Agar Subsidi BBM Tepat Sasaran, Libatkan Organisasi Angkutan Darat
Penyaluran BBM bersubsidi, khususnya untuk angkutan penumpang, bisa melibatkan asosiasi atau organisasi angkutan darat. Hal itu akan mempermudah pendataan dan bakal lebih tepat sasaran.
Oleh
STEFANUS OSA TRIYATNA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah sebaiknya melibatkan organisasi atau asosiasi angkutan darat dalam pendataan penyaluran bahan bakar minyak atau BBM bersubsidi untuk mempermudah pendataan. Naiknya harga BBM bersubsidi berpotensi akan menaikkan tarif angkutan barang yang berujung pada naiknya harga barang-barang.
Menurut Ketua Institut Studi Transportasi (Intran) Darmaningtyas, Senin (5/9/2022), di Jakarta, penyaluran BBM bersubsidi, khususnya untuk angkutan penumpang, bisa melibatkan asosiasi atau organisasi angkutan darat. Hal itu akan mempermudah pendataan dan bakal lebih tepat sasaran.
”Hal itu tidak terlampau sulit dilakukan mengingat jumlah angkutan umum itu terbatas. Jumlah bus hanya 211.675 unit dan truk hanya 5,737 juta unit dari total 146,04 juta unit kendaraan secara nasional. Itu berarti hanya 4 persen dari total kendaraan bermotor di Indonesia,” ujar Darmaningtyas.
Selain itu, imbuh Darmaningtyas, aplikasi yang dikembangkan PT Pertamina (Persero), yakni MyPertamina, dapat dioptimalkan untuk mendata berapa jumlah angkutan penumpang dan barang di Indonesia. Kebutuhan BBM setiap unitnya sudah terukur sesuai fungsinya. Artinya, kebutuhan BBM untuk bus angkutan kota tentu berbeda dengan bus antarkota dalam provinsi (AKDP) dan antarkota antarprovinsi (AKAP). Demikian pula truk yang melayani dalam wilayah tertentu, kebutuhan BBM-nya berbeda dengan truk antarkota atau antarpulau.
Darmaningtyas juga berpendapat bahwa semestinya harga BBM untuk angkutan barang dan penumpang tidak naik. Kenaikan harga BBM tersebut sebaiknya diperuntukkan bagi kendaraan pribadi. Selain akan mendorong masyarakat berhemat mengonsumsi BBM, kenaikan harga BBM tersebut tidak menyeret naiknya harga barang dan tarif angkutan penumpang.
”Kenaikan harga BBM selalu berdampak pada kenaikan harga barang. Sebab, tidak pernah ada kebijakan yang jelas dari Pemerintah dalam memberikan subsidi khusus untuk angkutan penumpang dan barang,” kata Darmaningtyas.
Sementara itu, menurut Wakil Ketua Bidang Angkutan Distribusi dan Logistik DPD Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Jawa Tengah dan DI Yogyakarta, Agus Pratiknyo, dalam pernyataan persnya, mengatakan, pemerintah perlu meluruskan kembali penerima subsidi yang berhak sesuai dengan peraturan pemerintah sebagaimana telah dikeluarkan pemerintah, yaitu kendaraan dengan tanda nomor kendaraan warna dasar kuning.
Hal ini diharapkan oleh para pengemudi truk yang tergabung dalam Aptrindo agar dalam praktik di lapangan, penyaluran BBM subsidi dapat benar-benar tepat sasaran. Tidak lagi terdengar kondisi seperti akhir-akhir ini, kendaraan angkutan barang terpaksa antre berebut dalam pembelian BBM di beberapa stasiun pengisian bahan bakar minyak umum (SPBU).
”Kondisi ini ini cenderung tidak melihat kondisi faktual di lapangan. Pemerintah harus segera mengkaji ulang dan segera memastikan tidak ada lagi kondisi-kondisi tersebut,” kata Agus.
Para pengusaha angkutan barang berharap, adanya kenaikan harga BBM jenis biosolar ini diiringi pula dengan kenaikan harga sewa ke konsumen yang sepadan dan sesuai kalkulasi imbas kenaikan harga biosolar sebesar 32 persen tersebut. Tentu, dampaknya berupa kenaikan harga sewa truk sekitar 25 persen sehingga dapat menutup biaya operasional yang selama ini telah berdarah-darah dan mendorong semangat untuk berinvestasi kembali di sektor angkutan barang.
Agus mengatakan, para pelaku usaha angkutan barang berharap pemerintah juga mengantisipasi efek domino kenaikan harga BBM. Sebab, pengalaman yang terjadi menyebabkan semua pihak terkesan ikut latah dari efek kenaikan harga BBM subsidi. Semua pihak ikut menaikkan harga barang. Padahal, jika dicermati, beberapa harga di sektor tersebut hampir setiap periode telah dinaikkan.