Memacu Transisi Energi Tanpa Abaikan Aksesibilitas
G20 Transisi Energi menyepakati Bali Common Principles in Accelerating Clean Energy Transitions (Compact), yang berisi prinsip-prinsip percepatan transisi energi yang bersih, berkelanjutan, terjangkau, dan inklusif.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA
Suasana diskusi Energy Transition Working Group (ETWG) G20 Presidensi Indonesia bertajuk "Implementation of CCS/CCUS to Advancing Energy Transitions" di Nusa Dua, Badung, Bali, Senin (29/8/2022). Pada diskusi lainnya, juga dibicarakan upaya bersamamencari solusi jangka pendek dari krisis gas global pascapulihnya perekonomian serta dampak geopolitik dunia.
Energy Transitions Ministerial Meeting yang digelar di Nusa Dua, Badung, Bali, Jumat (2/9/2022), menjadi puncak dari rangkaian Kelompok Kerja Transisi Energi atau Energy Transitions Working Group/ETWG G20 Presidensi Indonesia. Hasil forum tersebut akan disampaikan pada Konferensi Tingkat Tinggi G20 pada November 2022 di Bali.
Kendati tidak mencapai komunike, Energy Transitions Ministerial Meeting (ETMM) G20 yang dihadiri 19 menteri dan wakil menteri dari negara-negara anggota G20, 6 menteri dan wakil menteri dari non-anggota, serta 11 perwakilan organisasi internasional menyepakati Bali Common Principles in Accelerating Clean Energy Transitions (Compact). Bali Compact menyepakati prinsip percepatan transisi energi yang bersih, berkelanjutan, terjangkau, dan inklusif.
Indonesia juga mengajukan Bali Energy Transitions Roadmap sebagai inisiatif dalam penguatan dalam kerja sama dan kontinuitas agenda global. Tiga prioritas utama dalam peta jalan itu adalah pengamanan aksesibilitas energi, peningkatan teknologi energi pintar dan bersih, serta memajukan pembiayaan energi bersih. Para peserta ETMM juga memberikan perhatian khusus akan tantangan dan peluang saat dunia beralih ke energi bersih.
”Terutama kondisi khusus dan hambatan yang dihadapi oleh negara kepulauan, masyarakat di pulau terpencil, yang ada di seluruh penjuru dunia, khususnya di Pasifik,” kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif dalam pernyataan pers, Jumat (2/9/2022).
Ketua Kelompok Kerja Transisi Energi G20 Presidensi Indonesia Yudo Dwinanda Priaadi menuturkan, semua negara berharap transisi energi berjalan mulus. Dampak dari upaya itu diharapkan seminimal mungkin dan jangan sampai mengganggu pertumbuhan ekonomi, terutama pada negara-negara berkembang. Menurut dia, setiap negara telah mendeklarasikan emisi nol bersih (net zero emission/NZE).
”Ini adalah tahun pertama kita semua bertemu dalam kelompok energi dan semua sedang kerjakan rencana jangka panjang masing-masing. Semua ingin recover together, recover stronger. Setelah pandemi Covid-19, sekarang coba bangkit kembali, antara lain lewat transisi ke arah energi yang bersih, emisi lebih rendah,” jelasnya.
Dalam ETMM G20 juga diluncurkan peta jalan sektor energi di Indonesia menuju NZE di 2060. Peta jalan itu hasil kerja sama antara Kementerian ESDM dan International Energy Agency (IEA) sejak awal 2022. Peta jalan NZE khusus sektor energi itu akan menjadi revisi dari yang sebelumnya pernah disampaikan Menteri ESDM pada COP26 di Glasgow, Skotlandia, 2021.
Dalam laporan peta jalan NZE Indonesia oleh IEA itu disebutkan, tagihan impor minyak pada 2022 bisa lebih dari 35 miliar dollar AS mengacu pada kenaikan harga minyak mentah. Dengan skenario business-as-usual, bisa mencapai lebih dari 50 miliar dollar AS pada 2030. Sementara dengan peta jalan NZE 2060, impor minyak bisa ditekan sepertiga lebih rendah pada 2030.
Deputy Minister of Natural Resources Kanada John FG Hannaford menyampaikan bahwa Indonesia adalah negara penting di dunia berkait dengan jumlah populasi, juga dalam dinamika perekonomian. Komitmen pada peta jalan menuju NZE akan menjadi elemen penting dalam mengatasi tantangan perubahan iklim.
KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA
Direktur Utama Subholding Power & New Renewable Energy Pertamina (Pertamina NRE) Dannif Danusaputro memberi penjelasan terkait SPBU Green Energy Station kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif dan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati di Kota Denpasar, Bali, Selasa (30/8/2022). Acara itu rangkaian dari Energy Transition Working Group (ETWG) G20 Presidensi Indonesia di Bali, pekan ini.
