Presiden: Butuh Solusi ”Abu Nawas” Hadapi Ketidakpastian Ekonomi Global
Presiden Jokowi terinspirasi Abu Nawas dalam menghadapi perubahan lanskap dunia. Ketidakpastian ekonomi yang dipicu oleh pandemi dan konflik geopolitik berisiko memicu krisis pangan, energi, dan finansial global.
JAKARTA, KOMPAS — Lanskap ekonomi global telah berubah akibat pandemi Covid-19 dan konflik geopolitik, terutama karena perang Rusia-Ukraina. Ketidakpastian semakin menjadi-jadi sehingga dibutuhkan solusi layaknya cara Abu Nawas atau di luar pakem untuk menghadapinya.
Presiden Joko Widodo menyatakan hal itu saat membuka Sarasehan 100 Ekonom Indonesia bertajuk ”Normalisasi Kebijakan Menuju Pemulihan Ekonomi Indonesia” yang digelar Institute for Development of Economics and Finance (Indef) secara hibrida di Jakarta, Rabu (7/9/2022). Kegiatan itu membahas sejumlah persoalan dan solusi di berbagai sektor ekonomi, antara lain moneter, perbankan, dan keuangangan; fiskal dan pembangunan daerah; industri dan perdagangan; serta energi dan pangan.
Presiden memaparkan kondisi dunia yang berubah luar biasa akibat pandemi Covid-19 yang berlanjut dengan krisis akibat perang Rusia-Ukraina. Pandemi Covid-19 menunjukkan konsolidasi dari pusat sampai daerah bahkan tingkat rukun tetangga (RT).
”Konsolidasi itu yang harus diteruskan dalam menghadapi krisis pangan, krisis energi, dan krisis finansial. Yang paling penting bisa konsolidasi dari atas sampai bawah,” ujarnya.
Baca juga: Presiden Minta Pemda Subsidi Transportasi Komoditas Penting
Untuk menghadapi perubahan lanskap ekonomi global yang sangat luar biasa saat ini, Presiden Jokowi juga mengharapkan para ekonom tidak sekadar menggunakan pola pikir yang standar. Butuh pola pikir di luar pakem sebagaimana Abu Nawas. Abu Nawas merupakan tokoh pada cerita Seribu Satu Malam yang cerdik.
”Karena keadaannya tidak normal, sangat tidak normal, dibutuhkan pemikiran Abu Nawas yang kancil-kancil, agak melompat-lompat. Bekerja juga tidak bisa makro saja, ditambah mikro juga mungkin belum dapat, jadi (harus) makro, mikro, dan detail,” kata Presiden.
Karena keadaannya tidak normal, sangat tidak normal, dibutuhkan pemikiran yang abunawas yang kancil-kancil, agak melompat-lompat. Bekerja juga tidak bisa makro saja, ditambah mikro juga mungkin belum dapat, jadi (harus) makro, mikro, dan detail.
Presiden mengakui, instrumen fiskal dan instrumen moneter yang dimiliki kadang tidak mampu mengatasi kondisi yang terjadi. Hal ini dialami semua negara. Kondisi geopolitik yang tidak jelas membuat semua negara diuji.
Perang Rusia-Ukraina pun sulit diprediksi kapan berakhir. Membawa kedua pihak ke ruang dialog pun sangat sulit. Presiden Jokowi menuturkan, saat bertemu Presiden Ukraina Volodymir Zelenskyy dan Presiden Rusia Vladimir Putin, isu ancaman krisis pangan lebih ditekankan karena dianggap bisa menjembatani kedua kepentingan.
Hasilnya, pintu ekspor gandum dan biji-bijian lain dari Ukraina dibuka. Namun, konflik Rusia-Ukraina ini tetap perlu terus diwaspadai karena membawa krisis energi, pangan, dan keuangan. Ketidakpastian ekonomi dunia masih tidak menentu. Inflasi dan pertumbuhan ekonomi menjadi momok setiap negara, termasuk Indonesia.
Instrumen perang
Dalam forum tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulayani Indrawati menuturkan, butuh pemikiran dan upaya ekstra untuk menjaga dan mengelola APBN di tengah ketidakpastian ekonomi dunia saat ini. Untuk menentukan asumsi harga minyak dalam APBN saja cukup sulit, apalagi di tengah sejumlah negara menjadikan minyak dan gas sebagai instrumen perang.
