Pemerintah menghadapi dua pilihan, yakni menambah alokasi anggaran subsidi dan kompensasi energi untuk menahan harga BBM bersubsidi atau menaikkan harga biosolar dan pertalite guna menjaga ruang fiskal.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi berpotensi menekan daya beli masyarakat lapisan terbawah sehingga dapat memicu kenaikan angka kemiskinan. Namun, apabila harga BBM bersubsidi dipertahankan, anggaran subsidi energi harus ditambah yang berdampak menghambat langkah terwujudnya konsolidasi fiskal untuk jangka menengah-panjang.
Komitmen pemerintah dalam mewujudkan transformasi subsidi energi yang lebih tepat sasaran sangat dinanti agar peran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai instrumen stabilisasi perekonomian dapat berjalan lebih baik.
Sebelumnya diberitakan, kuota BBM bersubsidi tahun ini, yakni pertalite sebesar 23,05 juta kiloliter dan biosolar sebanyak 15,1 juta kiloliter, dapat habis sebelum akhir 2022 diakibatkan melonjaknya konsumsi BBM bersubsidi seiring pulihnya mobilitas masyarakat pascapandemi Covid-19.
Pemerintah saat ini dihadapkan kepada dua pilihan, yakni menambah alokasi anggaran subsidi dan kompensasi energi mencapai Rp 195,6 triliun untuk menahan harga BBM bersubsidi atau menaikkan harga biosolar dan pertalite untuk menjaga ruang fiskal.
Kepala Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro saat dihubungi, Minggu (28/8/2022), mengalkulasi kenaikan harga pertalite dan biosolar masing-masing sebesar Rp 2.850 per liter cukup untuk mengompensasi kebutuhan anggaran BBM bersubsidi hingga akhir tahun.
Kendati demikian, menaikkan harga pertalite dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.500 per liter serta menaikkan harga biosolar dari Rp 5.150 per liter menjadi Rp 8.000 per liter bisa berdampak pada terkereknya inflasi ke level 6,8-7,2 persen tahun ini.
”Kenaikan harga BBM bersubsidi dapat memberikan efek lanjutan pada kenaikan harga bahan pangan, bahan bangunan, dan transportasi. Setiap ada inflasi, yang paling terkena imbasnya adalah masyarakat kelas menengah ke bawah karena porsi bahan pangan dalam konsumsi mereka paling besar,” ujar Satria.
Sementara dari sisi fiskal, kebutuhan tambahan anggaran untuk menahan kenaikan harga BBM bersubsidi sebenarnya dapat ditambal oleh ”durian runtuh” yang didapat Indonesia dari sisi pendapatan akibat kenaikan harga komoditas dunia. Hingga Juli 2022, APBN masih mencatatkan surplus sebesar Rp 106,1 triliun.
Kenaikan harga BBM bersubsidi dapat memberikan efek lanjutan pada kenaikan harga bahan pangan, bahan bangunan, dan transportasi.
Namun, menurut Satria, terdapat sejumlah konsekuensi ekonomi yang harus ditanggung jika pemerintah menahan kenaikan harga BBM bersubsidi tahun ini. Salah satu konsekuensi dari penundaan kenaikan harga BBM bersubsidi tahun ini adalah lonjakan inflasi Indonesia pada tahun berikutnya di saat negara-negara lain telah mengalami normalisasi.
Dalam APBN 2023, anggaran untuk subsidi energi ditetapkan sebesar Rp 336,3 triliun, lebih kecil dari anggaran tahun ini. Melihat alokasi tersebut, mau tidak mau pada 2023 harga BBM bersubsidi akan semakin mendekati harga keekonomian. Menahan harga BBM bersubsidi pada tahun depan juga tidak memungkinkan mengingat pada tahun 2023 defisit fiskal sudah ditetapkan kembali untuk berada di bawah 3 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Satria menilai, jika pemerintah mampu mematangkan mekanisme penyaluran subsidi energi menjadi lebih tepat sasaran, efek berkelanjutan dari lonjakan harga minyak mentah dunia bisa dihindari. Distribusi subsidi energi yang tepat sasaran akan dapat menahan laju kenaikan harga kebutuhan lain, seperti bahan pangan dan bahan bangunan.
”Seharusnya kebijakan terkait BBM bersubsidi ini bersifat holistik, termasuk juga terkait penambahan anggaran bantuan sosial untuk menjaga daya beli masyarakat,” kata Satria.
Pengendalian subsidi
Senada dengan Satria, ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Teuku Riefky, menilai pemerintah perlu melihat dampak kebijakan harga BBM dalam jangka panjang terhadap APBN. Untuk mengejar defisit anggaran di bawah 3 persen PDB, efisiensi anggaran perlu dilakukan sejak tahun ini.
Konsolidasi fiskal ke depan, dinilai Riefky, akan sulit dicapai jika pemerintah memutuskan menambah anggaran subsidi lagi. Selain itu, penambahan anggaran subsidi sebenarnya menimbulkan persepsi negatif terhadap komitmen pemerintah dalam mendorong transformasi subsidi energi yang lebih tepat sasaran.
”Subsidi energi selama ini masih banyak dinikmati oleh masyarakat menengah atas. Penambahan anggaran subsidi tentu akan mengganggu progres dan upaya pemerintah menuju reformasi subsidi yang lebih tepat sasaran dan lebih ramah lingkungan,” ucap Riefky.
Riefky menambahkan, apabila penggunaan BBM bersubsidi dapat dibatasi hanya untuk warga yang membutuhkan, beban fiskal akan semakin ringan. Meskipun kondisi APBN saat ini relatif sehat berkah dari tingginya harga komoditas global, efisiensi tetap perlu dilakukan untuk stabilitas APBN secara keberlanjutan.
Dalam laporan Indonesia Economic Prospect edisi Juni 2022, Bank Dunia mengestimasikan, penghapusan subsidi energi akan menghemat anggaran mencapai 1,1 persen dari PDB. Pemerintah bisa menggantinya dengan bantuan sosial kepada masyarakat miskin, rentan, dan kelas menengah yang memang membutuhkan, dengan alokasi sekitar 0,5 persen PDB.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut, anggaran jumbo untuk subsidi energi tahun ini dapat digunakan untuk membangun fasilitas publik yang bermanfaat bagi pengembangan sumber daya manusia. Ia mencontohkan, jika pembangunan satu sekolah dasar membutuhkan dana Rp 2,19 miliar, anggaran subsidi energi tahun ini bisa dipakai untuk membangun lebih dari 227.000 sekolah dasar.
Adapun dengan estimasi anggaran biaya membangun satu rumah sakit kelas menengah sebesar Rp 150 miliar dan anggaran untuk membangun satu puskesmas sebesar Rp 12 miliar, alokasi anggaran subsidi energi bisa digunakan untuk membangun lebih dari 3.000 fasilitas rumah sakit kelas menengah dan lebih dari 41.000 fasilitas puskesmas.