Commissioner for Energy Uni Eropa Kadri Simson menuturkan, di masa mendatang, sistem energi di Indonesia tak hanya krusial bagi masyarakat, pelaku bisnis, dan lingkungan, tetapi juga seluruh dunia. Namun, target-target yang ditetapkan tidak ada artinya tanpa implementasi dan implementasi mustahil tanpa perencanaan. Target yang diusung Indonesia pun ambisius dan dapat dicapai.
”Rute Indonesia familiar dengan kami di Eropa. Kami pun ingin mendukung Indonesia. Perjalanan transisi energi ini harus berkeadilan dan tidak ada yang tertinggal. Inilah kenapa kami bersama sekutu bekerja sama untuk bermitra dengan Indonesia, baik untuk pendanaan maupun bentuk dukungan lainnya,” ujar Simson.
Akses dan konektivitas
Executive Secretary of the United Nations Economic and Social Commission for Asia and Pacific (UNESCAP) Armida Salsiah Alisjahbana menuturkan, ada dua hal yang perlu disorot dalam investasi energi bersih yang mungkin terlupakan. Pertama ialah akses terhadap energi. Kedua yakni konektivitas jaringan listrik (power grid).
Menurut Armida, untuk mencapai akses universal terhadap kelistrikan dan clean cooking, tak hanya dibutuhkan dana pemerintah, tetapi juga inovasi, khususnya dari pendanaan swasta. Adapun konektivitas jaringan kelistrikan terkait dengan upaya mewujudkan poin ketujuh Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), menjamin akses energi bersih dan terjangkau, dengan konektivitas regional serta kolaborasi.
”Pendekatan ini bisa membantu penyediaan energi terbarukan berbiaya rendah. Namun, itu memerlukan investasi besar,” ujar Armida dalam High Level Energy Transitions Dialogue Day, rangkaian G20 transisi energi yang digelar Kementerian ESDM dan International Renewable Energy Agency (IRENA) di Bali, Kamis (1/9).
Managing Director of Development Policy and Partnerships Bank Dunia Mari Elka Pangestu mengemukakan, akses energi yang terjangkau dan universal tak boleh terlupakan. Di sisi lain, transisi energi mesti diakselerasi karena diversifikasi energi ialah jawaban dalam tantangan keamanan energi (energy security).
KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA
Kendaraan listrik terparkir di depan charging station Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Green Energy Station, di Kota Denpasar, Bali, Selasa (30/8/2022). Sebagai rangkaian Energy Transition Working Group (ETWG) G20 Presidensi Indonesia di Bali, pekan ini, SPBU Green Energy Station itu Pertamina itu diresmikan.
Sementara itu, pada negara- negara berkembang agar dapat mewujudkan pembangunan hijau dan inklusif, maka mereka harus mampu mengatasi dua persoalan terkait energi. Pertama ialah perihal akses dan kedua mengenai keadilan (energi).
Di Indonesia misalnya. Di Pulau Jawa, bisa jadi lebih dekat dengan isu transisi energi. Namun, di luar Jawa, termasuk di daerah-daerah terpencil, persoalan akses energi yang mengemuka. Maka, di negara-negara besar, seperti Indonesia bahkan China, transisi energi dan akses energi menjadi dua isu bersama yang dihadapi.
Pengembangan energi terbarukan kendati mendesak, kerap menemui pertanyaan bagaimana pendanaannya, terutama pada bagian yang tidak bankable. Karena itu, ujar Mari, anggaran pemerintah mesti masuk, yang didukung kerja sama internasional serta dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), hingga donor dan filantropi untuk menekan biaya. Namun, katanya, yang mendasar ialah kebijakan yang disertai komitmen pemerintah.
”Untuk mencapai itu, mereka memerlukan dukungan. Semua sumber dan instrumen pembiayaan mesti dihadirkan secara bersama. Jika tidak demikian, tak akan bisa,” ujarnya.
Menanti implementasi
Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai, apa yang disepakati dalam G20 Presidensi Indonesia terkait transisi energi menjadi hal positif. Diharapkan, hal itu tak sekadar basa-basi, tetapi ditindaklanjuti dengan implementasi.
”Dengan posisi sebagai presidensi G20, Indonesia seharusnya bisa mengambil peran besar untuk memacu langkah dalam mengembangkan energi terbarukan, termasuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan menuju NZE 2060,” ujarnya.
Indonesia, kata Mamit, memiliki potensi besar dalam pengembangan energi terbarukan. Namun, hal tersebut tidak akan bisa dilakukan sendiri. Dengan keterbatasan APBN, tak mungkin seluruh pendanaan akan ditanggung pemerintah. Dukungan pendanaan, terutama dari negara-negara G20, amat dibutuhkan. Apalagi, Indonesia dianggap sebagai paru-paru dunia.