Kawasan Berikat dan KITE Diharapkan Sumbang 40 Persen Ekspor Nonmigas
Ekspor dari kawasan berikat dan pemberian fasilitas kemudahan impor tujuan ekspor atau KITE diharapkan berkontribusi pada 40 persen nilai ekspor nonmigas nasional pada tahun 2022.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Ekspor dari perusahaan-perusahaan penerima fasilitas kawasan berikat dan kemudahan impor tujuan ekspor atau KITE diharapkan tetap berkontribusi 40 persen terhadap total ekspor non-migas nasional pada tahun 2022. Pemerintah akan tetap mengupayakan berbagai kebijakan fiskal yang diikuti dengan dukungan klinik ekspor bagi pelaku usaha mikro kecil menengah/industri kecil menengah dan sinergi kementerian/lembaga.
Direktur Fasilitas Kepabeanan Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Untung Basuki saat kunjungan media yang diselenggarakan Ditjen Bea dan Cukai hari pertama, Rabu (10/8/2022) sore, di Bandung, Jawa Barat, mengatakan, jumlah penerima fasilitas kawasan berikat per 31 Juli 2022, yaitu 1.394 perusahaan. Sebanyak 44 persen atau 615 perusahaan penerima fasilitas itu berlokasi di Jawa Barat.
Hingga Juli 2022, nilai ekspor produk yang dihasilkan perusahaan-perusahaan penerima fasilitas KITE dan kawasan berikat tercatat 56,99 miliar dollar AS atau naik 23,89 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Sementara nilai impornya tercatat 16,67 miliar dollar AS atau tumbuh 4,54 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2021.
”Tren kontribusi ekspor dari perusahaan penerima fasilitas kawasan berikat dan KITE terhadap total ekspor nasional masih positif. Pada 2020, besaran kontribusinya 39,53 persen (dari total ekspor non-migas nasional) dan tahun berikutnya 39,64 persen. Adapun, Januari -Juli 2022, kontribusinya sudah mencapai 36,27 persen,” ujar Untung.
Menurut Untung, selama pandemi Covid-19, pihaknya mengupayakan tetap menjaga agar kontribusi ekspornya terhadap total ekspor nasional sebesar 40 persen. Perusahaan penerima fasilitas KITE, misalnya, tidak akan dikenai denda jika KITE tidak dipakai selama pandemi Covid-19.
Bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah/industri kecil dan menengah (UMKM/IKM), dia menyebut ada klinik ekspor. Selain itu, Ditjen Bea dan Cukai Kemenkeu berupaya bersinergi dengan kementerian/lain untuk memajukan UMKM/IKM ekspor.
”Selama pandemi Covid-19 masih berlangsung, kami ’menjaga’ agar mereka (penerima fasilitas kawasan berikat dan KITE) tidak sampai melakukan pemutusan hubungan kerja. Pemerintah juga sepakat mengedepankan hilirisasi barang komoditas. Di antara perusahaan penerima kawasan berikat berkecimpung sesuai arahan pemerintah itu, seperti smelter nikel,” katanya.
Kepala Kantor Bea dan Cukai Bandung Dwiyono Widodo di sela-sela kunjungan media hari kedua, Kamis (11/8/2022), di Bandung, mengatakan, fasilitas KITE IKM dan pabean di wilayah pengawasan Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean A Bandung juga memberikan dampak ekonomi. Jumlah IKM penerima fasilitas KITE IKM hingga Agustus 2022 mencapai lima perusahaan. Mereka berhasil menyerap 612 tenaga kerja, mencatatkan penerimaan investasi Rp 29,28 miliar, dan devisa ekspor senilai Rp 36,397 miliar.
Sementara untuk kawasan berikat, jumlah perusahaan penerima fasilitas kawasan berikat yang berada dalam cakupan pengawasan Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean A Bandung tercatat 58 perusahaan per 11 Agustus 2022. Mereka, antara lain, berasal dari sektor industri garmen, benang, dan sepatu.
Menurut Dwiyono, jumlah serapan pekerjanya mencapai 73.240 orang. Perolehan nilai investasinya Rp 16,25 triliun dan devisa ekspor Rp 73,935 triliun. ”Fasilitas kawasan berikat bisa dikatakan merupakan daya tarik investasi. Di wilayah kami terdapat tambahan satu perusahaan penerima fasilitas itu selama pandemi Covid-19. Satu perusahaan yang baru menerima fasilitas itu merupakan perusahaan hasil pengalihan dari negara lain,” ujarnya.
Lebih jauh, Dwiyono mengatakan, di antara perusahaan penerima fasilitas kawasan berikat sudah muncul kekhawatiran tertundanya pemesanan dari luar negeri. Hal ini diduga dipengaruhi ketidakpastian ekonomi global yang menyebabkan daya beli di negara-negara tujuan ekspor turun, seperti di kawasan Eropa.
Dia menambahkan, jika situasi ketidakpastian ekonomi global tetap berlanjut, salah satu cara membantu perusahaan penerima fasilitas kawasan berikat adalah menambah porsi jual produk ke pasar domestik. Hanya saja, hal itu tentunya merupakan wewenang pemerintah pusat.
Pada saat bersamaan, pengontrol aktivitas ekspor impor PT Kewalram Indonesia Iwa Koswara menyebutkan, beberapa manfaat fasilitas kawasan berikat adalah bea masuk ditangguhkan dan tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai (PPn) atau Pajak Penghasilan (PPh). Perusahaan yang menerima fasilitas kawasan berikat juga tidak perlu izin ketika memasukkan barang modal yang berhubungan dengan proses produksi, baik dalam bentuk mesin maupun suku cadang.
Dia menyampaikan, pada saat semester I-2022, jumlah devisa ekspor yang PT Kewalram Indonesia hasilkan mencapai Rp 1,162 triliun. Sementara pada periode yang sama tahun 2021 sebesar Rp 1,5 triliun. ”Ekspor mengalami sedikit penurunan karena masih pandemi Covid-19. Selain itu, kami mengalami masalah gangguan logistik,” ujar Iwa.