Perang Rusia-Ukraina telah menyebabkan harga minyak mentah dunia naik. Hal itu diperparah Rusia yang menutup saluran gas menuju Uni Eropa. Negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Pertahanan Atlantik Utara (NATO) juga menolak minyak mentah dari Rusia.
”Selama terjadi perang, berarti akan terus ada disrupsi suplai karena Rusia itu diembargo. Beberapa waktu lalu, Amerika Serikat akan mencoba membuat price gap (selisih harga) untuk minyak Rusia yang sekarang sudah diadopsi negara-negara G7,” tuturnya.
Untuk menentukan asumsi harga minyak dalam APBN saja cukup menyulitkan, apalagi di tengah sejumlah negara menjadikan minyak dan gas sebagai instrumen perang.
Baca juga: Arab Saudi-China Tantang G7 soal Pemangkasan Harga Minyak Rusia
Menurut Sri Mulyani, seharusnya, jika sejumlah negara maju mengalami resesi, permintaan terhadap minyak mentah akan turun dan harganya bisa turut turun atau tidak di atas 100 dollar AS per barel. Harga minyak mentah dunia yang sempat melambung di level 126 dollar AS per barel, saat ini sudah mulai turun di kisaran 94 dollar AS per barel.
Sejauh ini anggaran subsidi dalam RAPBN 2023 diperkirakan sekitar Rp 340 triliun dengan asumsi harga minyak lebih dari 90 dollar AS per barel. Pemerintah menganggap asumsi tersebut relatif mencerminkan situasi sekarang.
”Namun, konflik geopolitik yang belum usai berkembang menjadi perang dengan instrumen minyak sehingga kondisi harga minyak dan perekonomian dunia ke depan tidak bisa diprediksi,” ujarnya.
Modal Indonesia
Dalam Sarasehan 100 Ekonomi Indonesia itu juga terungkap, daya tahan ekonomi Indonesia dinilai cukup kuat di tengah ketidakpastian global. Indonesia memiliki modal besar karena sudah memulai membangun sejumlah sektor ekonomi sejak sebelum pandemi Covid-19.
Kendati begitu, masih ada sejumlah pekerjaan rumah yang perlu dirampungkan. Beberapa di antaranya membantu sektor-sektor ekonomi yang masih terpuruk dan meningkatkan integrasi kebijakan di berbagai sektor ekonomi.
Presiden Jokowi mengatakan, pertumbuhan ekonomi dan inflasi memang harus benar-benar dijaga. Di tengah situasi seperti ini, Indonesia cukup beruntung karena selama tujuh tahun sebelumnya sudah mulai membangun fondasi infrastruktur.
Setidaknya sudah terbangun 2.040 kilometer jalan tol, 16 bandara baru, 18 pelabuhan baru, serta 29 bendungan baru yang pada akhir tahun akan menjadi 39 bendungan baru. Selain itu, masih ada 1,1 juta hektar irigasi yang sudah terbangun.
”Dana desa yang sudah digelontorkan beberapa tahun ini, senilai Rp 468 triliun, juga mulai menampakkan hasil. Setidaknya 227.000 kilometer jalan desa, 1,3 juta km jembatan untuk menyambungkan dusun-dusun, dan 4.500 embung telah terbangun,” kata Jokowi.
Baca juga: Mewujudkan Hilirisasi dan Revitalisasi Industri Tanah Air
Namun, Presiden tetap menilai capaian ini masih rendah. Sebab, dibandingkan jumlah desa di Indonesia yang lebih dari 74.800, rata-rata jalan-jalan desa yang sudah terbangun baru 3 km saja. Padahal, pembangunan jalan desa sangat penting untuk membuat produk-produk dari desa bisa disalurkan ke berbagai wilayah lain.
Fondasi lainnya adalah hilirisasi industri. Penghentian ekspor bahan mentah, seperti nikel, sejak tiga tahun lalu dinilai sangat bermanfaat menaikkan nilai ekspor. Tujuh tahun lalu, nilai ekspor nikel hanya 1,1 miliar dollar AS. Pada 2021, nilainya melonjak menjadi 20,9 miliar dollar AS.
