Petani Jatim Menunggu Pemerintah Tetapkan Lahan Sawah yang Dilindungi
Petani Jawa Timur dalam forum Rembug Tani di Surabaya, Minggu (14/8/2022), mengeluarkan empat rekomendasi. Salah satunya adalah penetapan lahan sawah untuk menjaga ketahanan pangan di negeri ini.
Oleh
AGNES SWETTA PANDIA
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Rembug Tani Jawa Timur mengeluarkan empat rekomendasi untuk mengamankan ketahanan pangan di provinsi ini. Salah satu rekomendasi tersebut adalah pemerintah secepatnya menetapkan lahan sawah yang dilindungi agar tidak kian tergerus.
Jika lahan sawah seluas seperti sekarang, maka diprediksi pada 2045 lahan sawah di seluruh Indonesia tinggal 3,4 juta hektar. Dengan luas areal seperti ini, sangat tidak mungkin memenuhi kebutuhan pangan penduduk.
Selain mengkritisi soal lahan sawah, tiga rekomendasi lain adalah pentingnya kolaborasi semua pemangku kebijakan pertanian, keberadaan lembaga riset dan sistem data informasi pertanian, serta pencabutan subsidi pupuk.
Keempat rekomendasi tersebut terungkap dalam Rembug Tani Jatim saat InaGRO Expo 2022 yang digelar Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jatim, di Surabaya, mulai Kamis (11/8/2022) hingga Minggu (14/8/2022). Kesempatan itu juga dimanfaatkan berbagai pihak di sektor pertanian Jatim sebagai ruang diskusi melalui forum Rembug Tani.
Hadir dalam Rembug Tani tersebut, antara lain, Ketua Umum Kadin Jatim Adik Dwi Putranto, Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Jatim Sumrambah, Wakil Himpunan Kelompok Tani Indonesia (HKTI) Jatim Warsito, Sekretaris Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Jatim Sutoyo M Muslih, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jatim Eddy Widjanarko, dan Direktur Kadin Institute Nurul Indah Susanti.
Selain itu, juga ada Direktur Utama Puspa Agro M Diah Agus Muslim, perwakilan dari Universitas Brawijaya Malang, Politeknik Negeri Jember, Otoritas Jasa Keuangan, Kadin Kabupaten Kediri, Rumah Kurasi, dan Export Center Surabaya.
Menurut Sumrambah, yang juga Wakil Bupati Jombang, rekomendasi tersebut akan disampaikan kepada Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa dan Presiden Joko Widodo. ”Sangat diharapkan pemerintah secepatnya menetapkan lahan sawah yang dilindungi, agar tidak semakin tergerus,” katanya.
Disebutkan saat ini alih fungsi lahan sangat luar biasa. Secara nasional, luas lahan pertanian pada 2012 mencapai 8,4 juta hektar. Namun, pada 2019, luas lahan pertanian susut menjadi 7,4 juta hektar. Artinya, dalam kurun waktu 7 tahun, penyusutan lahan pertanian di negeri dengan penduduk 240 juta jiwa ini sekitar 1 juta hektar.
Agar hal tersebut tidak terus terjadi, menurut Sumrambah, pemerintah harus segera memutuskan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Langkah ini penting agar lahan sawah terlindungi dan tidak tergusur oleh sektor lain.
Terkait soal lahan sawah, dalam Undang-Undang Agraria, pemanfaatan lahan harus ditetapkan sehingga tidak ada lagi lahan telantar. ”Tidak akan ada lagi investor yang membeli lahan sangat luas dan dibiarkan oleh pemerintah,”” ujar Sumrambah.
Rekomendasi kedua terkait pentingnya kolaborasi semua pemangku kebijakan pertanian, dari hulu hingga hilir. Ini karena persoalan pertanian harus dirumuskan dan dikerjakan bersama-sama. Untuk itu, pertemuan seperti Rembug Tani penting sebagai wadah kolaborasi.
Soal lembaga riset, menurut Adik Dwi Putranto, keberadaannya vital untuk menemukan formula tepat dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi. Dalam hal ini, Kadin Jatim mendorong Pemprov Jatim agar memanfaatkan lembaga riset untuk secepatnya bekerja dengan titik fokus pertanian. Alasannya, kontribusi Jatim rata-rata 35 persen dari total sektor agro secara nasional.
Hal tersebut juga terkait dengan mendesaknya penerapan teknologi pangan atau bioteknologi pangan untuk menghindari Indonesia dari krisis pangan global. Penerapan teknologi sangat penting untuk peningkatan kualitas dan produktivitas pertanian di Indonesia, termasuk Jatim.
Agar proses bisa lancar dan segera terwujud, pemerintah agar menyediakan sistem data pertanian. Sistem ini bukan sekadar berbasis produksi, melainkan juga sistem informasi pasar. Melalui sistem informasi pasar tersebut, petani tidak akan diadu dengan petani lain karena sistem tersebut memberikan informasi per wilayah produksi.
”Dengan sistem informasi ini, diharapkan Jatim akan ada perwilayahan produksi sehingga fluktuasi harga tinggi tidak bakal terjadi,” ujar Adik.
Tentunya pemerintah harus bisa memproteksi agar lahan tersebut tidak berkurang.
Terkait pencabutan subsidi pupuk, Kadin Jatim bersama HNSI, HKTI, dan KTNA sepakat membuat komitmen untuk mendesak pemerintah mencabut subsidi pupuk. Selama ini subsidi pupuk justru menghancurkan distribusi. Disparitas harga yang semakin tinggi juga menyebabkan petani harus membeli pupuk bersubsidi di beberapa tempat dengan harga tinggi.
Warsito mengatakan, pemerintah harus tanggap dan cepat mengambil keputusan untuk melindungi lahan pertanian. ”Kami hanya meminta peran aktif pemerintah terkait UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Tentunya pemerintah harus bisa memproteksi agar lahan tersebut tidak berkurang,” ujarnya.
Terkait pencabutan subsidi pupuk, ia mengatakan, pemerintah harus berani membalik sistem subsidi, dari subsidi tanam menjadi subsidi hasil. Pemerintah juga harus bisa memberikan rasa aman dengan memberikan kepastian terjual.
Pemerintah, ujarnya, harus bertanggung jawab untuk membeli seluruh hasil panen yang dihasilkan petani. ”Realitanya, ada petani di Kota Batu sampai melempar sayur ke sungai karena produk pertaniannya tidak ada pembeli,” katanya.
Dalam kondisi seperti sekarang, keberadaan Perum Bulog harus digenjot agar petani diuntungkan. ”Tidak seperti sekarang, ketika masa tanam, pupuknya sulit. Kalaupun ada, harganya tinggi. Sebaliknya, saat panen, pemerintah membuka keran impor, maka penderitaan petani kian berat,” ucap Warsito.
Sementara, dari sisi nelayan, Sutoyo M Muslih berharap perbankan mau menjadikan aset kapal yang nelayan miliki sebagai jaminan kredit. Sebab, untuk menjadi nelayan yang berkembang dari skala kecil-menengah ke nelayan besar, membutuhkan investasi yang besar. Untuk ekspor, HNSI berharap Pemprov Jatim dan Kadin Jatim melalui Export Center Surabaya (ECS) bisa menjadi lembaga pengawas.