Meski masih menjadi motor utama perekonomian, kinerja industri pengolahan pada triwulan II-2022 melambat. Tantangan untuk menggairahkan industrialisasi pun lebih berat di tengah kondisi ekonomi global yang tak pasti.
Oleh
agnes theodora
·5 menit baca
Bagaikan berjalan di atas seutas kawat tipis yang membentang antara dua gedung tinggi. Begitu kira-kira kondisi sektor pengolahan Indonesia saat ini. Meski masih menjadi primadona pertumbuhan ekonomi pada triwulan II-2022, sektor ini rentan ”terpeleset” jatuh di tengah ketidakpastian perekonomian dunia dan buaian kenaikan harga komoditas.
Industri manufaktur memang masih menjadi salah satu penopang pertumbuhan ekonomi. Pada triwulan II-2022, sektor ini mencatat pertumbuhan 4,01 persen secara tahunan (year on year). Andilnya terhadap pertumbuhan ekonomi pun masih yang terbesar di antara lapangan usaha lain, yakni 0,82 persen, terhadap ekonomi nasional yang tumbuh 5,44 persen secara tahunan di triwulan II-2022.
Dengan mengacu pada produk domestik bruto (PDB) sektor industri atas dasar harga berlaku senilai Rp 877,8 triliun pada periode itu, kontribusi industri pengolahan terhadap perekonomian nasional adalah 17,84 persen dari total PDB sebesar Rp 2,82 kuadriliun.
Kendati tetap menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi, kinerja pertumbuhan sektor industri pada triwulan II-2022 ini kembali mengulang lagu lama. Sebab, selama 15 tahun terakhir, kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB nasional terus turun atau sering dilihat sebagai gejala deindustrialisasi dini.
Sebagai perbandingan, pada triwulan I-2022, sumbangan sektor manufaktur terhadap PDB mencapai 19,19 persen, turun dari 19,83 persen pada triwulan I-2021, 19,98 persen (triwulan I-2020), 20,07 persen (triwulan I-2019), dan 20,23 persen (triwulan I-2018). Kini, per triwulan II-2022, kontribusinya menyusut ke 17,84 persen.
Sejalan dengan tren itu, pertumbuhan industri manufaktur sepanjang April-Juni 2022 juga melambat, sebagaimana beberapa sektor ekonomi lain yang seharusnya menjadi andalan pertumbuhan PDB. Dengan pertumbuhan 4,01 persen, kinerja industri pengolahan menurun dibandingkan kondisi pada triwulan I-2022 di mana sektor itu tumbuh 5,07 persen.
Masalah ini tentu tidak boleh dipandang sebelah mata. Di satu sisi, pertumbuhan ekonomi memang melaju di angka 5 persen. Pemerintah pun tampak berpuas diri dengan capaian tersebut. Namun, kenyataannya, tiga sektor yang fundamental terhadap struktur ekonomi nasional justru sedang mengalami pelambatan.
Selain sektor pengolahan, ada sembilan sektor lain yang pertumbuhannya lebih rendah dari rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional, di antaranya pertanian, kehutanan dan perikanan yang hanya tumbuh 1,37 persen dan perdagangan besar dan eceran yang tumbuh 4,42 persen. Mengingat ketiga sektor itu menyerap tenaga kerja paling banyak, tentu saja pelambatan kinerja itu akan berdampak masif pada kualitas pertumbuhan ekonomi.
Di sisi lain, sektor yang tumbuh tinggi sepanjang triwulan II-2022 justru sektor yang kebetulan diuntungkan oleh pelonggaran pembatasan pascapandemi Covid-19 dan momentum Idul Fitri. Sektor-sektor itu umumnya tidak memiliki efek pengganda tinggi, baik dari sisi produktivitas, peningkatan nilai tambah, maupun penyerapan tenaga kerja.
Terbuai
Di tengah melambatnya kinerja industri pengolahan dan sektor fundamental lainnya, pertumbuhan ekonomi tetap saja berhasil melaju lebih tinggi. Salah satu faktor pendorongnya adalah kinerja ekspor dan penerimaan negara yang melejit akibat naiknya harga sejumlah komoditas unggulan Indonesia.
