Dari total 9,49 juta investor pasar modal, sebanyak 81,47 persen adalah investor generasi milenial dan generasi Z. Edukasi perlu terus dilakukan terus menerus agar anak muda dapat berinvestasi secara tepat.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
Dunia investasi keuangan kini dipenuhi oleh anak muda, baik dari generasi milenial maupun generasi Z. Bak pisau bermata dua, hal ini memunculkan harapan dan tantangan sekaligus. Harapan bahwa Indonesia akan lebih sejahtera karena anak mudanya sudah berinvestasi sejak dini. Namun, tantangannya adalah menjaga anak-anak muda ini teredukasi dan memahami literasi keuangan dengan baik agar bisa terhindar dari potensi kerugian dan jebakan investasi bodong.
Mengutip data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sampai dengan 31 Juli 2022, sebanyak 59,43 persen dari total investor pasar modal berasal dari investor dengan usia di bawah 30 tahun atau generasi Z. Adapun jumlah investor usia 30-40 tahun atau generasi milenial 22,04 persen. Apabila keduanya dijumlahkan, sebanyak 81,47 persen dari total investor pasar modal atau 7,73 juta orang berasal dari generasi muda.
Total nilai investasi para investor generasi muda ini sebesar Rp 153,99 triliun atau 13,53 persen dari total aset investasi pasar modal.
Membanjirnya generasi muda dalam berinvestasi ini tak lain buah dari makin maraknya digitalisasi layanan jasa keuangan dan instrumen investasi. Kini, berinvestasi keuangan bisa diakses cukup dari aplikasi ponsel pintar saja tanpa perlu hadir secara fisik ke kantor bank, asuransi, ataupun manajemen aset.
Pandemi Covid-19 yang memaksa pengurangan aktivitas ekonomi secara fisik juga secara tidak langsung memacu akselerasi digitalisasi layanan jasa keuangan dan investasi. Para generasi muda yang lekat dengan gawai dan teknologi digital pun dengan cepat terjun ke berbagai instrumen investasi.
Kondisi yang mendorong orang bekerja dan menghasilkan uang dari rumah selama pandemi turut membuat pasar modal dengan cepat dijejali oleh generasi milenial dan generasi Z.
Kendati gairah berinvestasi di kalangan anak muda sangat tinggi, ternyata mereka belum memiliki kecakapan dan keterampilan yang memadai dalam berinvestasi. Selain itu, keterampilan perencanaan keuangan anak muda juga masih rendah.
Hasil survei Financial Fitness Index 2022 yang dirilis OCBC NISP bekerja sama dengan NielsenIQ Indonesia menyebutkan, 78 persen anak muda tidak memahami cara kerja dan risiko produk investasi.
Dari aspek perencanaan keuangan, 80 persen anak muda belum mencatat anggaran belanja atau pengeluarannya. Dari jumlah anak muda yang telah menyusun penganggaran, baru 8 persen anak muda yang menggunakan uangnya sesuai dengan anggaran yang dibuat.
Data masih rendahnya pemahaman soal berinvestasi dan keuangan itu sejalan dengan hasil survei nasional literasi dan inklusi keuangan 2019 yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Tingkat literasi keuangan nasional masih tergolong rendah, berada pada angka 38,03 persen. Angka literasi keuangan ini jauh di bawah angka inklusi keuangan yang sebesar 76,19 persen.
Jomplangnya angka literasi dan inklusi ini menunjukkan banyak masyarakat Indonesia, termasuk generasi muda, yang telah mengakses jasa keuangan atau berinvestasi tetapi belum betul-betul memahami cara kerja dan risikonya.
Edukasi dan peningkatan literasi keuangan untuk generasi muda perlu terus dilakukan. Sebab, saat ini hingga beberapa tahun mendatang Indonesia tengah memasuki era bonus demografi, yakni penduduk usia produktif lebih besar ketimbang non produktif.
Menurut hasil Sensus Penduduk 2020 yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 70,72 persen penduduk Indonesia berusia produktif 15-64 tahun. Dari total jumlah penduduk Indonesia yang sebesar 270,20 juta, sebanyak 53,81 persen adalah generasi milenial dan generasi Z.
Bonus demografi ini akan terus berlangsung dan mencapai puncaknya pada 2030. Bayangkan apabila anak-anak muda itu sudah berinvestasi dan menabung sejak usia dini. Dengan horizon waktu produktif mereka yang masih panjang, maka hasil investasi mereka akan sangat memuaskan di kemudian hari.
Namun, apabila mereka tetap tak teredukasi dan gagap dalam berinvestasi, yang terjadi malah mungkin sebaliknya. Bukannya menikmati keuntungan jangka panjang, mereka malah terjerumus kerugian karena tidak memahami risiko berinvestasi. Lebih parah lagi jika banyak anak muda yang terjebak oleh penipu investasi bodong. Berbagai macam modus yang dilancarkan para penjahat ini mengintai para investor muda, mulai dari teknik penipuan rekayasa sosial (social engineering) hingga tawaran berbagai investasi bodong yang menggiurkan tetapi tak masuk akal.
OJK sendiri sebagai motor utama edukasi dan literasi keuangan, bersama perusahaan jasa keuangan serta akademisi terus-menerus memperluas edukasi keuangan. OJK bahkan menjadikan bulan September sebagai bulan edukasi dan literasi keuangan agar pembahasan soal edukasi keuangan ini makin meluas di masyarakat.
OJK juga sudah menyiapkan materi edukasi keuangan untuk pelajar dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Ini agar pembahasan soal edukasi keuangan dan perencanaan keuangan bisa masuk kurikulum pendidikan formal.
Untuk masyarakat yang ingin belajar soal instrumen investasi dan perencanaan keuangan, OJK meluncurkan aplikasi ponsel SikapiUangMu yang bisa diunduh secara gratis di Google Play Store. Tak hanya berisi informasi soal edukasi keuangan dan kalkulator keuangan, tetapi juga ada daftar entitas usaha investasi ilegal yang telah resmi ditindak Satgas Waspada Investasi.
Semakin banyak anak muda teredukasi secara keuangan tentu investasi akan tumbuh yang pada gilirannya akan mendorong kesejahteraan. Semakin banyak anak muda yang sejahtera, maka perekonomian Indonesia akan kian maju.