Pemerintah Diminta Sepenuhnya Transparan Soal Pencabutan Izin Tambang
Basis evaluasi pencabutan izin usaha diharapkan tidak sebatas pada aspek administratif. Pemerintah perlu juga mempertimbangkan praktik perusahaan yang merusak lingkungan dan merugikan masyarakat sekitar tambang.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Investasi mengabulkan keberatan sejumlah pengusaha tambang yang izin usahanya dicabut. Pemerintah diminta membuka seluruh daftar perusahaan yang izinnya dicabut dan dipulihkan, serta mendistribusikan lahan hasil pencabutan secara adil kepada warga demi mengatasi masalah ketimpangan lahan di daerah.
Sebelumnya, pemerintah membuka ruang klarifikasi terhadap 2.065 perusahaan yang izin usaha pertambangannya (IUP) sudah dicabut dari target awal 2.078 IUP yang bermasalah. Hasilnya, lebih dari 700 perusahaan mengajukan keberatan dan meminta izin mereka dipulihkan.
Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia, Jumat (12/8/2022), mengatakan, pemerintah akan mengabulkan 40 persen dari pemohonan keberatan yang masuk. Untuk tahap awal, ada 75-80 IUP yang pemulihan izinnya sedang diproses secara bertahap sampai akhir Agustus 2022.
”Ini janji saya dari awal bahwa pemerintah tidak mungkin zalim terhadap pengusaha. Kalau dalam verifikasi ditemukan bahwa izin-izin itu sudah berjalan dan pemerintah yang khilaf, akan dilakukan perbaikan,” kata Bahlil dalam konferensi pers secara hibrida di Jakarta.
Sebanyak 2.065 perusahaan itu terdiri dari 306 IUP di sektor batubara (909.413 hektar), 307 IUP di sektor timah (445.352 hektar), 106 IUP di sektor nikel (182.094 hektar), 71 IUP di sektor emas (544.728 hektar), 54 IUP di sektor bauksit (356.328 hektar), 18 IUP di sektor tembaga (70.663 hektar), dan 1.203 IUP di sektor mineral lainnya (599.126 hektar).
Berdasarkan luasan IUP yang dicabut, persentase terbesar ada di Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kepulauan Bangka Belitung, Kalimantan Tengah, dan Papua. Sementara berdasarkan banyaknya IUP, terbanyak ada di Kepulauan Bangka Belitung, Kalbar, Jawa Timur, Kalteng, dan Kaltim.
Perusahaan yang izinnya dicabut adalah yang masa berlaku izin usahanya sudah habis, izinnya tak kunjung direalisasikan, pemilik usaha tidak jelas, dinyatakan pailit, izin hanya digunakan sebagai jaminan di bank tetapi tidak direalisasikan, pengusaha tidak mengurus izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) dan tidak mengurus rencana kerja dan anggaran biaya, serta lain sebagainya.
Terkait daftar perusahaan yang pencabutannya dipulihkan, Bahlil mengatakan, pemerintah akan mengirimkan surat keputusan (SK) secara langsung ke setiap perusahaan. Bagi yang tidak menerima kiriman SK, berarti permohonannya tidak memenuhi syarat untuk dikabulkan.
Menurut Bahlil, pemerintah akan membuka daftar perusahaan, tetapi tidak sepenuhnya. ”Saya pikir, dalam konteks ini, ada yang terbuka, tetapi jangan semua dibuka. Jangan sampai juga ucapan saya lebih dulu (keluar) daripada SK yang diteken,” katanya.
Terbuka
Juru kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Melky Nahar, meminta pemerintah untuk transparan dan membuka seluruhnya daftar perusahaan yang izinnya dicabut, dipulihkan, dan pihak-pihak mana saja yang kelak akan menerima pengalihan lahan. Sampai saat ini, meski pemerintah sudah berjanji, belum semua daftar perusahaan dibuka ke publik.
Kalau dalam verifikasi ditemukan bahwa izin-izin itu sudah berjalan dan pemerintah yang khilaf, akan dilakukan perbaikan.
”Ini memunculkan spekulasi bahwa ada politik transaksional atau kompromi yang terjadi di balik layar. Kalau memang serius mendorong good governance dan transparansi, mengapa tidak pernah dibuka daftar seluruh perusahaan yang izinnya dicabut dan apa saja pelanggaran mereka?” tutur Melky.
Infografik Kompas.id Industri ekstraktif di kawasan risiko bencana Grafik 2 Sebaran konsesi pertambangan di kawasan risiko bencana nasional
Lebih lanjut, ia menyayangkan basis evaluasi pencabutan IUP yang terkesan hanya terjebak pada aspek administratif usaha, tetapi tidak menyasar praktik perusahaan yang merusak lingkungan dan merugikan masyarakat di sekitar tambang. Padahal, masalah krusial yang muncul sebagai imbas usaha pertambangan yang masif adalah rusaknya ruang hidup warga.
Pencabutan yang hanya bersifat administratif itu juga membuka ruang lebih besar untuk pengusaha mengajukan keberatan. ”Padahal, kalau evaluasi pencabutannya menyasar ke praktik kejahatan korporasi terhadap lingkungan dan kemanusiaan, saya rasa posisi kementerian akan jauh lebih kuat, ” ujarnya.
Terkait distribusi lahan pasca-pencabutan izin, menurut Melky, pemerintah seharusnya dapat mengambil kesempatan ini untuk melakukan reforma agraria. Pasalnya, status kepemilikan dan penguasaan lahan di daerah-daerah yang IUP-nya dicabut, seperti di Kalimantan, sudah sangat timpang.
”Seharusnya, tanah-tanah yang sebelumnya milik warga ini dikembalikan lagi ke warga, bukan diberikan ke koperasi, yayasan, lembaga keagamaan, atau badan usaha lain. Tetapi, kita lihat di sini skema pemanfaatannya justru dialihkan ke kepentingan lain,” kata Melky.
Kalau evaluasi pencabutannya menyasar ke praktik kejahatan korporasi terhadap lingkungan dan kemanusiaan, saya rasa posisi kementerian akan jauh lebih kuat.
Terkait kekhawatiran itu, Bahlil menjelaskan, nasib lahan IUP yang dicabut akan dikembalikan lagi ke negara untuk kemudian didistribusikan ke sejumlah pihak berdasarkan skala prioritas dan keseriusan sesuai Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 2022 tentang Pendistribusian Lahan.
Lahan-lahan komersial yang besar akan didistribusikan melalui mekanisme tender. Sementara, untuk lahan yang dimaksudkan untuk ormas, badan usaha milik daerah, badan usaha milik desa, koperasi, yayasan, dan lembaga keagamaan akan didistribusikan melalui penetapan pemerintah.
Bahlil menjamin tidak ada politik transaksional dalam proses pencabutan, pemulihan, dan pendistribusian lahan. ”Jangan takut ada kongkalikong dan 'gerakan-gerakan tambahan' dalam pendistribusian lahan ini. Semua dilakukan dalam rangka pemerataan, tidak akan dikasih ke yang itu lagi, itu lagi, agar izin tidak hanya dikuasai sekelompok orang tertentu,” kata Bahlil.