Kendati Agustus Deflasi, Waspada Lonjakan Inflasi karena Kenaikan Harga BBM
Indeks Harga Konsumen pada Agustus 2022 mencatat deflasi 0,21 persen. Ini karena harga pangan bergejolak berhasil dikendalikan. Namun, lonjakan inflasi tetap mengintai seiring adanya rencana kenaikan harga BBM.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indeks Harga Konsumen atau IHK pada Agustus 2022 mencatatkan deflasi sebesar 0,21 persen. Deflasi ini disumbangkan penurunan harga pangan yang sebelumnya bergejolak. Hal ini merupakan hasil sinergi kementerian/lembaga di tingkat pusat bersama pemerintah daerah menjaga pasokan barang. Kendati demikian, semua pihak perlu tetap mewaspadai lonjakan inflasi di waktu mendatang seiring dengan rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak yang bisa merambat ke semua lini ekonomi.
Sebelumnya, pada Kamis (1/9/2022), Badan Pusat Statistik (BPS) merilis perkembangan IHK yang pada Agustus 2022 mencatatkan deflasi sebesar 0,21 persen setelah pada Juli terjadi inflasi sebesar 0,64 persen. Dengan demikian, inflasi umum sepanjang kalender tahun berjalan sebesar 3,63 persen. Adapun inflasi umum secara tahunan sebesar 4,69 persen.
Deflasi pada Agustus itu disumbang menurunnya unsur harga pangan bergejolak (volatile foods) sebesar 2,90 persen. Inflasi harga pangan bergejolak secara tahunan pada Agustus terhitung 8,93 persen secara tahunan. Sebelumnya, pada Juli, inflasi bahan pangan bergejolak berada pada posisi 11,47 persen secara tahunan.
Selain itu, komponen harga barang ditentukan pemerintah (administred price) juga mengalami penurunan. Pada Agustus 2022, nilainya 0,33 persen, lebih rendah dibandingkan Juli yang tercatat 1,13 persen. Kendati demikian, secara tahunan, kelompok harga barang yang ditentukan pemerintah mengalami inflasi 6,84% (yoy), lebih tinggi dari inflasi pada bulan sebelumnya yang sebesar 6,51% (yoy).
Pada saat bersamaan inflasi inti terus meningkat. Inflasi inti Agustus tercatat sebesar 0,38 persen, meningkat dibandingkan Juli yang sebesar 0,28 persen. Dengan demikian, inflasi inti sepanjang kalender tahun berjalan sebesar 2,50 persen. Adapun inflasi inti secara tahunan sebesar 3,04 persen.
Dalam acara pembukaan Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) Jawa Barat, Bandung, Jumat (2/9/2022), Deputi Gubernur Bank Indonesia Juda Agung mengatakan, inflasi harus dikendalikan karena bisa menggerus daya beli masyarakat. Dampak jangka panjangnya bisa menganggu stabilitas sosial hingga politik dan keamanan.
”Pengendalian inflasi harus dilakukan semua pihak. Tidak hanya Bank Indonesia, tidak hanya kementerian pertanian, tidak hanya pemerintah daerah saja, tetapi bersama semua kita harus mengendalikan inflasi, khususnya harga pangan,” ujar Juda Agung.
Ia mengatakan, salah satu upaya pengendalian inflasi pangan adalah sinergi kerja sama antardaerah agar bisa menjaga pasokan bahan pangan sehingga bisa mencegah kenaikan harga. Daerah yang berlebihan pasokan pangan bisa mengirimkannya ke daerah lain yang membutuhkan.
Selain itu, Juda kembali mengingatkan, pemerintah daerah kini telah diperbolehkan menggunakan anggaran tak terduga untuk operasi pasar, menjaga ketersediaan pasokan pangan, dan pengendalian inflasi. Hal ini, lanjut Juda, sudah diatur dalam Surat Edaran Kementerian Dalam Negeri Nomor 500/4825/SJ tentang Penggunaan Belanja Tak Terduga dalam Rangka Pengendalian Inflasi di Daerah yang telah diterbitkan pada 19 Agustus lalu.
Juda menambahkan, upaya pengendalian inflasi pangan juga perlu dilakukan dengan meningkatkan ketahanan pangan komoditas hortikultura. Hal ini bisa dilakukan dengan pemberian bantuan bibit, alat mesin pertanian, dan sarana produksi pertanian.
