Program bantuan subsidi upah hanya bisa dinikmati secara eksklusif oleh peserta BP Jamsostek. Sementara pekerja di luar BP Jamsostek harus menanggung konsekuensi dari kelalaian perusahaan dan pemerintah.
Oleh
agnes theodora
·5 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Pekerja proyek sedang makan siang di warung tegal di kawasan Bekasi Barat, Kota Bekasi, Jawa Barat, Rabu (31/8/2022). Pemerintah akan kembali menyalurkan bantuan subsidi upah atau BSU untuk mengantisipasi dampak kenaikan harga bahan bakar minyak dan berbagai barang terhadap daya beli masyarakat.
Untuk kali ketiga, pemerintah kembali menyalurkan bantuan subsidi upah atau BSU. Kebijakan yang awalnya dikenalkan di masa pandemi Covid-19 itu kini menjadi salah satu instrumen bantuan sosial untuk meredam dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan tren kenaikan inflasi terhadap daya beli pekerja.
Di saat krisis, tak dimungkiri, bantuan uang tunai yang diserahkan secara langsung ke rekening dan alamat pekerja merupakan terobosan kebijakan yang niscaya diperlukan. Setidaknya, untuk meredam dampak krisis secara jangka pendek.
Persoalannya, bantuan langsung tunai seperti itu baru akan efektif jika jatuh ke tangan yang tepat, yaitu masyarakat yang paling rentan terdampak guncangan ekonomi. Sementara untuk ketiga kali, BSU lagi-lagi hanya bisa dinikmati secara eksklusif oleh peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BP Jamsostek).
Tidak masalah menggunakan data BP Jamsostek jika program jamsostek di Indonesia sudah terkelola dengan baik. Namun, nyatanya, masih banyak pekerja formal yang belum terdaftar sebagai peserta BP Jamsostek. Sampai akhir 2021, jumlah pekerja yang terlindungi jamsostek hanya 32,67 persen dari total 93,8 juta pekerja di Indonesia yang berhak mendapat jaminan sosial.
Masih marak pula ditemukan fenomena ”Perusahaan Data Sebagian Upah” atau PDS Upah, di mana pemberi kerja melaporkan upah pekerjanya lebih rendah daripada sebenarnya agar bisa mengurangi beban iuran yang harus dibayar setiap bulan. Data yang dipakai untuk dasar pemberian BSU juga merupakan data gaji pokok dan tunjangan tetap terakhir yang dilaporkan pemberi kerja ke BP Jamsostek sehingga belum mencerminkan seluruh penghasilan yang diterima pegawai.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Aktivitas pekerja mengolah kelapa di PT Pacific Eastern Coconut Utama (PECU), di Desa Sukaresik, Kecamatan Sidamulih, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat, Kamis (11/8/2022).
Artinya, BSU yang seharusnya disalurkan untuk pekerja dengan gaji bulanan di bawah Rp 3,5 juta atau senilai upah minimum itu bisa saja jatuh ke tangan pekerja yang memiliki gaji bulanan lebih tinggi dan tergolong mampu secara finansial akibat adanya praktik PDS ataupun data upah terakhir yang belum ter-update.
Faktor-faktor di atas membuat program BSU yang hanya berpatokan pada data BP Jamsostek berpotensi tidak tepat sasaran dan eksklusif. Kritik dan masukan mengenai inklusivitas penerima BSU dan pembenahan basis data pekerja ini sudah dilayangkan setiap tahun sejak BSU digulirkan, tetapi tak pernah digubris.
BSU yang seharusnya disalurkan untuk pekerja dengan gaji bulanan di bawah Rp 3,5 juta atau senilai upah minimum itu bisa saja jatuh ke tangan pekerja yang memiliki gaji bulanan lebih tinggi.
Tidak adil
Dari tahun ke tahun, argumentasi Kementerian Ketenagakerjaan kurang lebih sama. Pertama, bantuan harus disalurkan secara cepat sehingga tidak ada pilihan lain selain memakai data BP Jamsostek yang sudah tersedia dan terverifikasi. Kedua, pemerintah ingin mengapresiasi pengusaha dan pekerja yang mengikuti program Jamsostek dari awal.
Meminjam kata-kata Sekretaris Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kemenaker Surya Lukita Warman, ”Kita tidak ingin ada moral hazard bahwa setelah ada BSU, baru ramai-ramai daftar ke BP Jamsostek. Ini bentuk apresiasi untuk pekerja dan pengusaha yang ikut di program BP Jamsostek dari awal.”
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, mendaftarkan pekerja ke Jamsostek adalah kewajiban perusahaan sebagai pemberi kerja, bukan pekerja itu sendiri. UU bersangkutan juga mengatur sanksi bagi perusahaan yang lalai menjalankannya.
Lantas, apakah adil jika pekerja yang harus ”membayar” kelalaian perusahaan dengan tidak mendapatkan BSU setiap kali krisis muncul? Untuk siapa sebenarnya program BSU itu diberikan?
Pada kenyataannya, pekerja sulit berkutik jika perusahaan tidak mendaftarkannya di BP Jamsostek sesuai kewajiban. Apalagi, jika perusahaan bersangkutan tidak memiliki serikat pekerja yang memungkinkan pekerja memperjuangkan haknya secara kolektif.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-IX/2011 dan Putusan MK Nomor 82/PUU-X/2012 sebenarnya membolehkan seorang pekerja untuk mendaftarkan diri ke BP Jamsostek jika hal itu tidak dilakukan oleh perusahaannya.
