Besarnya minat publik terhadap aset digital masih didominasi motif mencari keuntungan. Hal ini berpotensi menghambat penguatan ekosistem aset digital serta basis teknologi yang digunakan.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA, SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Edukasi publik mengenai aset kripto dan non-fungible token atau NFT, serta metasemesta atau metaverse masih perlu diperkuat. Publik diharapkan tidak sekadar terbawa arus saat berinvestasi, namun mampu memanfaatkan aset digital serta basis teknologi penopangnya untuk penyelesaian masalah di berbagai sektor, termasuk ekonomi, sosial, dan pendidikan.
Menurut seniman visual yang berinvestasi kripto dan NFT, Bryan Lie, langkah pertama sebelum terjun ke dunia NFT adalah memahami konsep kripto, lantas berinvestasi sambil belajar lebih jauh tentang aset digital ini. Jika seseorang merasa mendapat nilai tambah dari investasi kripto, individu bisa melanjutkan investasi ke NFT. Hal ini penting untuk meminimalkan risiko kerugian.
“Mudah untuk memandang aset digital sebagai scam (penipuan) jika Anda tidak meluangkan waktu untuk memahami sesuatu. Jangan malas untuk mencari tahu,” kata Bryan dalam kelas daring bertajuk “All You Need to Know about NFT” yang menjadi salah satu rangkaian kegiatan Kompasfest 2022 presented by BNI, Jumat (19/8/2022).
Mudah untuk memandang aset digital sebagai scam (penipuan) jika Anda tidak meluangkan waktu untuk memahami sesuatu. Jangan malas untuk mencari tahu.
Ia menilai bahwa minat masyarakat terhadap aset digital beberapa waktu terakhir relatif besar. Ini tampak dari nilai perdagangan NFT di pasar dunia mencapai lebih dari 23 miliar dollar AS selama 2021 (Kompas.id, 8/1/2022).
Namun, besarnya minat publik terhadap aset digital masih didominasi motif mencari keuntungan. Hal ini berpotensi menghambat penguatan ekosistem NFT karena penentu utama nilai NFT adalah permintaan publik. Ketika minat publik turun, nilai NFT juga turun ke nilai dasar. Hal tersebut bisa diminimalkan dengan literasi aset digital.
“Dalam waktu beberapa dekade lagi, akan ada titik balik ketika (nilai) digital akan melampaui aset fisik. Meski saat ini nilainya masih fluktiatif, ke depan akan lebih stabil dan masyarakat akan lebih bisa melihat nilai aset digital,” kata Bryan.
Selain menjaga stabilitas pergerakan nilai aset digital, peningkatan literasi juga akan meningkatkan relevansi penggunaan teknologi rantai blok (blockchain) dalam kehidupan sehari-hari. NFT dan kripto adalah dua contoh dari sekian banyak aset digital yang memanfaatkan fungsi dari pengembangan teknologi rantai blok.
Teknologi blockchain adalah suatu bentuk basis penyimpanan data berbentuk blok, yang terhubung satu sama lain seperti rantai. Setiap blok diisi data yang dirantaikan ke blok sebelumnya berdasarkan urutan waktu yang tercatat secara digital dan tidak dapat diubah.
Menurut Bryan, teknologi blockchain dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan efektivitas distribusi pangan. Saat ini, rantai distribusi pangan amat panjang, mulai dari petani, pengepul, pedagang besar, pedagang pengecer, hingga konsumen. Akibatnya, selisih harga dari petani ke konsumen besar.
Teknologi blockchain dapat memangkas rantai distribusi pangan sehingga harga di tingkat petani bisa lebih tinggi, sementara harga di konsumen lebih rendah.
Ekosistem "metaverse"
Desentralisasi finansial melalui aset kripto serta bukti-bukti atas kepemilikan aset NFT yang ditopang oleh teknologi blockchain, merupakan komponen penting untuk mendukung serta mewujudkan konsep dan ide dari metaverse.
Secara praktik, inti dasar dari metaverse adalah ruang tiga dimensi sebagai tempat aset-aset digital, yang bisa dinikmati menggunakan avatar sehingga menghadirkan pengalaman kontak secara penuh. Ide dari praktik metaverse ini diangan-angankan untuk dapat terwujud di masa depan. Adapun saat ini, ekosistem dari metaverse tengah dalam tahap pembentukan.
Dalam kelas daring bertajuk “The World Through Metaverse Perspective” yang juga menjadi rangkaian kegiatan Kompasfest, Jumat, CEO WIR Group Stephen Ng menyampaikan elemen-elemen penting di dalam metaverse sebenarnya telah muncul sejak periode tahun 2000-an.
Hadirnya ekosistem metaverse ditandai dengan munculnya mata uang kripto pertama, bitcoin, dan teknologi terdesentralisasi bernama blockchain di tahun 2008. Sejak itu perkembangan elemen lain bermunculan, mulai dari pengembangan dan implementasi teknologi realitas virtual (VR) dan realitas berimbuh (AR), hingga hadirnya produk-produk NFT sebagai aset digital dalam metaverse.
“Tak berbeda dengan dunia nyata, metaverse juga butuh tatanan hukum, identitas, serta bukti-bukti atas kepemilikan. Aspek-aspek ini terus mengalami pengembangan, termasuk pengembangan teknologi blockchain untuk bukti kepemilikan aset di dalam metaverse,” ujarnya.
Semua sektor ekonomi, menurut Stephen, bisa memanfaatkan metaverse untuk meningkatkan kinerja. Ia mencontohkan saat ini beberapa merk mode sudah memanfaatkan teknologi metaverse agar calon pembeli dapat terlebih dahulu mencoba barang yang ingin mereka beli secara virtual sebelum memutuskan untuk membeli.
Ke depan, pemanfaatan metaverse di sektor pendidikan, akan sangat bermanfaat untuk meningkatkan keahlian calon tenaga kerja profesional. “Pendekatan metaverse digunakan sekolah pilot untuk simulasi menerbangkan pesawat. Pendekatan yang sama bisa digunakan untuk sekolah kedokteran dan profesi-profesi lainnya,” ujar Stephen.
Pemanfaatan tersebut sejalan dengan tujuan utama diciptakannya metaverse, yaitu untuk memperkuat hubungan antarmanusia dan teknologi. Upaya penyempurnaan teknologi metaverse, lanjut Stephen, memiliki visi untuk membantu menyelesaikan masalah dan meningkatkan kualitas hidup manusia alih-alih menggeser kehidupan nyata yang memang selalu ada.
Di luar beragam potensi yang bakal ditawarkan metaverse, Stephen tetap menekankan pentingnya edukasi masyarakat terhadap teknologi ini agar tidak mengakibatkan disorientasi antara kehidupan nyata dengan realitas virtual dalam metaverse yang bisa memicu gangguan kesehatan mental.
“Kuncinya ada pada diri kita sendiri bagaimana memosisikan kita terhadap teknologi, bagaimana kita membuat privasi karena kehidupan sudah tercampur antara metaverse dengan realitas,” kata dia.