Kenaikan harga gas bumi khusus industri dinilai bisa merugikan industri yang saat ini sedang gencar melakukan ekspansi pascapandemi. Industri berharap pemerintah konsisten dengan harga 6 dollar AS per MMBTU.
Oleh
AGNES THEDOORA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku industri berharap pemerintah tidak menaikkan harga gas bumi khusus industri di tengah beban biaya operasional yang sedang meningkat dan kondisi ekonomi yang tak menentu. Alih-alih menaikkan harga gas industri, pemerintah diminta untuk fokus mengoptimalkan penyaluran gas murah ke tujuh sektor penerima yang ada sekarang.
Akhir-akhir ini, muncul wacana untuk meninjau ulang harga gas alam untuk industri dari yang awalnya sebesar 6 dollar AS per juta metrik british thermal unit (MMBTU) menjadi 7 dollar AS per MMBTU. Wacana kenaikan harga gas bumi tertentu (HGBT) itu disampaikan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam rangka mengantisipasi kenaikan harga gas dunia.
Menurut data Trading Economics, per Jumat (26/8/2022) pukul 18.00, harga gas alam dunia sudah menyentuh 9,49 dollar AS per MMBTU, naik 116,8 persen secara tahunan sejak Agustus 2021 serta 9,51 persen secara bulanan sejak Juli 2022.
Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto, Jumat, berharap pemerintah tidak melakukan perubahan kebijakan harga gas bumi sebesar 6 dollar AS per MMBTU yang sudah dijamin lewat Peraturan Presiden Nomor 121 Tahun 2020 tentang Penetapan Harga Gas Bumi.
Sebagai salah satu sektor penerima insentif gas bumi murah itu, pihaknya menilai wacana kenaikan harga gas bisa merugikan industri yang saat ini sedang melakukan ekspansi dan menuju pemulihan pascapandemi.
”Sudah terbukti kalau HGBT 6 dollar AS per MMBTU dapat memberi efek multiplier positif terhadap kinerja industri. Utilisasi naik, investasi naik, ekspor naik, dan impor turun. Kita juga bisa menciptakan lapangan kerja baru,” katanya saat dihubungi.
Menurut dia, di sektor keramik, berkat kebijakan HGBT, utilisasi industri yang sebelumnya stagnan di kisaran 60-65 persen pada tahun 2015-2020 berhasil meningkat menjadi 75 persen pada tahun 2021 dan 82 persen pada semester I-tahun 2022. Industri keramik juga melakukan ekspansi kapasitas produksi dan investasi baru senilai Rp 5,5 triliun yang dapat menyerap 5.000 tenaga kerja baru.
HGBT juga dinilai mampu mendorong kinerja ekspor sektor keramik. Setelah sebelumnya mengalami tren menurun pada periode 2015-2019, ekspor pada semester I tahun 2022 berhasil kembali meningkat hingga 21 persen. ”Dengan melihat efek multiplier dari HGBT itu, kami berharap tidak usah ada perubahan harga untuk menjaga daya saing dan kemampuan ekspansi industri saat ini,” ujar Edy.
Dengan melihat efek multiplier dari HGBT, kami berharap tidak usah ada perubahan harga untuk menjaga daya saing dan kemampuan ekspansi industri saat ini.
Ia menilai, kenaikan harga gas alam dunia tidak tepat dijadikan alasan untuk menaikkan harga gas bumi industri menjadi 7 dollar AS per MMBTU. Pasalnya, pasokan gas bumi untuk industri selama ini berasal dari dalam negeri, bukan impor.
”Jadi, sebenarnya kurang relevan mengaitkan krisis energi dunia dengan wacana kenaikan harga gas di Indonesia. Pemerintah tidak bisa melihat harga gas ini semata-mata sebagai sumber pemasukan negara, tetapi sebagai penggerak ekonomi. Sebab, buktinya, dengan harga gas turun, kapasitas dan ekspansi industri meningkat,” tuturnya.
Fokus menyalurkan
Wakil Ketua Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) Achmad Widjaja mengatakan, pemerintah sebaiknya konsisten menjalankan peraturan yang ada sekarang. Di tengah kondisi ekonomi yang tidak pasti dan meningkatnya biaya operasional industri akibat kenaikan harga bahan baku dan logistik, pengusaha butuh kepastian dalam bentuk kebijakan yang konsisten.
Menurut dia, jika pemerintah mau menaikkan harga gas bumi khusus industri, sebaiknya hal itu dilakukan di kemudian hari, bukan pada periode pascapandemi seperti sekarang.
”Industri baru saja bisa menikmati harga gas 6 dollar AS per MMBTU ini. Sebab, saat HGBT diterapkan, masih ada pandemi yang menghambat kinerja industri. Kalau mau menaikkan, jangan sekarang. Biarkan saja dulu industri bertumbuh pulih menuju normal,” kata Achmad.
Pemerintah tidak bisa melihat harga gas ini semata-mata sebagai sumber pemasukan negara, tetapi sebagai penggerak ekonomi.
Ketimbang mengeluarkan berbagai wacana penyesuaian kebijakan HGBT, pemerintah diminta fokus dulu mengoptimalkan penyaluran gas seharga 6 dollar AS per MMBTU ke tujuh sektor industri yang saat ini berhak menerima insentif itu. Pasalnya, sampai sekarang, dari tujuh sektor tersebut, belum semuanya mendapatkan gas bumi murah sesuai alokasi yang diatur.
Ketujuh sektor itu adalah pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet. Selain wacana menaikkan harga gas industri, ada rencana lain dari pemerintah melalui Kementerian Perindustrian untuk memperluas penerima HGBT dari tujuh sektor menjadi semua sektor industri tanpa terkecuali.
Menurut pantauan FIPGB, sampai Agustus 2022, realisasi penyerapan gas bumi industri di ketujuh sektor penerima belum mencapai 70 persen. Hanya sektor industri pupuk yang realisasi penyerapannya tinggi, bahkan melebihi target kuota tahunan yang diatur dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 134 Tahun 2021.
”Hanya pupuk yang sudah terserap semua, karena ibaratnya itu subsidi kantong kiri dan kanan pemerintah sendiri. Statusnya sesama badan usaha milik negara (BUMN) dan industri pupuk sebagian punya jalur dari hulu langsung, tidak mesti lewat PT Perusahaan Gas Negara (PGN),” kata Achmad.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan, dan Akses Industri Internasional Kementerian Perindustrian Eko Cahyanto mengatakan, pemerintah sedang membahas wacana perluasan sektor penerima HGBT seharga 6 dollar AS per MMBTU ke seluruh industri. Harapannya, perluasan itu bisa mendorong kontribusi sektor manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi nasional yang pada tahun 2023 ditargetkan sebesar 5,3 persen.
Secara prinsip sudah ada kesepahaman antara Kemenperin dan Kementerian ESDM, tetapi secara teknis masih banyak hal yang perlu dibahas. ”Sedang diupayakan formulanya. Persoalannya memang kompleks, ada problem jalur distribusi dan pipanisasi, juga pasokan yang terbatas di beberapa daerah,” ujar Eko.