Begitu juga dengan ekspor tembaga. Peningkatan nilai ekspor tembaga diyakini segera terlihat saat smelter yang dibangun PT Freeport Indonesia beroperasi pada 2024. Hal serupa juga akan terjadi pada industri pengolahan bauksit. Nilainya bakal meningkat dalam beberapa tahun ke depan. ”Untuk itu, pemerintah akan segera menghentikan ekspor timah, bauksit, dan tembaga mentah,” kata Presiden.
Untuk itu, pemerintah akan segera menghentikan ekspor timah, bauksit, dan tembaga mentah.
Menurut Presiden, pemimpin Indonesia yang akan datang tak perlu takut untuk menghentikan ekspor sumber daya alam. Kendati akibat menghentikan ekspor nikel, Indonesia digugat ke WTO dan bisa saja kalah, hal tersebut dinilai tak masalah. Sebab, hal terpenting industri pengolahan di dalam negeri sudah terbentuk. Perbaikan tata kelola sumber daya alam dan peningkatan nilai tambah sudah terjadi di dalam negeri.
Hilirisasi itu juga akan mendorong perbaikan neraca perdagangan Indonesia. Pada 2014, Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan dengan China sebesar 13 miliar dollar AS. Namun, pada 2021, defisit itu mengecil menjadi 2,4 miliar dollar AS.
Selain pembangunan desa dan hilirisasi, kata Jokowi, Indonesia juga telah merealisasikan digitalisasi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Hal ini mengingat UMKM berkontribusi sebesar 61 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional.
”Pemerintah menargetkan, pada 2024, sebanyak 30 juta UMKM sudah masuk platform digital. Kalau konsisten dilakukan, saya yakin PDB kita pada 2030 sudah di atas Rp 3 triliun,” ujarnya.
Baca juga: Sebagian UMKM Masih Ragu Mengadopsi Teknologi Digital
Ekonom senior Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Hendri Saparini, berpendapat, masih banyak sektor ekonomi yang belum bangkit dari imbas pandemi Covid-19. Sektor-sektor tersebut perlu dipetakan, dibantu, dan diprioritaskan.
Pemerintah juga perlu membuat kebijakan terintegrasi, baik fiskal maupun nonfiskal, untuk menghubungkan satu sektor dengan sektor lain yang terkait. Langkah itu perlu diikuti dengan penciptaan pasar domestik dengan lebih memaksimalkan penerapan kebijakan tingkat komponen dalam negeri (TKDN).
”Dana desa juga diharapkan tidak hanya untuk membangun infrastruktur jalan dan jembatan, tetapi juga industri-industri yang berkaitan erat dengan potensi desa tersebut,” ujarnya.
Dana desa juga diharapkan tidak hanya untuk membangun infrastruktur jalan dan jembatan, tetapi juga industri-industri yang berkaitan erat dengan potensi desa tersebut.
Hendri menambahkan, sejumlah badan usaha milik negara (BUMN) memang telah memulai menghubungkan berbagai sektor terkait menjadi sebuah business linkage (hubungan bisnis). Tinggal swasta saja yang perlu didorong untuk lebih meningkatkan hubungan bisnis dengan usaha-usaha kecil menengah terkait.
”BUMN bisa digerakkan, tetapi perusahaan swasta butuh desain kebijakan agar bisa memunculkan business linkage. Bahkan, tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) bisa diarahkan kepada pembangunan usaha yang menyerap banyak tenaga kerja atau menopang ekspor,” katanya.
Sementara Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Achmad Tauhid mengemukakan, salah satu pekerjaan rumah terbesar pemerintah adalah menaikkan kelas UKM menjadi usaha berskala besar. Salah satu upaya yang bisa dilakukan membuka peluang kemitraan dan investasi bagi UKM.
Hal itu sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Melalui kemitraan atau investasi tersebut, UKM bisa masuk ke dalam rantai pasok domestik bahkan ekspor. ”Selama ini program yang digulirkan pemerintah baru menyentuh digitalisasi UKM. Itu pun mayoritas masih bertumpu pada perdagangan, belum ke industri,” ujarnya.