Wapres Amin: Asuransi Syariah Indonesia Perlu Berbenah
Industri asuransi syariah Indonesia perlu meningkatkan efisiensi dan daya saing. Dengan demikian, industri asuransi Indonesia bisa ikut mendorong ekosistem syariah Indonesia.
Oleh
NINA SUSILO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Asuransi syariah dinilai penting dalam mendorong ekosistem ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia. Namun, untuk itu, industri asuransi syariah juga perlu kemampuan untuk berkompetisi baik di dalam negeri maupun dengan negara-negara lain.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin menilai asuransi syariah mampu memperkuat rantai nilai halal baik melalui industri produk halal maupun industri keuangan syariah. Karena itu, asuransi syariah penting untuk pengembangan industri produk halal Indonesia, termasuk bagi UMKM serta ekosistem syariah secara keseluruhan.
Hal tersebut disampaikan Wapres Amin dalam Tahniah Milad Ke-19 Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) di Istana Wapres, Jakarta, Kamis (18/8/2022). AASI dibentuk 14 Agustus 2003 untuk mewadahi insan asuransi syariah dan memajukan asuransi syariah Indonesia.
Sejauh ini, menurut Ketua Umum AASI Tatang Nurhidayat, anggota AASI sudah mencapai 63 perusahaan. Namun, baru 13 yang sudah menjadi perusahaan mandiri, sisanya masih harus memisahkan unit menjadi perusahaan mandiri (spin off) paling lambat tahun 2024.
Wapres juga mengingatkan, tantangan asuransi syariah akan semakin besar. Sebab, ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) yang bertujuan untuk menghilangkan pembatasan perdagangan jasa di antara negara-negara ASEAN akan diberlakukan. Karena itu, selain menghadapi pesaing di dalam negeri dari asuransi konvensional, industri asuransi syariah Indonesia juga akan bersaing dengan pesaing dari luar Indonesia.
Kendati demikian, menurut Wapres, hal ini sekaligus meningkatkan prospek industri asuransi syariah Indonesia dalam memperluas pasar ke negara-negara ASEAN. Untuk itu, industri asuransi syariah nasional seyogianya mempersiapkan diri supaya dapat memanfaatkan momentum ini. Industri asuransi syariah Indonesia harus semakin kompetitif dan efisien.
Wapres Amin juga meminta AASI untuk terus mendorong literasi keuangan syariah masyarakat, terutama asuransi syariah. Selain itu, teknologi digital untuk memperkuat asuransi syariah Indonesia juga perlu dioptimalkan. Inovasi untuk menciptakan produk-produk yang menarik untuk generasi produktif Indonesia juga perlu didorong. Kualitas dan kapasitas SDM di bidang keuangan/asuransi syariah harus terus ditingkatkan. AASI juga perlu mengambil peranan aktif untuk mendukung pelaku UMKM.
Tak hanya itu, Wapres pun mengusulkan asuransi syariah untuk menyasar pasar besar penduduk kelas menengah ke bawah dengan produk asuransi mikro. Dia menilai, banyak industri sukses bermain di tataran produk mikro. Karena itu, asuransi syariah perlu berinovasi produk mikro dengan sistem pembayaran yang meringankan dan terjangkau.
Adanya AFAS yang akan berimplikasi pada industri asuransi syariah di Indonesia pada 2025, menurut Tatang, perlu dihadapi dengan penguatan industri asuransi syariah dalam negeri. ”Spin off bisa untuk penguatan secara kelembagaan dan permodalan di internal perusahaan sendiri, jadi bisa melakukan penetrasi dan edukasi di pasar dalam negeri dulu. Ketika AFAS (dan pasar) terbuka, kita bisa mengamankan pasar dalam negeri sekaligus memperluas pasar ke luar negeri,” tuturnya.
Dari pelaku usaha yang ada, penetrasi pasar industri asuransi syariah di Indonesia baru 6 persen dari segi pendapatan kontribusi atau sekitar Rp 20 triliun. Adapun dari segi aset, penetrasi pasar sebesar 7 persen atau Rp 45 triliun.
Targetnya, kata Tatang, asuransi syariah Indonesia bisa mencapai market share seperti di Malaysia, yakni sekitar 20 persen. Setelahnya, asuransi syariah Indonesia juga melihat potensi pada negara-negara seperti Filipina dan Thailand yang sesungguhnya memiliki masyarakat Muslim.
Terkait asuransi mikro, menurut Tatang, kendati potensi pasarnya sangat besar, asuransi konvensional juga tidak mampu menggarapnya. Dia menilai ada dua permasalahan di pasar mikro ini. Pertama, literasi dan edukasi tentang pentingnya berasuransi. Kedua, biaya distribusi dinilai terlalu tinggi untuk pasar mikro. Diperkirakan, digitalisasi bisa memperluas jangkauan dan menurunkan biaya distribusi ini.