Nomaden Digital Diizinkan Tinggal sampai Dua Bulan dengan Visa Tujuan Sosial Budaya
Dengan adanya kebijakan visa tujuan sosial budaya yang memfasilitasi nomaden digital, diharapkan semakin banyak jumlah wisatawan mancanegara (wisman) masuk ke Indonesia dan kunjungan mereka berkualitas.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah telah menetapkan visa tujuan sosial budaya bisa dipakai oleh nomaden digital. Jangka waktu visa tujuan sosial budaya adalah 60 hari, bisa diperpanjang sampai 180 hari, dan terbuka untuk orang asing dari banyak negara.
Nomaden digital adalah orang yang mencari nafkah dengan bekerja jarak jauh, biasanya memakai mekanisme daring dan berada di berbagai lokasi pilihan mereka, bukan lokasi bisnis tetap. Nomaden digital bisa berasal dari orang yang bekerja tetap pada perusahaan, pekerja lepas dengan waktu dan tempat yang fleksibel, serta pelaku bisnis daring.
”Jadi, warga negara asing para nomaden digital ini sudah legal. Mereka masuk Indonesia dengan memakai visa tujuan sosial budaya atau B211,” ujar Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga S Uno dalam konferensi pers, Senin (12/9/2022), di Jakarta.
Ruang kerja bersama atau co-working space perlu dipersiapkan untuk menunjang kebutuhan nomaden digital. Menurut Sandiaga, fasilitas seperti ini juga nantinya didukung dengan fasilitas imigrasi dan firma pengacara, servis makanan dan minuman, serta ruang pertemuan. Sandiaga mengungkapkan, Canggu, Bali, merupakan lokasi yang paling banyak dituju oleh para nomaden digital, terutama dari Rusia, Inggris, dan Jerman.
Dengan adanya kebijakan visa tujuan sosial budaya yang memfasilitasi nomaden digital, Sandiaga berharap semakin banyak jumlah wisatawan mancanegara (wisman) masuk ke Indonesia dan kunjungan mereka berkualitas. Pemerintah telah menargetkan kontribusi pariwisata dan ekonomi kreatif terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional bisa naik dari 7,5 persen menjadi 10 persen sampai 10 tahun mendatang.
”Kami juga akan jemput bola atau promosi ke Singapura dan negara-negara Eropa,” kata Sandiaga sembari menambahkan bahwa sampai Agustus 2022 diperkirakan sudah ada sekitar 3.000 orang WNA yang jadi nomaden digital.
Secara terpisah, Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia Haryadi B Sukamdani saat dihubungi berpendapat, visa tujuan sosial budaya merupakan kebijakan positif merespons tren orang bekerja jarak jauh menggunakan platform daring. Tren perilaku ini bisa dilakukan dari mana saja. Durasi dua bulan waktu berlakunya visa dia anggap tepat.
”Sistem akomodasi negara kita sudah tersedia banyak. Jaringan internet pun makin bagus. Industri jasa usaha pariwisata tidak harus mempersiapkan banyak amenitas,” ucap Haryadi.
Sementara itu, Wakil Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran (PHRI) Provinsi Bali I Gusti Agung Ngurah Rai Surya Wijaya mengapresiasi keputusan pemerintah menetapkan visa tujuan sosial budaya bisa dipakai nomaden digital. Hanya saja, bersama pemerintah pusat, pemerintah daerah dan pelaku industri pariwisata perlu mengevaluasi penerapan visa itu secara berkala.
Agung Ngurah Rai membenarkan bahwa ada kritik atas kebisingan yang terjadi di Canggu, Bali. Beberapa nomaden digital memiliki kebiasaan bekerja sampai larut untuk menyesuaikan dengan waktu di negara asalnya. Untuk mengurangi kebisingan, PHRI Bali berharap pemerintah setempat sudi menegakkan aturan.
”Bisnis jalan, tetapi jangan sampai masyarakat terganggu,” ujarnya.
Rai menambahkan, para nomaden digital sejauh ini belum diatur ketentuan membayar pajak. Mereka sebatas hanya membayar visa. Dia berharap, mereka bisa dikenai peraturan yang mengharuskan berkontribusi terhadap daerah.
Peneliti Pusat Studi Pariwisata Universitas Gadjah Mada, Hendrie Adji Kusworo, berpendapat, hal yang harus diantisipasi dari hadirnya nomaden digital adalah dampak negatif ke masyarakat lokal. Nomaden digital tinggal lebih lama dibanding wisatawan pada umumnya sehingga intensitas interaksi mereka ke masyarakat lokal akan lebih tinggi.
”Mereka (nomaden digital) biasanya berbeda dengan wisatawan konvensional yang cenderung lebih menyukai atraksi. Bagaimana kesiapan masyarakat lokal menyambut mereka? Itu harus diperhatikan,” kata Hendrie.