Realisasi pendapatan negara pada Juli 2022 ditopang penerimaan pajak yang tumbuh 25,8 persen secara tahunan. Kinerja APBN yang positif menjadi modal penting untuk mengantisipasi gejolak global.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kinerja fiskal masih mencatatkan surplus pada awal triwulan III-2022 karena penerimaan negara masih didukung oleh faktor kenaikan harga komoditas global. Selain itu, anggaran belanja negara belum banyak terserap. Walau begitu, pemerintah tetap mewaspadai berbagai risiko eksternal yang bisa mengganggu stabilitas ekonomi nasional.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mencatatkan surplus selama tujuh bulan berturut-turut tahun ini, dengan catatan surplus Rp 106,1 triliun per Juli 2022. Nilai ini setara surplus 0,57 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Kondisi surplus APBN pada Juli 2022 terjadi karena pendapatan negara mencapai Rp 1.551 triliun dan belanja negara Rp 1.444,8 triliun. Kondisi ini berbalik positif dari catatan Juli 2021 yang defisit Rp 336,9 triliun, setara 2,04 persen terhadap PDB.
Kinerja APBN yang positif menjadi modal yang sangat baik untuk mengantisipasi gejolak dan ketidakpastian yang timbul akibat risiko dari perekonomian global.
Dalam konferensi pers APBN Kita yang diselenggarakan secara virtual, Kamis (10/9/2022), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan tingginya realisasi pendapatan negara ditopang penerimaan pajak yang tumbuh 25,8 persen secara tahunan mencapai Rp 1.028,5 triliun.
Pada periode yang sama, kantong penerimaan negara lainnya juga mencatatkan pertumbuhan. Ini terdiri dari penerimaan kepabeanan dan cukai yang bertumbuh 17,7 persen mencapai Rp 185,1 triliun serta penerimaan negara bukan pajak sebesar Rp 337,1 triliun atau bertumbuh 11,4 persen.
”Kinerja APBN yang positif menjadi modal yang sangat baik untuk mengantisipasi gejolak dan ketidakpastian yang timbul akibat risiko dari perekonomian global,” ujar Sri Mulyani.
Sri Mulyani memerinci, salah satu risiko global yang akan dihadapi Indonesia adalah lonjakan inflasi global akibat eskalasi konflik geopolitik. Belum meredanya ketegangan geopolitik di Rusia dan Ukraina kini diperparah dengan ketegangan di selat Taiwan yang melibatkan China, Taiwan, dan Amerika Serikat.
Menurut Sri Mulyani, konflik geopolitik ini akan menimbulkan tambahan risiko pada disrupsi rantai pasok. Di saat negara-negara mulai pulih dan mengalami peningkatan permintaan, pasokan tidak bisa memenuhi permintaan sehingga inflasi global melonjak.
”Dengan tingginya inflasi, negara-negara di dunia berpotensi mengalami pelemahan kondisi ekonomi. Kondisi inilah yang disebut dengan stagflasi,” kata Sri Mulyani.
Respons moneter
Selain itu, diantisipasi pula pengaruh pengetatan likuiditas dan kebijakan suku bunga bank-bank sentral di negara maju. Hal ini merupakan respons kebijakan moneter terhadap inflasi yang meningkat.
”Pengetatan likuiditas negara maju bakal membawa dampak rambatan terhadap pasar keuangan negara berkembang. Volatilitas pasar keuangan negara berkembang meningkat sehingga nilai tukar bisa tertekan,” kata Sri Mulyani.
Keluarnya arus modal asing dari pasar keuangan negara-negara berkembang akan menimbulkan tekanan pada nilai tukar juga. Hal ini pun menjadi momok bagi negara-negara dengan tingkat utang di atas 60 persen PDB.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata mengatakan, sebagai respons atas kenaikan harga sejumlah komoditas di pasar lokal, Kementerian Keuangan menambah anggaran bantuan sosial sebesar Rp 18,6 triliun.
”Anggarannya sudah tersedia, mudah-mudahan cukup untuk merespons kenaikan-kenaikan harga dan sebagainya, yang bisa terjadi sampai akhir tahun ini,” ujar Isa.
Sebelumnya dalam diskusi di kantor redaksi harian Kompas, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, peningkatan anggaran bantuan sosial menjadi salah satu strategi pemerintah untuk meredam potensi lonjakan inflasi.
”Anggaran bantuan sosial ditambah demi menjaga daya beli sehingga inflasi stabil. Target kami inflasi bisa lebih rendah dari angka pertumbuhan ekonomi,” ujar Airlangga.
Defisit anggaran akan mulai terjadi pada akhir triwulan III-2022, seiring dengan mulai terserapnya anggaran belanja negara.
Dihubungi secara terpisah, Ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Faisal Rachman memperkirakan defisit anggaran akan mulai terjadi pada akhir triwulan III-2022, seiring dengan mulai terserapnya anggaran belanja negara.
”Penerimaan negara dari komoditas juga berpotensi akan menurun karena turunnya permintaan dari (pasar) global yang memicu normalisasi harga-harga komoditas,” kata Faisal.
Ia mengingatkan pemerintah untuk tetap waspada karena tekanan risiko global bisa saja menjadi batu sandungan untuk defisit anggaran kembali di bawah 3 persen PDB. Adapun untuk memenuhi target pertumbuhan ekonomi, pemerintah perlu menjaga harga dalam negeri. Salah satu caranya dengan menambah subsidi.