Selisih antara tingkat inflasi dan kenaikan gaji atau upah pekerja setidaknya perlu ada di kisaran 2-3 persen. Itu untuk menjaga daya beli, konsumsi, dan momentum pemulihan ekonomi,
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Guna mengimbangi tingkat inflasi yang berpotensi naik di kisaran 6 persen pada akhir tahun ini, daya beli pekerja perlu dijaga. Penyesuaian gaji dapat dilakukan lewat kesepakatan internal antara perusahaan dan pekerjanya, maupun melalui intervensi pemerintah lewat kebijakan upah minimum.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, untuk menjaga daya beli, konsumsi, dan momentum pemulihan ekonomi, selisih antara tingkat inflasi dan kenaikan gaji atau upah pekerja setidaknya perlu ada di kisaran 2-3 persen. Jika gaji berada di bawah tingkat inflasi, daya beli masyarakat sudah pasti tergerus.
Dengan perkiraan inflasi pada akhir tahun sebesar 7 persen, kenaikan upah pekerja setidaknya berada di kisaran 10-12 persen. ”Harus ada selisih 2-3 persen antara inflasi dan kenaikan upah. Apalagi kalau mau meningkatkan daya beli dan meningkatkan konsumsi masyarakat. Kalau mau menjaga, minimal harus sama dengan inflasi,” katanya, Rabu (7/9/2022).
Pemerintah sendiri memperkirakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) akan mendorong inflasi lebih tinggi. Proyeksi Kementerian Keuangan, inflasi pada akhir tahun ini bisa mencapai 6,6-6,8 persen, naik 1,9 persen dari inflasi tahunan per Agustus 2022 sebesar 4,69 persen. Sementara itu, di tengah tren inflasi itu, upah buruh cenderung stagnan selama beberapa tahun terakhir.
Menurut dia, ada beberapa cara untuk menyesuaikan kenaikan gaji pekerja di tengah inflasi melalui mekanisme cost of living adjustment (COLA), yaitu melalui mekanisme dialog sosial antara perusahaan dan pekerja, serta melalui kebijakan upah minimum oleh pemerintah. Mengenai kesepakatan bipartit, hal itu relatif tergantung dari kemampuan keuangan perusahaan.
”Untuk sektor yang pertumbuhannya tinggi, tentu seharusnya mampu menaikkan gaji pekerja lebih tinggi sesuai dengan kondisi inflasi dan kemampuan perusahaan. Namun, besaran kenaikannya bervariasi karena belum semua sektor dan perusahaan sudah kembali pulih seperti normal sebelum pandemi,” kata Tauhid.
Penyesuaian gaji juga bisa dilakukan melalui kebijakan pemerintah, yaitu upah minimum tahun 2023, yang akan segera dibahas dalam waktu dekat. Pemerintah sudah menyatakan bahwa kebijakan upah minimum tahun 2023 akan menggunakan formula baru di Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, seperti waktu tahun 2022.
Namun, untuk menjaga daya beli masyarakat, Tauhid menilai regulasi tersebut perlu direvisi. Sebab, rumus baru penetapan upah di PP No 36/2021 ikut menahan kenaikan upah minimum.
Selisih antara tingkat inflasi dan kenaikan gaji atau upah pekerja setidaknya perlu ada di kisaran 2-3 persen.
”Kalau hanya memakai formula tersebut, tentu kenaikan akan relatif rendah lagi dan semakin menggerus daya beli. Ujung-ujungnya efeknya juga ke perekonomian nasional. Oleh karena itu, harus ada kompromi, upah harus dinaikkan, dan PP itu harus direvisi,” kata Tauhid.
Sesuai kemampuan
Ketua Umum Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (Hippi) Sarman Simanjorang mengatakan, kenaikan upah pekerja akan kembali bergantung pada kemampuan masing-masing sektor dan perusahaan. Itu semua kembali pada negosiasi dan kesepakatan internal antara pekerja atau serikat pekerja dengan pihak manajemen perusahaan.
Ia mengatakan, belum semua sektor dan perusahaan sudah mampu bangkit dari keterpurukan pascapandemi Covid-19. Oleh karena itu, belum tentu semua mampu jika harus menaikkan gaji pekerja sesuai dengan tren perkembangan inflasi.
”Jadi, ini akan kembali pada kemampuan cashflow pengusaha. Kita terpuruk hampir dua tahun dan belum ada setahun ini mulai pulih. Memang kalau memungkinkan, tentu nanti ada kesepakatan bipartit di setiap perusahaan. Kalau kita bicara kebijakan upah oleh pemerintah, tentu ada regulasinya,” kata Sarman, yang juga Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia DKI Jakarta.
Ia mengatakan, sampai sejauh ini, pelaku usaha masih menaati kebijakan pengupahan dari pemerintah. Jika pemerintah menyatakan kebijakan upah minimum tahun 2023 ditetapkan menggunakan rumus dalam PP No 36/2021, pelaku usaha akan mengikutinya. Demikian pula jika dirasa perlu ada penyesuaian upah dengan kondisi inflasi saat ini, pelaku usaha akan manut.
Memang kalau memungkinkan, tentu nanti ada kesepakatan bipartit di setiap perusahaan.
”Kalau memang perlu ada penyesuaian, tentu akan ada revisi PP lagi karena di sana rumusnya sudah jelas diatur. Saya rasa prinsipnya pelaku usaha akan tetap berpedoman pada regulasi yang ada,” ujarnya.
Terkait pembahasan kebijakan upah minimum, Wakil Ketua Dewan Pengupahan Nasional dari unsur serikat buruh, Surnadi, mengatakan, Dewan Pengupahan belum mengadakan rapat lagi untuk membahas kebijakan upah minimum di tengah tren inflasi. Sejauh ini, penetapan upah minimum tetap akan dilakukan melalui formula di PP No 36/2021.
”Untuk itu, kami tetap perlu menunggu data dari Badan Pusat Statistik dan itu biasanya baru dikirim BPS per tanggal 5 November. Itu pun harus diminta dulu oleh Kemenaker. Baru setelah ada datanya, Dewan Pengupahan bisa mengelola dan melihat berapa besar kenaikan upah minimum,” kata Surnadi.
Untuk mengimbangi hal tersebut, serikat buruh bersama Kadin Indonesia akan mengadakan survei pasar berdasarkan komponen kebutuhan hidup layak (KHL) di beberapa daerah di Indonesia. Surnadi, yang juga merupakan pengurus di Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), menyatakan sudah meminta pengurus KSBSI di tiap daerah untuk bersiap melakukan survei pasar dalam waktu dekat.
”Kita akan pilih wilayah-wilayah yang berpotensi cepat mengalami kenaikan harga kebutuhan pokok. Biasanya seperti DKI Jakarta, Riau, Jambi, Lampung, dan beberapa daerah penyangga di Jawa Barat,” katanya.