Butuh dukungan kebijakan untuk mengakselerasi perkembangan perbankan syariah.
Oleh
ANASTASIA JOICE TAURIS SANTI
·4 menit baca
KOMPAS/ANASTASIA JOICE TAURIS SANTI
Direktur Syariah Banking CIMB Niaga Syariah Pandji P Djajanegara
Industri perbankan syariah terus mencatatkan pertumbuhan yang signifikan setiap tahun. Kendati demikian, dibandingkan perbankan konvensional, pangsa pasarnya masih tergolong kecil. Butuh dukungan kebijakan untuk mengakselerasi perkembangan perbankan syariah.
Untuk mendalami industri perbankan syariah, Kompas mewawancarai Direktur Syariah Banking Bank CIMB Niaga Pandji P Djajanegara di Denpasar, Bali, Kamis (25/8/2022).
Bagaimana sebenarnya peluang bank syariah untuk berkembang?
Ada kesempatan emas untuk membesarkan industri perbankan syariah, misalnya dengan pemberian insentif oleh pemerintah. Transaksi perbankan syariah itu bukan kredit, melainkan sewa atau jual beli. Perpajakan masih menjadi hambatan. Transaksi perbankan syariah dikenai pajak biasa seperti bank konvensional yang menyalurkan kredit. Padahal, transaksi kita adalah jual beli, harusnya pajaknya sudah final, tidak ada lagi di belakang. Berbeda dengan transaksi kredit yang masih akan dikenai pajak. Contohnya itu. Isu perpajakan tersebut dapat dimasukkan sebagai insentif.
Apakah keberadaan Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) dan Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) membantu pengembangan industri perbankan syariah?
Sekarang ini ada MES, ada KNEKS. Itu merupakan inisiatif yang mencoba mempromosikan syariah dengan segala macam cara, tetapi tidak punya power. KNEKS lapor kepada Presiden dan Wakil Presiden, tetapi tidak punya power. Sebenarnya, mereka perlu membantu memikirkan hal-hal seperti ini agar bisa gol. Itu yang saya harapkan. Menurut saya, berbagai insentif dukungan pemerintahlah yang dapat memperbesar perbankan syariah. Contoh lain, di bursa ada Jakarta Islamic Indeks (JII). Data per tahun 2019 memperlihatkan ternyata di JII yang namanya perbankan syariah dari sisi pembiayaan hanya ada 0,8 persen dan dari sisi pendanaan hanya ada 2 persen. Kalau mau dibesarkan, bantu bank-bank syariah masuk ke Islamic Index sehingga porsinya lebih besar, mungkin 10-20 persen. Mereka menggunakan nama syariah untuk menarik investor, katakanlah investor dari Timur Tengah, bisa masuk ke situ. Tetapi, di dalam indeks itu representasi perbankan syariah kurang.
Contoh lain apa?
Orang ribut soal halal. Saya sudah omong sama Dewan Syariah Nasional, usul bagaimana kalau pihak yang mendapatkan sertifikasi halal, ada sebagian dana, setidaknya 10 persen, ditempatkan di bank syariah, tetapi tidak begitu. Yang disyaratkan hanyalah kalau mendapatkan sertifikasi halal cukup buka rekening syariah. Sudah cukup sampai di situ. Berbagai insentif seperti itulah yang bisa membuat perbankan syariah menjadi besar, bukan hanya promosi, melainkan riilnya tidak ada. Malaysia memulai perbankan syariahnya beda tipis dengan kita. Namun, kini pangsa pasar mereka sudah 30 persen. Di Indonesia masih 6,7 persen. Setidaknya kita juga bisa double digit.
Apa yang dilakukan Malaysia?
Di negara tetangga itu, insentifnya sudah jalan. Misalnya, kalau kita menempatkan deposito Rp 1 milar dengan bunga di perbankan konvensional misalnya 5 persen dan di syariah bagi hasil 5 persen, maka pajak di bank konvensional bisa 30 persen, sementara di bank syariah hanya 10 persen. Ini membuat masyarakat akan lari ke bank syariah.
Bagaimana dengan rencana pemisahan unit usaha syariah?
Setiap bank memiliki kondisi berbeda. Pemisahan ini sebaiknya merupakan pilihan, bukan kewajiban. Dampaknya banyak. Dampak untuk regulator, pemerintah memiliki rencana mendorong bank agar melakukan konsolidasi dan memiliki modal cukup. Kalau dipaksakan menjadi bank umum syariah (BUS) yang sudah terpisah dari bank induk, akan ada 21 bank baru dengan modal cekak, rawan bermasalah. Dari sisi investor, mereka punya dua pilihan jika ingin masuk ke perbankan syariah, melalui induk atau BUS. Ketika menjadi BUS, hanya ada satu pilihan. Investor harus keluar uang lagi untuk menambah orang, jaringan IT, dan sebagainya. Dari segi edukasi, pemerintah bergantung pada industri. Ketika menjadi unit usaha syariah (UUS), ada lebih banyak yang terpapar edukasi karena ada nasabah konvensional yang juga nasabah syariah. Dari sisi nasabah akan ada pemotongan layanan karena penawaran produk harus sesuai dengan modal.
Kalau masuk jadi BUS, kolam kita menjadi kecil. Menciut. Dilihat dari kinerja, pertumbuhan rata-rata perbankan syariah lebih bagus daripada perbankan konvensional. Jika kinerja UUS dibandingkan dengan BUS, UUS juga lebih unggul.
Jadi, memang perlu keberpihakan nyata pemerintah untuk mengembangkan industri perbankan syariah, juga kebebasan bank untuk memilih apakah akan memisahkan unit usaha syariahnya atau tidak, sesuai dengan strategi, kebutuhan, dan kekuatan modal masing-masing bank.