Momentum ledakan harga komoditas (commodity boom) ini sekilas mengingatkan kita pada kejadian ledakan komoditas pada periode 2001-2012, yang menjadi langkah mundur industrialisasi di Indonesia.
Saat itu, pemerintah terlalu terbuai oleh ledakan komoditas unggulan sehingga perekonomian nasional lebih banyak ditopang oleh industri ekstraktif, alih-alih mengembangkan industri pengolahan yang bisa memberi nilai tambah lebih dan menyerap banyak tenaga kerja.
Mengutip tulisan ”The Effect of the Commodity Boom on Indonesia’s Macroeconomic Fundamentals and Industrial Development” oleh ekonom Bank Dunia, Maria Monica Wihardja, ketika ledakan komoditas itu akhirnya berakhir di tahun 2012, ekonomi ikut terpuruk, karena sektor pengolahan yang fundamental untuk menopang perekonomian tidak diperhatikan.
Kali ini, pemerintah memang tidak serta-merta melupakan sektor manufaktur di tengah ledakan harga komoditas seperti batubara, nikel, dan minyak sawit (CPO). Berbagai proyek hilirisasi sedang digencarkan untuk memberi nilai tambah bagi perekonomian, khususnya di sektor pertambangan. Namun, apakah strategi hilirisasi tambang cukup untuk mencegah Indonesia mengalami deindustrialisasi prematur?
Meski nilai investasi dan ekspor di sektor pengolahan bertambah signifikan akibat hilirisasi, efek gandanya bagi kualitas pertumbuhan ekonomi belum terlihat. Investasi hilirisasi tambang yang lebih bersifat padat modal ketimbang padat karya memperburuk gejala deindustrialisasi dini yang lain, yaitu masuknya investasi bernilai besar, tetapi dengan penyerapan tenaga kerja rendah.
Problem ini berkali-kali diakui pemerintah. Dalam rapat kabinet, pekan lalu, isu penciptaan lapangan kerja yang seret meski realisasi investasi tinggi itu menjadi salah satu topik utama yang dibahas. Pemerintah pun masih mencari strategi untuk mendorong lebih banyak investasi padat karya di tengah arus investasi yang semakin mengarah pada padat modal, termasuk investasi di sektor manufaktur.
Di sisi lain, tantangan untuk menggencarkan industrialisasi kali ini lebih berat. Kondisi ekonomi global sekarang tidak bisa dikatakan bersahabat bagi industri manufaktur. Sejak pandemi, perekonomian dunia tak kunjung stabil. Muncul berbagai kejadian di luar kelaziman yang semakin mendisrupsi rantai suplai industri.
Perang antara Rusia dan Ukraina menyebabkan peningkatan harga energi dan bahan baku, yang mendorong kenaikan biaya produksi dan menekan industri. Ketika konflik itu belum selesai, muncul ketegangan geopolitik lain baru-baru ini di wilayah Laut China Timur. Kondisi itu akan semakin memengaruhi kinerja industri manufaktur, yang sangat bergantung pada pasokan bahan baku dan komponen dari China.
Untuk saat ini, di tengah kenaikan biaya produksi itu, sejumlah produsen masih menahan kenaikan harga produk jadi olahan di tingkat produsen sehingga inflasi di tingkat konsumen masih relatif terkendali, konsumsi terjaga, dan pertumbuhan ekonomi 5,44 persen pada triwulan II-2022 dapat dicapai. Namun, kondisi ini diperkirakan tak akan lama.
Pada satu titik, produsen di berbagai sektor akan menaikkan harga produk jadi, yang bakal berkontribusi pada meroketnya inflasi, menekan daya beli dan konsumsi rumah tangga, serta melambatkan laju pertumbuhan ekonomi.
Merasa puas dan mensyukuri capaian perekonomian saat ini wajar saja. Namun, jangan sampai angka-angka itu membuat terlena ketika realitasnya sektor manufaktur sebagai penopang fundamental ekonomi negara ini sedang tidak baik-baik saja.