OJK Dorong 37 Bank Kecil Segera Penuhi Modal Inti Minimum Rp 3 Triliun
Sampai Juli 2022, masih ada 37 bank dengan modal inti di bawah Rp 3 triliun. Bank-bank itu harus memenuhi modal inti minimal sebelum akhir 2022. Jika tidak, OJK membuka opsi mereka turun kasta menjadi BPR.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Otoritas Jasa Keuangan atau OJK mendorong 37 bank kecil untuk segera memenuhi persyaratan modal inti minimum sebesar Rp 3 triliun paling lambat akhir 2022 sesuai peraturan OJK. Bank-bank mini tersebut bisa melakukan konsolidasi dengan cara merger, disuntik modal tambahan dari investor baru, menambah modal inti dengan right issue, atau bergabung dalam kelompok usaha bank.
Jika bank-bank tersebut tidak bisa memenuhi persyaratan modal inti minimum hingga tenggat yang ditentukan, OJK dapat memberikan sanksi dengan menurunkan status bank-bank tersebut menjadi bank perkreditan rakyat (BPR).
Dalam rapat kerja OJK dengan Komisi XI DPR di Jakarta, Kamis (8/9/2022), Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengatakan, sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 12 Tahun 2020 tentang Konsolidasi Bank Umum, pihaknya terus mendorong bank-bank yang belum memenuhi syarat untuk memenuhi permodalan inti minimum sebesar Rp 3 triliun hingga akhir tahun ini.
”Pemenuhan modal inti minimal ini untuk mendorong struktur perbankan yang lebih kuat dan berdaya saing tinggi. OJK terus mendorong dan memonitor pemenuhan modal inti bank tersebut,” ujar Mahendra.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae sebelumnya mengatakan, sampai Juli 2022, terdapat 37 bank dengan modal inti masih di bawah Rp 3 triliun. Adapun rinciannya adalah sebanyak 24 bank umum dan 13 bank pembangunan daerah (BPD). Jumlah tersebut setara dengan 34,5 persen atau lebih dari sepertiga dari total bank yang ada di Indonesia, yakni 107 bank.
Dian menjelaskan, apabila hingga akhir tahun ini 37 bank itu belum juga memenuhi permodalan inti minimal Rp 3 triliun tersebut, pihaknya akan membuka opsi meminta perbankan itu mengubah model usahanya atau turun kasta menjadi BPR. Hal ini sesuai dengan POJK Nomor 12 Tahun 2020 tentang Konsolidasi Bank Umum.
”OJK meminta komitmen dari pemegang saham bank untuk melakukan penambahan modal serta mendorong aksi korporasi yang dibutuhkan dalam konsolidasi perbankan,” ujar Dian.
Ketimpangan bisnis
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah secara terpisah menjelaskan, aturan modal inti minimum bagi perbankan ini sejatinya punya semangat untuk mengonsolidasi industri perbankan agar semakin kuat. Hal ini sudah lama dirancang dalam Arsitektur Perbankan Indonesia sejak pengawasan perbankan masih berada di Bank Indonesia.
Ia menilai jumlah perbankan di Indonesia yang mencapai lebih dari 100 bank selama lebih dari 10 tahun terakhir ini sangat tidak ideal. Sebab, terdapat ketimpangan skala bisnis dan kapasitas permodalan antara bank besar dan kecil ini. Bank-bank papan atas memiliki aset dan dana kelolaan hingga ribuan triliun rupiah, sementara bank-bank papan bawah ada yang hanya memiliki modal inti di bawah Rp 1 triliun dengan dana kelolaan miliaran rupiah saja.
”Kebanyakan bank kecil itu ibarat hidup segan mati pun tak mau. Ini tidak sehat bagi industri perbankan. Maka, ini perlu dikurangi jumlahnya dengan cara paksa melalui peraturan pemenuhan modal inti minimum dan konsolidasi bank-bank tersebut,” ujar Piter.
Ia mengatakan, saat ini sudah tidak ada alasan lagi bagi bank-bank kecil untuk tidak memenuhi persyaratan modal inti minimum. Sebab, aturan tersebut sudah diterapkan secara bertahap, yakni pada akhir 2020 sebesar Rp 1 triliun, akhir 2021 meningkat menjadi Rp 2 triliun, dan pada akhir 2022 menjadi Rp 3 triliun.
”Dorongan konsolidasi dan pemenuhan modal inti minimum sudah diberikan waktu yang cukup panjang. Jadi, semestinya sudah bisa direncanakan dan dipenuhi,” ujar Piter.
Mengenai opsi sanksi menurunkan status bank umum menjadi BPR, menurut dia, hal itu berarti menurunkan layanan perbankannya kepada nasabah. Bank umum yang sebelumnya mampu melakukan transaksi kliring akan kehilangan kemampuan itu jika turun kelas menjadi BPR. Dana pihak ketiga (DPK) mereka pun akan menyusut karena BPR tidak diperbolehkan membuka giro bagi nasabah.
”Ruang gerak mereka jadi terbatas,” katanya.
Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin mengatakan, selain mendorong struktur industri perbankan yang lebih sehat, penambahan modal inti perbankan juga dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas bisnis perbankan. Modal inti yang semakin besar bisa mengurangi risiko serta bisa meningkatkan perlindungan dana nasabah.
”Kalau banknya besar dan bermodal besar, kan, masyarakat jadi lebih yakin dan percaya," ujar Amin.
”Right issue”
Sejauh ini tercatat ada sejumlah bank kecil dengan modal di bawah Rp 3 triliun yang berupaya meningkatkan modalnya. Strategi yang paling banyak dilakukan adalah melakukan right issue di pasar modal.
Mengutip Laporan Statistik Mingguan Direktorat Statistik dan Informasi Pasar Modal OJK, sejak awal tahun hingga pekan keempat Agustus 2022, setidaknya ada lima bank kecil yang melakukan right issue untuk meningkatkan modal inti mereka.
”Fenomena banyaknya bank kecil melakukan right issue itu memang bagian dari upaya mereka meningkatkan modal inti,” ujar Piter.