Terjadinya sejumlah insiden kebocoran data berskala besar dalam beberapa waktu terakhir, dunia industri teknologi informasi menilai keberadaan RUU PDP sudah terlampau genting.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah insiden kebocoran data berskala besar dalam beberapa waktu terakhir, membuat dunia industri teknologi informasi menilai kehadiran Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi atau UU PDP sudah terlampau mendesak. Peningkatan keamanan siber perlu beriringan dengan semakin masifnya transformasi digital dalam kehidupan sehari-hari.
Senior Regional Manager Cisco Indonesia Andris Masengi mendukung pengesahan RUU PDP yang menurutnya telah beberapa tahun tertinggal dibandingkan sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara.
"Terus terang, kami dari industri IT ini mendukung RUU PDP. Ini genting untuk negara kita. Eropa misalnya, sudah punya GDPR. Di ASEAN, salah satunya Filipina yang sudah punya undang-undang privasi data yang komprehensif dan bahkan sudah beberapa tahun berjalan," kata Andris dalam acara konferensi pers Metrodata Solution Day yang digelar di Jakarta, Rabu (14/9/2022) siang.
Metrodata Solution Day adalah ekshibisi industri teknologi informasi kelas enterprise atau bisnis yang digelar oleh perusahaan penyedia solusi TI Metrodata Electronics.
Ia memahami bahwa ada peluang dari dunia usaha akan mengeluhkan RUU PDP yang memaksa mereka untuk mengeluarkan biaya dan investasi yang biasanya tidak diperlukan. Namun, dari sisi masyarakat tentu akan merasa data pribadi mereka harus dilindungi.
Presiden Direktur Metrodata Electronics Susanto Djaja pun berpendapat senada. Namun ia mengingatkan, saat ini sistem digital telah masuk ke seluruh aspek kehidupan. Hal ini seharusnya memunculkan kesadaran di pihak perusahaan untuk melindungi data digital.
"Sekarang everything is digital, artinya digital is everything. Oleh karena sangat penting, makanya harus secure. Ini harus ada investasi dan biayanya. Kalau cuek saja, baru setelah kena breach baru sadar. Nanti akan perlahan-lahan akan terbiasa," kata Susanto.
Menurut Susanto, kesadaran terhadap keamanan siber perlu dipahami bahwa kerugiannya tidak hanya ekonomi.
"Selain ada kerugian ekonomi dalam bentuk monetisasi data yang dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab hingga kerugian reputasi. Kerugian reputasi ini yang susah diobati," ujar dia.
Berdasarkan survei Indonesia Services Dialogue (ISD) Council yang dipublikasikan pada Jumat (9/9) lalu, hanya 20 persen dari 65 perusahaan penyelenggara sistem elektronik (PSE) yang telah menyatakan siap mengimplementasikan amanat RUU PDP, khususnya keberadaan data protection officer (DPO). Selain itu, rentang waktu 2 tahun bagi PSE untuk memenuhi kewajiban yang ditetapkan RUU PDP pun dinilai terlalu singkat. (Kompas, 10/9/2022).
Pekan lalu, pada Rabu (7/9) RUU PDP akhirnya telah tuntas disusun pemerintah bersama DPR setelah melalui pembahasan selama dua tahun. Sejumlah poin negosiasi alot seperti kedudukan otoritas pengawas perlindungan data dan penerapan sanksi pun telah disepakati.
Lembaga otoritas pengawas perlindungan data disepakati untuk dibentuk tidak dibawah Kementerian Komunikasi dan Informatika, namun langsung dibentuk oleh Presiden. Sanksi administratif berupa denda pun juga telah disepakati untuk dikenakan kepada entitas pengendali dan pemroses data. Besarannya dapat mencapai 2 persen dari pendapatan kotor setahun. (Kompas.id, 7/9/2022)
Country Manager Netapp Indonesia Adir Ginting mengatakan, RUU PDP dapat memaksa perusahaan dan institusi yang gagal melindungi data untuk bertanggung jawab.
Ia secara pribadi tidak rela data pribadi yang bernilai seperti data Kartu Keluarga bertebaran di internet. Padahal data ini mengandung informasi nama ibu kandung yang penting dalam proses verifikasi perbankan.
"Dengan RUU PDP ini bisa memaksa pertanggungjawaban perusahaan dan institusi (atas kebocoran data)," kata Adir.
Ekuilibrium baru
Munculnya ancaman kebocoran data ini menjadi konsekuensi transformasi digital di Indonesia. Pandemi Covid-19 juga terbukti telah mempercepat proses transformasi ini secara drastis.
Menurut Susanto, proses digitalisasi yang dilakukan industri keuangan menjadi motor utama transformasi digital di Indonesia. Hal ini terlihat dari kontribusi sektor tersebut terhadap kinerja keuangan Metrodata.
Pendapatan dari perusahaan penyedia solusi teknologi informasi tersebut, ujar Susanto, tercatat meningkat 32 persen sedangkan laba meningkat 39 persen pada 2021.
Pertumbuhan ini, ujar Susanto, hampir 40 persennya didorong oleh meningkatnya investasi ke bidang teknologi informasi oleh industri keuangan; baik perbankan maupun non-bank.
Sektor industri lain yang juga banyak melakukan belanja teknologi di masa pandemi adalah telekomunikasi, minyak dan gas, serta perusahaan rintisan berbasis teknologi (start-up).
Menurutnya ini adalah bentuk ekuilibrium baru kehidupan masyarakat Indonesia yang telah berubah permanen sejak pandemi Covid-19 melanda pada awal 2020. Kini, digitalisasi telah merambah ke seluruh aspek kehidupan masyarakat.
"Mengapa perbankan paling besar konsumsi IT-nya? Karena sebagian besar masyarakat Indonesia adalah nasabah bank. Dan kini, semua layanan bersifat digital," kata Susanto.
Country Manager Red Hat Indonesia Vony Tjiu mengatakan, transformasi digital yang selama ini terakselerasi oleh pandemi Covid-19 tidak hanya memegang kunci pemulihan ekonomi Indonesia namun juga pertumbuhan negara secara umum.
"Kami melihat bahwa digitalisasi ini memegang peranan penting dalam mempercepat inklusi keuangan dan juga meningkatkan literasi digital," kata Vony.
Tren besar digitalisasi di Indonesia ini juga yang ditangkap oleh Confluent, perusahaan teknologi cloud big data yang baru mulai masuk ke pasar Indonesia.
Southeast Asia Markets Regional Director dari Confluent, Rully Moulany melihat bahwa ada peluang besar di Indonesia, sebab, saat ini masyarakat konsumen dan dunia usaha sedang menuju sebuah tatanan dunia baru yang serba digital dan instan. (SPW)