UMKM Butuh Peran Agregator untuk Tembus Pasar Ekspor
Sudah saatnya pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah membangun kolaborasi dengan para agregator. Tidak cukup bersaing antar-UMKM di negeri sendiri. Agregator perlu membantu UMKM menuju pasar ekspor.
JAKARTA, KOMPAS — Sudah saatnya pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah membangun kolaborasi dengan para agregator. Tidak cukup bersaing antar-UMKM di negeri sendiri, sementara UMKM telah disibukkan oleh persaingan dengan produk asing. Agregator perusahaan besar perlu ambil bagian dalam perannya untuk mengonsolidasikan UMKM supaya dapat menembus pasar ekspor, khususnya sektor kriya dan wastra.
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki dalam siaran persnya di Jakarta, Jumat (9/9/2022), terkait rangkaian penyelenggaraan Cerita Kriya oleh Dewan Kerajinan Nasional bersama Kementerian Koperasi dan UKM di Bali menegaskan, untuk mengembangkan kriya dan wastra memang tak bisa dilakukan sendiri-sendiri. Kehadiran agregator sangat diperlukan dalam mewujudkan UMKM ekspor dan agar UMKM berdaya saing tinggi.
Rangkaian Cerita Kriya menghadirkan sejumlah perusahaan sekaligus agregator yang menjadi best practice dalam membawa produk UMKM ekspor. Sebut saja PT Sarinah Indonesia (Persero), Alun-alun Indonesia, Out of Asia, hingga Du’Anyam yang membagikan strategi sukses mereka dalam mengantarkan UMKM naik kelas ke pasar ekspor global.
”Saya kira apa yang sudah kita lakukan sudah on the track. Konsolidasi dan koneksikan UMKM dengan pasar serta pembiayaan tergabung untuk membangun seluruh ekosistem yang dibutuhkan,” kata Teten dalam diskusi panel Cerita Kriya bertajuk ”Akselerasi Kriya: Strategi dan Konsolidasi UMKM Naik Kelas Pasar Ekspor” di Gedung Art Bali, Bali Collection, Nusa Dua, Bali.
Teten menyatakan, dirinya tidak menginginkan UMKM hanya sekadar bertahan selama masa pandemi Covid-19, tetapi juga bisa terus tumbuh dan berkembang. Indonesia memiliki kekuatan sumber daya manusia yang inovatif dalam menciptakan suatu produk.
”Saya sudah keliling daerah, sebagian besar pelaku UMKM punya spirit untuk tumbuh dan bersaing,” ujar Teten.
Sementara itu, Presiden Direktur Out of Asia Handaka Santosa membagikan pengalamannya dalam membangun Out of Asia sejak 15 tahun lalu dan telah malang melintang di dunia ekspor produk-produk kerajinan tangan ke sejumlah negara, bahkan hampir di lima benua. Saat ini, Out of Asia juga telah menggandeng lebih dari 10.000 perajin dari empat pulau di Indonesia (Sumatera, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara Timur).
”Out of Asia merupakan bagian dari MAP yang 100 persen usahanya ekspor. Kalau orang tahunya MAP itu Zara, Sogo, dan lainnya, Out of Asia justru hadir menjadi agregator produk kerajinan dalam negeri, khususnya UMKM, yang kemudian dipasarkan ke luar negeri,” kata Handaka.
Beberapa produk yang diekspor Out of Asia adalah kerajinan kayu dan eceng gondok. Produk-produk hasil olahan perajin ini juga dipamerkan di salah satu jaringan ritel MAP global, seperti Zara Home Store, dan beberapa instalasi target toko vas kayu ataupun keranjang di sejumlah negara.
”Produk yang kami kurasi dari UMKM ini telah diekspor ke lebih dari 5.000 toko di lima benua. Para pembelinya itu H&M Home, Marks and Spencer, Zara Home, The Body Shop, Dunelm, L&M Home, Pottery Barn, World Market, dan masih banyak lagi,” lanjut Handaka.
Out of Asia, katanya, berkomitmen untuk memberdayakan potensi masyarakat dan UMKM dengan melakukan beberapa pelatihan pembuatan barang kerajinan untuk tujuan ekspor. Pelatihan diadakan di beberapa wilayah, seperti Kroya, Grobogan, Lombok, Kebumen, dan sejumlah daerah di seputar Yogyakarta.
Sasaran utamanya adalah masyarakat berpenghasilan rendah. Diharapkan program pelatihan tersebut akan meningkatkan penghasilan dan ekonomi rumah tangga mereka. ”Kami selalu membuka diri terhadap apa yang kami bisa lakukan lebih lagi, bagi kemajuan UKM yang ada di Indonesia,” ujar Handaka.
Selanjutnya, Direktur Alun-alun Indonesia Kreasi Catharina Widjaja menceritakan, Alun-alun Indonesia merupakan ritel modern yang mempunyai konsep one stop shopping experience, dengan suasana dan sentuhan budaya Indonesia. Alun-alun Indonesia menawarkan berbagai produk Indonesia yang berkualitas, mulai dari produk fashion, aksesori, aneka kain Nusantara, produk living, perhiasan, aneka produk spa, ragam produk antik, aneka makanan olahan, dan produk kriya lainnya. Total sekitar 80 persen merupakan produk UMKM karya perempuan perajin.
