Perusahaan Diajak Bangun UMKM Hijau Masuk Rantai Pasok Global
Perusahaan besar diminta untuk tidak sekadar mengucurkan dana CSR, tetapi juga mendorong UMKM binaan masuk ke rantai pasok industri global. Langkah ini diharapkan membuat pelaku UMKM bisa naik kelas.
Oleh
STEFANUS OSA TRIYATNA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam bermitra dengan usaha mikro, kecil, dan menengah, perusahaan besar diharapkan tidak sekadar mengucurkan dana tanggung jawab sosial korporat atau CSR, tetapi juga membangun kekuatan mitra binaannya untuk masuk dalam rantai pasok industri global atau dikenal global value chain. Hal ini dinilai jauh lebih berguna dalam memperkuat struktur ekonomi Indonesia.
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) Teten Masduki pada seminar ”Indonesian SDGs Corporate Summit (ISCOS) 2022” di Bali, Rabu (7/9/2022), mengatakan, pihaknya mendorong dan berharap peran CSR perusahaan dapat mendukung pemberdayaan ekonomi, khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta koperasi. Dengan demikian, pemberdayaan ini juga mampu mengatasi masalah kemiskinan.
Pada kesempatan tersebut hadir pula Board Advisor ISCOS/Woman Indonesia SDGs sekaligus Ketua Umum Persami (Perhimpunan Saudagar Muslim Indonesia) Siti Nur Azizah, CFCD (Corporate Forum for CSR Development) Chairman Thendri Supriyatno, dan Ketua Steering Committee ISCOS Suharman Noerman, serta Staf Khusus Menteri Koperasi dan UKM Bidang Ekonomi Kreatif Fiki Satari.
Teten mengatakan, saat ini sekitar 99 persen struktur usaha di Indonesia dikuasai oleh usaha mikro dan sebanyak 97 persen lapangan kerja disediakan oleh usaha mikro. Bank Dunia mengingatkan, UMKM sebenarnya mampu menciptakan lapangan kerja yang berkualitas. Namun, sejak krisis moneter yang mengakibatkan terjadinya deindustrialisasi justru hanya menciptakan UMKM yang berorientasi pada economy subsistence.
”Ini menjadi pekerjaan rumah bersama. Kami mengurus sekitar 64 juta UMKM, tetapi sayangnya kapasitas kementerian ini kecil. Untuk itu, kolaborasi berbagai pihak sangat dibutuhkan,” kata Teten dalam keterangan tertulisnya.
Dalam menggandeng korporasi, sebagaimana amanat Presiden Joko Widodo, setiap perusahaan bertanggung jawab memperhatikan masyarakat miskin di jarak sejauh 5 kilometer di wilayah operasionalnya. Menteri Koperasi dan UKM secara khusus mengajak agar CSR perusahaan diarahkan untuk pemberdayaan ekonomi di wilayah-wilayah kategori miskin ekstrem.
”Cara mendapatkan keuntungan dengan merusak lingkungan harus ditinggalkan. Aktivitas perekonomian (produksi, distribusi, dan konsumsi) haruslah mengedepankan peningkatan kualitas hidup manusia untuk jangka panjang, tanpa mengorbankan kepentingan generasi mendatang,” ujar Teten.
Berita baiknya, kata Teten, dari hasil riset UNDP (United Nations Development Programme) menunjukkan, sebagian besar UMKM tertarik dengan gagasan praktik usaha ramah lingkungan, yakni antara 94-95 persen. Sementara antara 86-90 persen tertarik untuk melakukan praktik usaha inklusif. Aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan harus seimbang agar kesejahteraan tercapai dan alam tetap terjaga.
Menurut Teten, perusahaan harus menjalankan bisnis dengan menciptakan nilai bersama atau creating share value, menghasilkan nilai ekonomi sekaligus menghasilkan nilai bagi masyarakat dengan mengatasi tantangannya. Hal tersebut dapat dilakukan dengan tiga pendekatan, yakni memahami kembali produk dan pasar, mendefinisikan ulang produktivitas dalam rantai nilai, dan memungkinkan pengembangan kluster lokal.
Dia mencontohkan, perusahaan Nestle mendesain ulang proses pengadaan kopi. Perusahaan itu bekerja secara intensif dengan melibatkan petani kecil di daerah miskin yang terjebak dalam siklus produktivitas rendah, kualitas buruk, dan degradasi lingkungan. Nestle memberikan pendampingan terkait praktik pertanian, membantu petani mengamankan stok tanaman, pupuk, dan pestisida, serta membeli produk petani dengan harga yang lebih baik,
Teten menambahkan, kemajuan UMKM menjadi penentu keberlanjutan ekonomi nasional. Syaratnya, struktur ekonomi yang didominasi usaha mikro (99,62 persen) harus segera naik kelas. Kolaborasi perlu dikuatkan untuk mengakselerasi hal ini sehingga fondasi UMKM semakin kokoh dan siap menghadapi krisis apa pun ke depan, terutama perubahan iklim.
”Bukan cuma Indonesia, Korea Selatan juga hampir 90 persen dikuasai UMKM. Bedanya, UMKM mereka yang sudah besar, bukan lagi tradisional tetapi sudah berbasis kreativitas,” kata Teten.
Dia menyebutkan, China bisa mengekspor produk UMKM hingga 70 persen. Hal itu karena UMKM China mampu menjadi pemasok rantai global. Sementara di Indonesia baru sekitar 40 persen usaha yang menjadi pelaku di rantai pasok industri. Jika tidak memperkuat UMKM di rantai pasok industri, UMKM akan tetap sulit berkembang.
Teten mengingatkan, kehadiran Undang-Undang Cipta Kerja memberikan banyak insentif untuk kemitraan usaha besar dengan usaha kecil dengan insentif pajak. Kebutuhan industri otomotif, misalnya, bisa dipasok oleh UMKM, begitu juga furnitur dan makanan yang bisa dipasok oleh UMKM.
Sementara itu, Board Advisor ISCOS Siti Nur Azizah berharap ISCOS menjadi gerakan nasional yang bertanggung jawab. ISCOS awalnya merupakan program voluntary yang dilakukan korporat terkait SDGs.
”Saya berharap ISCOS secara berkelanjutan tetap dilaksanakan di seluruh wilayah Indonesia sehingga meningkatkan kesadaran bersama dan komitmen bersama. Tujuannya, pembangunan yang berkelanjutan meliputi sektor ESG (Environmental, Social and Governance),” jelas Siti.