BBM dalam jangka pendek pasti berdampak bagi rumah tangga dan industri. Oleh karena itu, perbaikan skema penyaluran subsidi harus diprioritaskan agar proses pemulihan ekonomi bisa berjalan ideal.
Tidak hanya itu, dampak pada inflasi rentan terjadi dan mencederai masyarakat. Akibatnya, nilai uang yang dimiliki warga bakal berkurang. Padahal, suku bunga Bank Indonesia pun mulai meningkat dan bisa membebani masyarakat. Ujungnya, semua rentan meningkatkan angka kemiskinan.
”Masyarakat mesti selalu siap dengan keadaan ekonomi yang dinamis. Apalagi setiap keputusan ekonomi tidak hanya diambil karena faktor ekonomi, melainkan intervensi dari hal lain,” katanya.
Sementara itu, Pemerintah Kota Surabaya masih menggelar pasar murah di kelurahan ataupun kecamatan hingga Rabu. Setiap hari, ada lima pasar murah yang menyediakan telur, daging ayam potong, gula, minyak goreng, dan beras. Harganya dibanderol lebih ramah ketimbang pasar. Telur ayam, misalnya, dipatok Rp 26.500 per kg atau lebih murah dari harga di pasar Rp 27.000-Rp 28.000 per kg.
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi mengatakan, pasar murah adalah sebagai salah satu upaya mengendalikan inflasi. Upaya lainnya dengan memberikan tempat bagi masyarakat berpenghasilan rendah untuk mengembangkan usaha dari tempat tinggalnya.
”Di Surabaya, kelompok ini juga diberi pelatihan sebelum menekuni usaha. Semua sesuai minat, seperti menjahit, tata rias, tata boga, teknisi, hingga pangkas rambut,” katanya.