Menurut Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia Erwin Haryono, perbaikan pasokan pangan mendorong deflasi Agustus. ”Deflasi terutama bersumber dari penurunan harga kelompok volatile food dan penurunan inflasi administered prices, di tengah inflasi inti yang meningkat. Dengan perkembangan tersebut, inflasi IHK Agustus 2022 tercatat 4,69 secara tahunan, lebih rendah dibandingkan dengan inflasi pada Juli sebesar 4,94 secara tahunan,” ujar Erwin.
Ia menjelaskan, inflasi inti pada Agustus tetap meningkat dibandingkan Juli. Peningkatan tersebut terutama dipengaruhi oleh inflasi komoditas dalam kelompok pendidikan, serta komoditas kontrak dan sewa rumah yang didorong kenaikan mobilitas masyarakat dan berlanjutnya proses pemulihan ekonomi.
Secara tahunan, kata Erwin, inflasi inti Agustus masih terjaga rendah sebesar 3,04 persen secara tahunan meski lebih tinggi dibandingkan inflasi pada bulan sebelumnya yang tercatat sebesar 2,86 persen secara tahunan. Terjaganya inflasi inti tersebut didukung konsistensi kebijakan Bank Indonesia dalam menjaga ekspektasi inflasi.
Kenaikan harga BBM
Erwin menambahkan, ke depan, pihaknya memperkirakan tekanan inflasi IHK masih akan terus berlanjut. Hal ini antara lain didorong masih tingginya harga energi dan pangan global.
Inflasi dan ekspektasi inflasi, diperkirakan berisiko meningkat akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi dan harga pangan bergejolak, serta semakin menguatnya tekanan inflasi dari sisi permintaan,” ujar Erwin.
Dengan berbagai perkembangan tersebut, Bank Indonesia memperkirakan berbagai tekanan itu akan mendorong inflasi pada 2022 dan 2023 berisiko melebihi batas atas sasaran inflasi, yakni 2-4 persen.
Ia mengatakan, sinergi kebijakan pemerintah pusat dan daerah dengan BI untuk pengendalian inflasi perlu terus ditingkatkan. Upaya ini dilakukan dengan memperkuat koordinasi Tim Pengendali Inflasi Pusat (TPIP) dan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) serta akselerasi GNPIP.
Dihubungi secara terpisah Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede berpendapat, koordinasi dan sinergi yang erat dari TPIP dan TPID berhasil menjaga pasokan barang di daerah yang kekurangan hasil kiriman dari daerah yang berlebih.
Di sisi lain, kenaikan inflasi inti juga menunjukkan daya beli masyarakat masih baik. Ini melanjutkan tren pemulihan ekonomi sejalan dengan pertumbuhan ekonomi triwulan kedua yang mencapai 5,4 persen.
Ke depan Josua memperkirakan lonjakan inflasi IHK yang akan terjadi seiring dengan wacana pengurangan subsidi energi yang berdampak pada kenaikan harga BBM tampaknya akan dilakukan dalam waktu dekat. Apabila harga solar dinaikkan menjadi Rp 7.200 per liter dan harga pertalite menjadi Rp 10.000 per liter, inflasi diperkirakan meningkat 2 persen sehingga pada akhir tahun inflasi umum akan berkisar 7 persen.
Ekonom Bank Mandiri, Faisal Rachman, mengatakan, lonjakan inflasi diperkirakan terjadi pada sisa waktu semester kedua tahun ini. Lonjakan inflasi akan datang dari dua arah, baik dari dorongan ongkos produksi (cost push) maupun tarikan permintaan masyarakat (demand pull).
Kenaikan dari aspek dorongan ongkos produksi akan dipicu dari kenaikan harga BBM yang bisa merambat ke berbagai aktivitas ekonomi. Kenaikan harga BBM bisa meningkatkan ongkos produksi yang akan bertransmisi menjadi kenaikan harga jual barang dan jasa kepada konsumen.
Menurut perhitungannya, apabila pertalite dinaikkan menjadi Rp 10.000 per liter dari sebelumnya Rp 7.650 per liter, inflasi akan menanjak 0,83 persen. Perekonomian pun akan melambat minus 0,17 persen.
Apabila harga solar dinaikkan menjadi Rp 8.500 per liter dari sebelumnya Rp 5.150 per liter, akan berkontribusi pada kenaikan inflasi 0,33 persen dan memangkas laju pertumbuhan ekonomi minus 0,07 persen.
”Artinya, tingkat inflasi sampai akhir tahun akan sekitar 6 persen, lebih tinggi dari perkiraan awal 4,6 persen. Kami memperkirakan BI akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin sampai akhir tahun,” ujar Faisal.