Hati-hati, RI Berpotensi Kekurangan Stok Daging Sapi
Wabah PMK membuat banyak sapi di Indonesia dipotong dini sehingga berpotensi mengurangi stok daging sapi pada akhir 2022 dan awal 2023. Di sisi lain, meski terus turun, harga pangan dunia masih cukup tinggi.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia diperkirakan dapat kekurangan stok daging sapi pada akhir 2022 dan awal 2023. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan dapat menambah impor daging sapi, terutama dari Brasil, untuk mencukupi kebutuhan tersebut.
Direktur Utama PT Berdikari (Persero) Harry Warganegara, Senin (5/9/2022), mengatakan, penugasan impor daging sapi dari Brasil pada tahun ini sebesar 20.000 ton akan segera berakhir. Sisa kuota impor daging sapi akan terealisasi pada Oktober 2022.
Penambahan kuota impor diperlukan untuk mencukupi kebutuhan daging sapi di dalam negeri pada akhir tahun ini dan awal tahun depan. Hal itu mengingat banyak sapi lokal yang dipotong dini lantaran ada kasus penyakit mulut dan kuku (PMK).
Dalam dua bulan terakhir, lanjut Harry, stok daging sapi berlimpah. Namun, setelahnya, stok diperkirakan bakal berkurang, sementara permintaan meningkat pada akhir dan awal tahun.
”Pada November-Desember 2022, kami tidak lagi memiliki stok daging sapi impor, apalagi nanti pada Januari-Februari 2023,” katanya dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat yang digelar secara hibrida di Jakarta.
Dalam dua bulan terakhir, stok daging sapi berlimpah. Namun, setelahnya, stok diperkirakan bakal berkurang, sementara pada akhir dan awal tahun permintaan meningkat.
Pada 25 Mei-2 September 2022, Berdikari telah merealisasikan impor daging sapi dari dua pemasok di Brasil sebanyak 10.049,19 ton (50,25 persen dari kuota penugasan). Sisanya, sebanyak 9.944,015 ton akan tiba secara bertahap pada September-Oktober 2022.
Adapun kebutuhan daging sapi di dalam negeri pada 2022 sebesar 706.388 ton atau meningkat dari 669.731 ton. Hal itu berdasarkan penghitungan kebutuhan konsumsi daging sapi per kapita per orang yang meningkat dari 2,46 per kilogram (kg) per tahun menjadi 2,57 per kg per tahun.
Produksi daging sapi nasional pada 2022 diperkirakan hanya 436.704 ton, naik dari 423.443 ton pada tahun 2021. Dengan stok awal tahun yang sebanyak 62.485 ton, Indonesia diperkirakan masih defisit 207.199 ton. Pemerintah juga menetapkan stok cadangan 58.886 ton sehingga kebutuhan impor pada tahun ini sebesar 266.065 ton.
Menurut Harry, Berdikari telah melaporkan kondisi itu kepada Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Apabila benar-benar diperlukan, tambahan impor daging sapi dari Brasil yang harganya lebih murah 15-20 persen dari Australia itu perlu segera direalisasikan.
Hal itu mengingat harga pangan global masih terus bergejolak dan dikhawatirkan akan naik pada akhir dan awal tahun. Di sisi lain, proses impor daging sapi dari Brasil juga membutuhkan waktu lama.
”Biasanya kami mendapat penugasan impor pada akhir triwulan I. Setidaknya membutuhkan waktu dua bulan hingga daging sapi itu sampai Indonesia,” ujarnya.
Harry menambahkan, selain daging sapi, Berdikari juga mendapat penugasan impor gandum pakan ternak dari Australia dan India. Hingga Mei 2022, realisasinya sebesar 87.400 ton. Saat ini, perseroan belum mengimpor lagi karena harganya masih terbilang mahal, kurs dollar AS juga masih tinggi, dan belum ada permintaan dari pabrik pakan ternak.
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mencatat, indeks harga pangan dunia pada Agustus 2022 mencapai 138. Indeks yang menunjuk pada indikator harga serealia, minyak nabati, daging, susu, dan gula tersebut turun selama lima bulan berturut-turut. Kendati turun, indeks harga pangan tersebut masih 7,9 persen lebih tinggi dibandingkan indeks pada tahun lalu.
Indeks harga daging pada Agustus 2022 sebesar 122,7 atau turun 1,5 persen secara bulanan dan naik 8,2 persen secara tahunan. Khusus daging sapi, harganya turun lantaran permintaan melemah dan stok di Australia sedikit meningkat.
Sementara itu, indeks harga serealia, termasuk gandum, juga turun 1,4 persen secara bulanan menjadi 145,2. Namun, dibandingkan dengan tahun sebelumnya, indeks tersebut naik 11,4 persen. Penurunan indeks itu dipicu oleh penurunan harga gandum internasional sebesar 5,1 persen secara bulanan meski secara tahunan masih naik 10,6 persen. Penurunan harga gandum itu dipengaruhi oleh prospek peningkatan produksi gandum di Kanada dan Rusia, serta pembukaan pintu ekspor gandum Ukraina.
Direktur Divisi Pasar dan Perdagangan FAO Boubaker Ben-Belhassen mengatakan, ketersediaan pangan global memang telah meningkat sehingga terjadi penurunan harga sepanjang lima bulan berturut-turut. Kendati harga pangan telah turun, harga tersebut masih lebih tinggi dibandingkan tahun lalu dan belum banyak tecermin ke harga di tingkat konsumen.
Di sisi lain, akses untuk mendapatkan komoditas pangan masih belum lancar. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain, masih tingginya biaya pemrosesan dan transportasi, logistik, serta nilai tukar mata uang negara terhadap dollar AS.
”Krisis biaya hidup atau berkurangnya pendapatan masyarakat akibat imbas pandemi Covid-19 juga telah memengaruhi akses terhadap komoditas pangan tersebut. Faktor-faktor itulah yang membuat kami belum melihat penurunan harga di tingkat dunia yang diterjemahkan ke dalam harga yang lebih rendah untuk konsumen atau di tingkat ritel,” ujarnya.
Penurunan harga pangan dunia tidak serta-merta menghasilkan stabilitas pasar. Harga pangan dunia juga bergantung pada ketidakpastian dan volatilitas harga pupuk dan energi.
Ben-Belhassen juga mengingatkan, penurunan harga pangan dunia tidak serta-merta menghasilkan stabilitas pasar. Harga pangan dunia juga bergantung pada ketidakpastian dan volatilitas harga pupuk dan energi.
Harga energi dan gas yang masing tinggi mengurangi profitabilitas dan meningkatkan biaya produksi bagi petani. Hal itu akan menjadi tantangan serius bagi petani di tahun mendatang.