Kinerja Membaik, Dampak Ketidakpastian Ekonomi Global Tetap Diantisipasi
Di tengah perbaikan kinerja manufaktur, gejolak geopolitik Rusia-Ukraina yang mengganggu rantai pasok dan memicu krisis pangan serta energi harus diantisipasi.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah sempat menurun akibat ketidakpastian kondisi ekonomi global, kinerja manufaktur kembali menguat pada Agustus 2022. Tekanan inflasi di sektor manufaktur mulai sedikit berkurang meskipun perusahaan manufaktur mulai membebankan sebagian kenaikan beban biaya produksi sebelumnya kepada konsumen.
Indeks Pembelian Manajer (Purchasing Managers’ Index/PMI) Manufaktur Indonesia yang dirilis perusahaan Analisis S&P Global pada Agustus 2022 kembali ke level 51,7, sebelumnya sempat menurun ke level 50,3 pada Juni 2022 dan 51,3 pada Juli 2022. Industri berada pada kondisi ekspansif jika indeks PMI Manufakturnya berada di atas level 50.
PMI Manufaktur Indonesia masih tercatat lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya yang mengalami penurunan. Misalnya, Korea Selatan yang menurun dari level 49,8 pada Juli 2022 menjadi 47,6 pada Agustus, atau Jepang yang menurun dari level 52,1 pada Juli 2022 menjadi 51,5 pada Agustus.
Laporan S&P Global menunjukkan, produksi manufaktur dan permintaan baru di Indonesia kembali naik pada kisaran lebih cepat karena kondisi permintaan yang terus membaik. Hal itu mendorong kenaikan lebih jauh pada aktivitas produksi, pembelian, dan tingkat rekrutmen tenaga kerja baru.
Di sisi lain, tekanan inflasi yang selama ini membayangi produsen mulai berkurang, terlihat dari kenaikan harga input dan output yang lebih rendah. Menurut Ekonom di S&P Global Market Intelligence Laura Denman, Kamis (1/9/2022), tekanan inflasi yang menurun di tingkat produsen menunjukkan tanda-tanda positif pada kinerja manufaktur.
Inflasi biaya input dan output produksi menyesuaikan ke level terendah dalam 14 bulan terakhir. ”Kita dapat berharap tekanan harga ini akan terus berkurang karena dampak pandemi yang terus menurun. Meski demikian, dari sisi kepercayaan bisnis secara keseluruhan, masih menurun dibandingkan posisi pada bulan Juli,” kata Laura dalam keterangan resmi.
Pasalnya, meski permintaan membaik, kondisi perekonomian global saat ini masih membawa ketidakpastian pada industri. Sebagian perusahaan, misalnya, masih mengalami kekurangan bahan baku karena harga yang naik. Penguatan dollar AS terhadap rupiah juga ikut menambah kenaikan harga pembelian bahan baku.
”Karena itu, secara bersamaan, perusahaan juga menaikkan harga jual atau output pada bulan Agustus. Perusahaan menyebutkan bahwa mereka membebankan sebagian kenaikan beban biaya produksi itu ke klien dalam bentuk harga jual yang lebih tinggi meski biaya input dan harga output itu naik di kisaran rendah,” ujarnya.
Sebagian perusahaan, misalnya, masih mengalami kekurangan bahan baku karena harga yang naik.
Beban biaya produksi memang sempat meningkat karena kondisi perekonomian dunia yang tidak tentu, seperti kendala pasokan dan harga bahan baku serta biaya logistik yang meningkat. Badan Pusat Statistik mencatat, pada triwulan II tahun 2022 inflasi di tingkat produsen secara tahunan sudah mencapai 11,77 persen, jauh melampaui inflasi di tingkat konsumen yang pada Juli 2022 menyentuh 4,94 persen.
Inflasi produsen tertinggi terdapat di sektor makanan dan minuman, yaitu industri pengolahan dan pengawetan daging, ikan, buah-buahan, sayuran, minyak, dan lemak, yaitu 10,16 persen. Selain itu, pada industri kertas, barang dari kertas, dan cetakan (9,29 persen), industri pengilangan minyak bumi dan gas (8,55 persen), industri pupuk (7,41 persen), dan industri logam dasar (6,97 persen).
Tetap diantisipasi
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, di tengah perbaikan kinerja manufaktur tersebut, gejolak geopolitik Rusia-Ukraina yang mengganggu rantai pasok dan memicu krisis pangan serta energi masih harus diantisipasi. Krisis pada dua sektor tersebut berpengaruh banyak terhadap pasokan bahan baku dan penolong sektor manufaktur.
Apalagi, komponen bahan baku dan penolong memakan porsi terbesar dalam biaya produksi industri. Sebagai gambaran, pada tahun 2019 besar biaya bahan baku dan penolong mencapai Rp 3.381,2 triliun atau mencakup 75 persen dari total biaya produksi. Sementara itu, bahan bakar memakan Rp 58,7 triliun atau 1,3 persen terhadap keseluruhan biaya produksi.
Di tengah perbaikan kinerja manufaktur, gejolak geopolitik Rusia-Ukraina yang mengganggu rantai pasok dan memicu krisis pangan serta energi masih harus diantisipasi.
Untuk menjaga resiliensi industri, konsumsi domestik terus dijaga. Salah satunya mengoptimalkan penyerapan produk industri dalam negeri lewat belanja pemerintah melalui program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN). ”Pelaku industri harus terus meningkatkan kapasitas dan utilisasinya, membuat penyesuaian, dan memastikan mengambil manfaat dari kebijakan ini,” kata Agus.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia Adhi S Lukman mengatakan, meski harga produk jadi mulai naik, produsen tetap memilih untuk menahan kenaikan tersebut agar tidak terlalu signifikan, khususnya di sektor makanan dan minuman. Industri tetap memperhatikan daya beli masyarakat agar permintaan tetap terjaga.
”Sementara itu, kita mengendalikan juga secara internal, misalnya menekan margin keuntungan atau melakukan efisiensi. Beberapa produsen sudah menaikkan harga 3-5 persen, tetapi tidak signifikan karena konsumen belum tentu kuat,” katanya.
Meski demikian, upaya menekan keuntungan agar menjaga permintaan itu juga memiliki efek samping. Karena perusahaan menekan untung, ekspansi atau investasi baru otomatis tidak bisa dilakukan secara besar-besaran. ”Kalau tidak ada keuntungan, otomatis tidak ada investasi baru,” ujarnya.