Di Jakarta, Alun-alun Indonesia terdapat di Grand Indonesia West Mall Level 3 dan Hotel Indonesia Kempinski. Sementara di Bali terdapat di Sogo Bali Collection.
”Akhir tahun ini, kami akan membuka satu toko di Hainan, China, di mana kawasan Hainan ini mirip dengan Bali. Di sana, kami akan membawa produk UMKM yang sudah dikurasi. Strategi kami dalam ekspor UMKM adalah dengan melakukan kurasi dan menyiapkannya cocok ditempatkan di negara tersebut. Memberi informasi dan pengetahuan, apa saja yang sedang dibutuhkan pasar,” kata Catharina.
Kurasi dan Pendampingan
Direktur Utama Sarinah Indonesia Fetty Kwartati, yang dianggap telah sukses melakukan berbagai transformasi, memastikan saat ini produk yang dijual di Sarinah adalah 100 persen lokal. Dari awal, Sarinah memang dibangun dengan tujuan membantu ekonomi rakyat dan mendorong UMKM naik kelas.
”Untuk itu, kami terus menggandeng Kemenkop dan UKM untuk mengurusi yang di hulu, sedangkan kami urus yang di hilirnya,” kata Fetty.
Tujuan transformasi yang dilakukan ini membuat Sarinah bukan lagi sebagai agregator, melainkan lebih menjadi super-agregator yang memiliki merek pemersatu di Indonesia. Sarinah bukan hanya pusat belanja. Akan tetapi, Sarinah adalah gerakan formalitas Bangga Buatan Indonesia (BBI). Sarinah tak hanya hadir secara domestik, tetapi juga di mancanegara.
Fetty menuturkan, Sarinah kini menjadi wajah modern Indonesia yang membangun ekosistem pengembangan UMKM unggulan Tanah Air menuju pasar ritel modern masa depan dan pasar global. Tak hanya itu, Sarinah juga menyebut dirinya sebagai community mall yang menjadi melting pot lintas generasi.
Dalam menerapkan strategi mendorong ekspor UMKM, Sarinah pun mengklaim diri sebagai operator ritel yang menaungi jenama lokal unggulan melalui optimalisasi operasional ritel yang terintegrasi dan membentuk interaksi personalized customer experience. Tak hanya itu, Sarinah juga menjadi operator ritel untuk BUMN dan pemangku kepentingan lainnya sehingga dari sisi pembiayaan Sarinah didukung pembiayaan oleh BUMN lain, mulai dari Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia hingga Himpunan Bank Milik Negara (Himbara). Sarinah juga memberikan pembinaan UMKM, khususnya di bidang manajemen ritel, merek, hingga visualisasi produk. Setelah transformasi, Sarinah kini dikunjungi 20.000-30.000 orang saat hari biasa dan sekitar 40.000 pengunjung pada akhir pekan.
Tak ingin ketinggalan, Du’Anyam hadir menjadi usaha sosial (social enterprise) bidang kriya yang unggul karena sistem rantai pasok kuat dan terpadu bagi 1.400 lebih perajin. Mereka telah dilatih di 54 desa yang berada di NTT, Papua, dan Kalimantan Selatan.
”Sebanyak 200.000 produk anyaman khas kami telah terjual kepada lebih dari 500 pembeli yang berasal dari korporat dan hotel. Tak heran, rata-rata peningkatan pendapatan perajin tumbuh 40 persen dan 105 persen terjadi peningkatan pendapatan penganyam,” kata Cofounder Du’Anyam Hanna Keraf.
Tahun depan, kata Hanna, produk anyaman dari Flores direncanakan akan diekspor. Jumlahnya memang belum terlalu banyak mengingat sekitar 80 persen pembelinya masih datang dari pasar domestik. Du’Anyam menyasar pasar workshop, seminar (untuk keperluan godie bag), terutama amenities yang bisa dipasok oleh produk anyaman, sehingga produk anyaman bisa masuk ke berbagai segmen pembeli.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Pengembangan UMKM dan Perlindungan Konsumen Bank Indonesia (BI) Elsya Chani menyatakan, proses ekspor memang tidaklah mudah bagi UMKM secara individual. Itulah sebabnya, diperlukan peran dari perusahaan atau lembaga besar sebagai agregator untuk hadir membantu UMKM.
”Ada kompleksitas dalam ekspor, maka dibutuhkan bantuan dari semua pihak agar ekspor UMKM berjalan baik. Dan yang paling penting adalah kurasi, literasi, dan pendampingan UMKM sebelum mampu melakukan ekspor secara mandiri,” kata Elsya.
Di satu sisi, BI juga telah meluncurkan BI Fast yang membuat tarif transfer antarbank menjadi sangat murah, hanya dipatok Rp 2.500 per transaksi. Salah satu tujuannya adalah mendorong UMKM supaya tak ragu lagi untuk go digital dengan melakukan pembayaran melalui QRIS.