Wirausaha Harus Mampu Ciptakan Lapangan Kerja Baru
Perguruan tinggi juga dipandang perlu mengubah kurikulum agar semakin adaptif dan mampu mendorong terciptanya lebih banyak wirausaha baru.
JAKARTA, KOMPAS — Konsep wirausaha di kalangan masyarakat harus dikaitkan dengan upaya menyejahterakan masyarakat sekitar dan mampu membuka lapangan kerja baru. Konsep wirausaha bukan semata untuk memperkaya diri sendiri.
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Teten Masduki dalam seri “Young Entrepreneur Wanted” di Universitas Warmadewa, Denpasar, Bali, Selasa (9/8/2022), secara hibrida, mengajak para mahasiswa untuk menumbuhkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) socioentrepreneur yang berpola pikir mendirikan usaha dan sekaligus menyejahterakan masyarakat.
Konsep socioentrepreneur sangat relevan diterapkan, ketika seseorang mendirikan usaha agar tidak sekadar ingin memperkaya diri sendiri. Mulai sekarang, wirausaha baru atau calon wirausaha untuk mengubah pola pikir menjadi socioentrepreneur.
Pandangan mengenai wirausaha yang bersifat sosial itu mencuat saat sejumlah mahasiswa berbagi pengalaman menjadi wirausaha pemula. Kemudian, dari berbagi kisah tersebut, mereka dipertemukan dengan wirausaha mapan yang ada di Bali.
”Pola pikir kita harus berubah. Saya sering bertemu para pengusaha besar. Saya pernah mendapati kisah mereka yang berbisnis bukan semata untuk memperkaya diri. Mereka juga ingin membawa kesejahteraan bagi orang di sekitarnya. Ingin menolong orang, membuka lapangan pekerjaan dan lainnya,” ujar Teten.
Teten mengatakan, selama ini, pihaknya sering melakukan kunjungan ke berbagai perguruan tinggi di Indonesia untuk menanamkan pola pikir ini kepada calon pengusaha. Terlebih, saat ini pemerintah sedang berupaya untuk menambah 1 juta wirausahawan baru hingga tahun 2024. Target ini juga akan berkontribusi pada jumlah wirausaha baru di Indonesia menuju visi Indonesia Emas 2045.
”Mengapa perlu ditambah jumlah wirausaha ini? Karena, untuk menjadi negara maju, kita harus punya 10 persen sampai 12 persen pengusaha dari seluruh populasi. Minimumnya, 4 persen. Singapura itu sudah 8,67 persen, Malaysia 4,74 persen, dan Thailand 4,26 persen. Kita baru mencapai 3,18 persen. Karena itu, kami keliling kampus untuk menyiapkan para entrepreneur sebagai persiapan Indonesia menjadi negara maju di 2045,” papar Teten.
Perguruan tinggi juga dipandang perlu mengubah kurikulum agar semakin adaptif dan mampu mendorong terciptanya lebih banyak wirausaha baru. Perguruan tinggi tidak hanya menyiapkan pencapaian gelar sarjana untuk menjadi pegawai pemerintah atau swasta. Mereka perlu disiapkan untuk tidak lagi sebagai pencari kerja, tetapi pencipta lapangan kerja.
Berbagi cerita
Dalam acara ini, para mahasiswa juga mendapatkan cerita sukses dari para pengusaha di Bali, yaitu pemilik toko oleh-oleh Krisna, I Gusti Ngurah Anom atau yang akrab disapa Ajik Krisna, dan pengusaha Niluh Djelantik. Selain itu, dilakukan juga penandatanganan nota kesepahaman antara Universitas Warmadewa dengan Kementerian Koperasi dan UKM tentang pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Ajik mengatakan, sebagai pengusaha yang mulai dari nol, dirinya harus melewati kegigihannya dari sekadar pencuci mobil. Terlahir dari keluarga miskin, biasanya seseorang akan memiliki karakter tahan banting.
Berbekal kegigihan pula, Ajik bekerja di sebuah perusahaan konfeksi di Bali. Untuk bertahan hidup, dia pun mengaku harus mencari tempat tinggal gratisan. Dari pengalaman konfeksi bertahun-tahun, akhirnya bisa membuka toko oleh-oleh Krisna.
Wirausaha tak selalu mendulang kesuksesan. Kepahitan pun dirasakannya. Pandemi Covid-19 tahun 2020 membuat dia terpaksa merumahkan 2.500 karyawannya. Pendapatan berkurang drastis, sementara perawatan toko membutuhkan dana yang tidak sedikit setiap bulan.
Ajik memutuskan pulang kampung. Di kampung, Ajik menanam kacang tanah di lahan yang cukup luas. Hanya butuh empat bulan, kacang sudah bisa dipanen. Dari hasil panenannya, sebagian diberikan kepada masyarakat sekitar, sedangkan sebagian lagi diolah menjadi kacang untuk oleh-oleh.
”Alhasil, penjualan kacang secara online bisa menghasilkan pendapatan Rp 100 juta per bulan,” kata Ajik.
Niluh Djelantik mengatakan, ”Sebelum berpikir tentang omzet, pendapatan, kita perlu bertanya pada diri sendiri, apa yang bisa kita buat untuk negara ini? Tahun 2007, saya kehilang brand. Belajar dari kebodohan masa lalu, itu terjadi karena lupa mendaftarkan merek dagang.”
Menurut Niluh, untuk bisa membuat merek sustainable, seorang wirausaha harus menjaga nama baik diri sendiri. Integritas seseorang akan sangat menentukan perkembangan usahanya.
”Saya selalu sampaikan kepada mahasiswa dan UMKM. Yang akan kita dampingi untuk perkembangan usaha mereka, syaratnya cuma satu, yaitu mereka harus mendaftarkan usaha secara jujur, mulai dari membuat NPWP hingga pembayaran pajak. Saya kalau menerima endorse, bayarannya Rp 7,5 juta hingga Rp 25 juta per posting. Tetapi, khusus untuk UMKM dan mahasiswa, saya diberikan secara gratis,” ujar Niluh.
Rektor Universitas Warmadewa, I Dewa Putu Widjana, menambahkan, pemberian bekal untuk para mahasiswa ini sangat baik untuk dilakukan guna mengubah pola pikir wirausaha. ”Pemberian bekal ini sangat baik untuk memberikan wawasan kepada para mahasiswa agar dapat menjadi pebisnis yang sukses,” ujarnya.
Sementara, Ketua Yayasan Kesejahteraan Korpri Provinsi Bali AA Gede Oka Wisnumurti menuturkan, kurikulum bukan berarti tidak bisa diganggu gugat. Untuk mencetak para pengusaha baru, pendekatan dari sektor pendidikan akan menjadi langkah utama dan sangat krusial.
”Kurikulum jangan dijadikan kitab suci. Mahasiswa bisa hebat, tinggal sentuhan dari kampus agar terbentuk menjadi orang yang memiliki daya tahan,” kata Oka Wisnumurti.