Anggaran Subsidi Energi Tinggi dan Kurang Tepat Sasaran, Pemerintah Segera Benahi Tata Kelola
Pembenahan tata kelola penyaluran subsidi energi mulai jadi pembahasan di kalangan eksekutif dan legislatif. Hingga saat ini, mayoritas aliran subsidi energi masih dinikmati oleh golongan masyarakat mampu.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA, ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemberian subsidi energi, seperti untuk solar dan elpiji, diakui pemerintah belum efektif menyasar masyarakat kelas bawah. Solusinya, perlu segera dilakukan reformasi subsidi tepat sasaran.
Dalam rapat panitia kerja (panja) pembahasan RUU APBN 2023 di Jakarta, Senin (12/9/2022), Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio N Kacaribu memaparkan, hingga saat ini baru subsidi listrik golongan rumah tangga yang relatif tepat sasaran dinikmati golongan masyarakat miskin dan rentan. Sementara subsidi untuk bahan bakar minyak (BBM) ataupun elpiji 3 kilogram masih dominan dinikmati oleh masyarakat mampu.
Kita perlu terus mendorong agar subsidi semakin tepat sasaran dan berkeadilan. Upaya ini perlu diselaraskan dengan tren pemulihan ekonomi dan kemampuan daya beli masyarakat. (Febrio Kacaribu)
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Kementerian Keuangan, dari 1,79 juta kiloliter distribusi biosolar untuk rumah tangga, kelompok masyarakat miskin dan rentan dari desil pengeluaran 1 hingga 4 hanya mendapatkan jatah 100.000 kiloliter. Adapun 1,69 juta kiloliter distribusi biosolar mengalir untuk kelompok masyarakat mampu dari desil 5 hingga 10.
Sementara itu, dari 7,46 juta kiloliter distribusi elpiji tabung 3 kilogram, sebanyak 5,07 juta kiloliter atau 68 persen dinikmati oleh rumah tangga mampu dari desil pengeluaran 5 hingga 10. Adapun 2,39 juta kiloliter sisanya atau hanya 32 persen yang dinikmati oleh rumah tangga tidak mampu dari desil pengeluaran 1 hingga 4.
”Kita perlu terus mendorong agar subsidi semakin tepat sasaran dan berkeadilan. Upaya ini perlu diselaraskan dengan tren pemulihan ekonomi dan kemampuan daya beli masyarakat. Transformasi subsidi energi yang lebih tepat sasaran, langsung kepada penerima manfaat, bisa terbantu menggunakan aplikasi digital,” ujarnya.
Dalam rapat panja kali ini, pemerintah telah menyepakati perubahan anggaran subsidi energi dalam RAPBN 2023 dari sebelumnya dalam nota keuangan ditetapkan Rp 210,6 triliun menjadi Rp 211,9 triliun. Kenaikan sebesar Rp 1 triliun ini disebabkan perubahan kurs dari semula yang diasumsikan Rp 14.750 per dollar Amerika Serikat (AS) menjadi Rp 14.800 di tahun depan.
Sementara patokan rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) tidak berubah dari yang telah ditetapkan dalam asumsi dasar ekonomi makro 2023, yakni 90 dollar AS per barel. Secara lebih rinci, subsidi untuk BBM naik dari Rp 20,93 triliun menjadi Rp 21,54 triliun. Anggaran subsidi elpiji 3 kilogram naik dari Rp 117,4 triliun menjadi Rp 117,84 triliun. Sementara anggaran untuk subsidi listrik naik dari semula Rp 72,32 triliun menjadi Rp 72,57 triliun.
”Saat ini yang sudah dihitung baru anggaran untuk subsidi energi saja. Untuk estimasi kompensasi energi yang berkaitan juga dengan pertalite akan dipaparkan dalam kesempatan berikutnya. Yang pasti, reformasi subsidi energi mendesak dilakukan,” ujar Febrio.
Febrio mengatakan, terdapat sejumlah tantangan utama dalam upaya reformasi subsidi energi, di antaranya harga komoditas yang tinggi menyebabkan nilai subsidi menjadi besar, solar dan elpiji masih didistribusikan secara terbuka, serta validasi data penerima subsidi tidak lengkap, dan kebutuhan anggaran dinilai semakin meningkat seiring dengan upaya mendukung energi baru dan terbarukan (EBT).
Ia menegaskan, pemerintah dan DPR harus bersama-sama merumuskan kebijakan yang lebih menyasar masyarakat. ”Subsidi ini perlu dievaluasi terus-menerus agar terjadi transfer nilai yang diberikan kepada masyarakat yang berhak, khususnya bagi masyarakat di desil 1, 2, 3, dan 4,” ujarnya.
Dihubungi secara terpisah, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Aviliani, mengatakan, di banyak negara, subsidi barang, seperti BBM, memang cenderung disalahgunakan karena membutuhkan pengawasan yang ekstraketat. Oleh karena itu, orientasi penyaluran subsidi perlu segera diubah dari yang semula berbasis barang menjadi berbasis orang.
Ia menambahkan, polemik tata kelola subsidi energi dapat menjadi pelecut pemerintah dalam upaya pengembangan sumber EBT. ”Momentum saat ini menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk semakin mempersiapkan negara beralih ke EBT,” ujarnya.
Sebelumnya, dalam rapat kerja bersama Komisi VII DPR, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif menjelaskan, dinamika di tingkat global saat ini membuat sejumlah proyeksi yang berkaitan dengan energi, termasuk harga rata-rata minyak mentah Indonesia, menjadi sulit diterka.
”Permintaan minyak mentah seharusnya meningkat karena sejumlah negara sudah memasuki perubahan musim ke musim dingin. Akan tetapi, di tengah permintaan yang meningkat, harga justru turun,” ujarnya.
Permintaan minyak mentah juga seharusnya meningkat karena sejumlah negara sudah memasuki perubahan musim ke musim dingin. Akan tetapi, di tengah permintaan yang meningkat, harga justru turun. (Arifin Tasrif)
Pemerintah dan DPR telah menyepakati rincian asumsi di sektor energi untuk tahun 2023, yakni ICP 90 dollar AS per barel, lifting minyak bumi 660.000 barel per hari, lifting gas bumi 1,1 juta barel setara minyak per hari, dan cost recovery 8,25 miliar dollar AS.
Tahun ini, harga minyak mentah internasional memang berfluktuasi. Catatan Trading Economics untuk minyak mentah jenis Brent, misalnya, sempat menyentuh 119 dollar AS per barel pada Maret 2022. Setelah itu menurun, tetapi masih di atas 100 dollar AS per barel hingga pertengahan Juli 2022.
Memasuki September 2022, ada tren penurunan harga dan sempat pada harga sekitar 82 dollar AS per barel, tetapi kemudian kembali naik. Per 9 September 2022 tercatat harga pada 86 dollar AS per barel. Pada akhir triwulan III-2022, harganya diperkirakan berada di posisi 89,63 dollar AS per barel.