Hadapi Gejolak Ekonomi, Perluasan Sektor Penerima Gas Murah Terus Digodok
Di tengah ketidakpastian ekonomi global, perluasan kebijakan harga gas bumi murah untuk semua industri menjadi salah satu strategi pemerintah untuk memperkuat kontribusi sektor manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Untuk mendukung capaian target pertumbuhan ekonomi pada tahun 2023, dibutuhkan daya ungkit yang optimal dari sektor manufaktur. Pemerintah pun terus menggodok wacana memperluas sektor penerima insentif harga gas bumi tertentu atau HGBT untuk mendorong efisiensi biaya operasional dan memperkuat resiliensi industri.
Sejauh ini, berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 8 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penetapan Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri yang berlaku sejak April 2020, ada tujuh bidang industri yang mendapatkan insentif harga gas bumi senilai 6 dollar AS per juta metrik british thermal unit (MMBTU).
Ketujuh sektor itu adalah pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet. Sejak 2021, Kementerian Perindustrian mengusulkan perluasan penerima harga gas khusus tersebut ke semua sektor industri secara bertahap.
Untuk tahap pertama, ada 13 sektor yang disasar, yaitu industri ban, makanan dan minuman, pulp dan kertas, logam, permesinan, otomotif, karet remah (crumb rubber), refraktori, elektronika, plastik fleksibel (lembaran), farmasi, semen, serta industri asam amino. Namun, rencana perluasan sektor penerima HGBT itu sampai sekarang belum terlaksana.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, perluasan kebijakan harga gas bumi untuk semua industri menjadi salah satu strategi pemerintah untuk mendorong kontribusi sektor manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi nasional yang pada 2023 ditargetkan 5,3 persen.
Menurut dia, berdasarkan pengalaman mengimplementasikan kebijakan HGBT pada tujuh sektor industri pengolahan sejak 2022, terbukti bahwa industri pengguna gas menjadi lebih resilien dan berdaya saing. ”Terjadi efisiensi, terutama pada biaya operasional dan bahan baku industri pengguna gas tersebut,” kata Agus dalam keterangan pers, Rabu (17/8/2022).
Langkah perluasan sektor penerima HGBT itu akan diiringi kebijakan lain untuk menopang industri, seperti menambah komoditas dalam neraca komoditas untuk menjamin pasokan bahan baku dan hilirisasi, meningkatkan penggunaan produk dalam negeri dalam belanja pemerintah, serta beragam program revitalisasi industri dan insentif bagi pelaku industri.
Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan, dan Akses Industri Internasional Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Eko Cahyanto mengatakan, Kemenperin serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sudah mengadakan sejumlah rapat kerja di tingkat menteri dan direktorat selama satu bulan terakhir untuk membahas implementasi perluasan HGBT.
”Pada prinsipnya, Kementerian ESDM sudah mendukung kebijakan ini, sesuai dengan tujuan agar tidak ada sektor yang tertinggal dalam kebijakan HGBT ini. Tetapi, memang saat ini masih berproses, tidak bisa langsung diterapkan, kita buat bertahap,” kata Eko saat dihubungi.
Pada prinsipnya, Kementerian ESDM sudah mendukung kebijakan ini, sesuai dengan tujuan agar tidak ada sektor yang tertinggal dalam kebijakan HGBT.
Penyesuaian
Menurut dia, ada beberapa penyesuaian yang saat ini sedang dibahas di rapat teknis, khususnya terkait dampak dari perluasan kebijakan itu terhadap sektor hulu minyak dan gas bumi (migas) serta efeknya pada pemasukan negara.
Berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), penerimaan negara dari sektor migas menurun 1,2 miliar dollar AS pada 2021 akibat kebijakan gas murah industri itu. Sempat ada kekhawatiran bahwa pemasukan negara akan semakin menurun dengan perluasan insentif itu.
Namun, menurut Eko, di tengah ketidakpastian ekonomi dunia dan peningkatan biaya produksi akibat naiknya harga bahan baku, energi, dan logistik, kebijakan itu justru semakin dibutuhkan. Di sisi lain, kajian Kemenperin menunjukkan, meski penerimaan negara berpotensi berkurang Rp 35,91 triliun jika kebijakan HGBT diperluas, penerimaan dari sumber lainnya, seperti pajak dan bea masuk diestimasi bisa menyentuh Rp 57,23 triliun.
”Ini yang sedang diupayakan bagaimana formulanya untuk menyesuaikan di sektor hulu migas. Kita akan kejar juga yang kontrak-kontraknya sudah mau habis, kita upayakan bahwa yang harus didahulukan itu kepentingan dalam negeri,” kata Eko.
Bagaimana mau diperlebar (sektor penerimanya), kalau tujuh sektor yang sekarang saja belum semuanya dapat?
Hal lain yang sedang digodok pemerintah adalah memberikan izin pada kawasan industri untuk melakukan sendiri importasi guna memenuhi kebutuhan gas di kawasannya. ”Ini salah satu wacana yang sedang dibangun, regulasi untuk payung hukumnya sedang digodok,” ujarnya.
Wakil Ketua Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) Achmad Widjaja mengingatkan pemerintah untuk membenahi dulu serapan bagi tujuh sektor yang berhak menerima gas murah seharga 6 dollar AS per MMBTU itu. Pasalnya, sampai sekarang belum semua perusahaan di tujuh sektor prioritas itu menerima insentif sebagaimana harusnya.
”Bagaimana mau diperlebar (sektor penerimanya) kalau tujuh sektor yang sekarang saja belum semuanya dapat? Jadi, pemerintah tolong bereskan dulu penerima di kluster satu, layani penuh sampai merata. Setelah itu, kalau mau ekspansi ke industri lain, silakan,” kata Achmad.
Ia menilai, pada dasarnya, perluasan sektor penerima HGBT tetap dibutuhkan. Sebab, saat ini hampir semua industri sedang mengalami peningkatan utilisasi produksi di tengah permintaan dan konsumsi yang kembali pulih pascapandemi.
Namun, jika pemerintah tak kunjung memperbaiki birokrasi pengajuan yang terlampau rumit, persoalan yang sama akan terus terulang. Achmad menuturkan, realisasi serapan gas industri tidak pernah bisa mencapai 100 persen karena proses pemberian alokasi gas itu harus melalui banyak tahapan administratif yang rumit serta melibatkan izin restu dari empat kementerian yang berbeda, yaitu Kemenperin, Kementerian ESDM, Kementerian Badan Usaha Milik Negara, dan Kementerian Keuangan.
”Masalah terbesar adalah birokrasi yang susah diterobos. Pasokan bukan masalah, justru pasokan kita berlimpah, tidak kekurangan. Demikian juga infrastruktur pipanisasi sudah cukup baik,” ujarnya.