Dorong Perluasan Sektor Industri Penerima Gas Murah, Pembangunan Infrastruktur Akan Dipacu
Kesediaan infrastruktur yang belum merata menjadi salah satu kendala dalam mendorong perluasan penggunaan gas bumi murah bagi industri.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemerintah untuk memperluas sektor industri penerima gas murah lewat insentif harga gas bumi tertentu atau HGBT masih terganjal kendala infrastruktur yang belum merata. Pemerintah pun akan memacu pembangunan infrastruktur untuk mempermudah penyaluran gas ke seluruh industri yang membutuhkan.
Seperti diketahui, berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 8 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penetapan Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri yang berlaku sejak April 2020, ada tujuh bidang industri yang mendapat insentif harga gas bumi senilai 6 dollar AS per juta metrik british thermal unit (MMBTU). Pemerintah berencana memperluas penerima harga gas khusus itu ke seluruh sektor industri.
Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan, dan Akses Industri Internasional Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Eko Cahyanto mengatakan, kesediaan infrastruktur yang merata menjadi salah satu kendala dalam mendorong perluasan penggunaan gas bumi bagi industri.
Pasalnya, distribusi gas bumi untuk industri sejauh ini masih mengandalkan jaringan pipa gas milik PT Perusahaan Gas Negara Tbk (Persero). Letak jaringan pipa gas serta sebagian besar industri pengguna gas berada di bagian barat Indonesia, sementara sumber baru gas bumi lebih banyak berasal dari wilayah tengah dan timur.
”Kita belum punya receiving terminal untuk mengalirkan sumber gas dari timur itu ke wilayah barat. Penyaluran gas di wilayah barat Indonesia sejauh ini semua masih bergantung pada jalur pipa PGN,” kata Eko saat dihubungi, Sabtu (20/8/2022).
Fasilitas receiving terminal berfungsi untuk menerima gas alam cair yang dibawa oleh kapal tanker, menyimpan gas alam cair/LNG itu ke dalam tangki, menguapkan gas LNG, dan selanjutnya mengalirkan gas alam itu ke jaringan perpipaan industri yang membutuhkan.
Kebutuhan infrastruktur penyaluran gas, seperti receiving terminal ini, ujar Eko, terutama dibutuhkan di wilayah Jawa Tengah yang belum memiliki jalur pipa memadai serta di Jawa Timur yang kebutuhan industrinya tinggi, tetapi suplai terdekat masih kurang.
Letak jaringan pipa gas serta sebagian besar industri pengguna gas berada di bagian barat Indonesia, sementara sumber baru gas bumi lebih banyak berasal dari wilayah tengah dan timur.
”Kita sedang mencari lokasi yang tepat untuk membangun receiving terminal, itu yang kita kejar. Khususnya, untuk kebutuhan industri di Jawa Timur yang sekarang masih kurang, dan ke depan akan semakin banyak,” kata Eko.
Sebelumnya, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, perluasan kebijakan harga gas bumi untuk semua industri menjadi salah satu strategi pemerintah guna mendorong kontribusi sektor manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi nasional yang pada 2023 ditargetkan 5,3 persen.
Menurut dia, berdasarkan pengalaman mengimplementasikan kebijakan HGBT pada tujuh sektor industri pengolahan sejak 2022, terbukti bahwa industri pengguna gas menjadi lebih resilien dan berdaya saing. ”Terjadi efisiensi, terutama pada biaya operasional dan bahan baku industri pengguna gas tersebut,” kata Agus (Kompas, 18/8/2022).
Birokrasi
Meski demikian, Wakil Ketua Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) Achmad Widjaja mengatakan, persoalan infrastruktur sebenarnya bukan masalah utama yang membuat kebijakan HGBT belum optimal dijalankan. Menurut dia, infrastruktur pipanisasi oleh PGN sudah cukup memadai.
”Berbagai jalur pipa juga sekarang sudah diperbarui dan dipasang, seperti pipa transmisi ruas Cirebon-Semarang yang sekarang sudah dipasang. Kalau bicara gas bumi, dari hulu sampai intermediate sampai pipanisasi sebenarnya tidak ada kekurangan, pasokan kita juga melimpah,” katanya.
Ia menilai problem terbesar justru terletak di kerumitan birokrasi pemerintah yang membuat pelaku industri di tujuh sektor penerima saat ini masih sulit melakukan pengajuan permohonan serapan gas. Proses pemberian alokasi gas itu, menurut dia, harus melalui tahapan administratif yang panjang dan melibatkan izin restu dari empat kementerian yang berbeda.
Tahap pertama, industri harus mengajukan diri sebagai penerima manfaat ke asosiasi terkait. Berikutnya, asosiasi mengumpulkan data dan meneruskan pengajuan itu melalui Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas) milik Kemenperin. Proses verifikasi di SIINas itu bisa memakan waktu berbulan-bulan.
Setelah lolos verifikasi di SIINas, Kemenperin berikutnya memberikan cap rekomendasi dan meneruskan pengajuan itu ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Berikutnya, Kementerian ESDM meneruskan pengajuan ke PT PGN selaku pemasok gas, dengan terlebih dahulu berkoordinasi dengan Kementerian Badan Usaha Milik Negara.
Sebelum gas disalurkan, PGN harus mendapat persetujuan dari Kementerian Keuangan selaku bendahara negara. ”Kami industri sebagai pemakai sebenarnya merindukan supaya pabrik bisa cepat menerima gas sesuai hak, supaya persaingan juga adil antar-perusahaan. Jangan sampai satu perusahaan dapat, yang lain tidak dapat,” katanya.