Pada kenyataannya, pekerja sulit berkutik jika perusahaan tidak mendaftarkannya di BP Jamsostek sesuai kewajiban.
Dalam putusan itu, MK membuat norma baru pada Pasal 13 Ayat (1) UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, bahwa pekerja berhak mendaftarkan diri sebagai peserta BP Jamsostek jika perusahaan atau pemberi kerja tidak mendaftarkannya ke Jamsostek. BP Jamsostek kemudian tinggal menagihkan biaya iuran bulanan ke perusahaan bersangkutan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Namun, putusan MK itu belum ditindaklanjuti oleh BP Jamsostek sampai sekarang. Pekerja pun hanya bisa ”gigit jari” dan pasrah menerima nasib ketika namanya lagi-lagi tidak muncul di daftar penerima BSU hanya karena perusahaannya tidak menjalankan kewajiban sesuai aturan dan negara tidak menegakkan aturan sebagaimana mestinya.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Pedagang minuman menata dagangannya di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Rabu (31/8/2022). Pemerintah mengalokasikan anggaran sebanyak Rp 24,17 triliun untuk menjaga daya beli masyarakat melalui bantuan langsung tunai, bantuan subsidi upah, dan bantuan dari dana transfer umum.
Di sisi lain, alasan ”apresiasi” bagi perusahaan juga kurang tepat karena nyaris tidak ada insentif dan disinsentif secara langsung bagi perusahaan yang pekerjanya tidak menerima BSU. Perusahaan tidak diuntungkan ataupun dirugikan. Mereka tetap harus membayar gaji seperti biasa ketika pekerjanya mendapat BSU. Mereka juga tidak disanksi ketika pekerjanya tidak menerima BSU. Satu-satunya pihak yang dirugikan secara langsung adalah pekerja itu sendiri.
Basis data
Argumentasi pemerintah bahwa data BP Jamsostek adalah satu-satunya yang tersedia di tengah tuntutan penyaluran yang cepat juga terkesan sudah usang. Alasan itu mungkin masih bisa diterima saat BSU pertama kali dikeluarkan. Akan tetapi, ini sudah kali ketiga BSU digulirkan. Seharusnya, kali ini, pendataan sudah dibenahi dan penyaluran BSU lebih inklusif.
Data BP Jamsostek memang cara paling aman dan cepat untuk pemerintah karena datanya relatif sudah bersih dan terverifikasi. Namun, selama belum ada pembenahan cakupan kepesertaan BP Jamsostek, pemerintah perlu membuat acuan basis data (database) ketenagakerjaan yang lebih komprehensif, mutakhir, dan dapat diandalkan.
Ada beberapa mekanisme yang bisa ditegakkan pemerintah untuk membenahi basis data pekerja formal di Indonesia. Misalnya, melalui sistem Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan (WLKP). Sistem itu mengharuskan pemberi kerja untuk melaporkan informasi terkait ketenagakerjaan di lingkup perusahaan.
Namun, implementasi sistem itu masih jauh dari ideal. Pada akhir Mei 2022, jumlah perusahaan yang melapor WLKP baru mencakup 1,9 persen dari total 26,7 juta perusahaan di Indonesia yang tercatat dalam Sensus Ekonomi 2017.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Suasana pencairan uang bantuan sosial pengalihan subsidi bahan bakar minyak (BBM) di Aula Pos RW 001 Kelurahan Gambir, Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat, Jumat (2/9/2022). Sebanyak 55 kepala keluarga dari tiga RW di wilayah kelurahan ini mencairkan bantuan sosial pengalihan subsidi BBM. Pemerintah mulai mencairkan program bantuan sosial pengalihan subsidi BBM ini mulai Kamis (1/9/2022). Besaran bantuan ini adalah Rp 150.000 per kepala keluarga dan dibayarkan setiap dua bulan sekali hingga akhir tahun 2022.
Selain mengefektifkan WLKP, pemerintah juga bisa menempuh cara yang lebih proaktif untuk mendata kondisi pekerja di perusahaan melalui pengerahan dinas ketenagakerjaan di tiap daerah untuk melakukan pencatatan secara komprehensif. Di sini dibutuhkan koordinasi kuat antara Kemenaker, Kementerian Dalam Negeri, dan pemerintah daerah.
Sudah saatnya pemerintah bersikap lebih proaktif dan melakukan ”jemput bola” untuk membenahi benang kusut persoalan ketenagakerjaan, yang salah satunya bersumber dari buruknya pengawasan dan pendataan kondisi pekerja. Basis data itu bisa dipakai untuk acuan kebijakan berikutnya mengingat BSU tahun ini sudah siap dicairkan dalam waktu dekat.
Selama kondisi ekonomi masih tak menentu dan peluang krisis lain masih ada di depan mata, kebijakan BSU akan tetap dibutuhkan untuk menjaga daya beli pekerja. Mau sampai kapan kita menyia-nyiakan uang negara yang terbatas untuk bantuan yang tidak inklusif dan meleset dari sasaran?