RI Perlu Cermati Sejumlah Persoalan Pangan yang Bakal Muncul
Pemerintah perlu mewaspadai potensi kenaikan harga beras dan ketergantungan terhadap gandum impor. Selain itu, gejolak harga global dan ketidaksinkronan kebijakan pemerintah bisa memengaruhi kesejahteraan petani.
JAKARTA, KOMPAS — Meski tren harga pangan global cenderung turun, Indonesia tetap perlu mencermati sejumlah persoalan pangan yang bakal muncul. Persoalan itu, antara lain, potensi kenaikan harga beras pada Agustus 2022-Januari 2023 dan semakin besarnya ketergantungan terhadap gandum impor.
Selain itu, petani sedang dan bakal terimbas kebijakan pemerintah dan gejolak harga komoditas global. Kondisi itu terutama dialami petani kelapa sawit dan kedelai.
Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University Dwi Andreas Santosa, Selasa (9/8/2022), mengatakan, krisis pangan global tidak akan menyebabkan krisis pangan di Indonesia pada tahun 2022 dan 2023. Krisis tersebut hanya menghambat rantai pasok dan mengerek kenaikan harga pangan yang masih diimpor Indonesia.
”Tren harga komoditas global cenderung turun pada tahun ini dan bakal berlanjut pada 2023. Komoditas utama yang harganya masih bergejolak adalah gandum dan minyak nabati,” ujarnya dalam webinar ”Menangkis Ancaman Krisis Pangan Global” yang digelar Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka) di Jakarta.
Tren harga komoditas global cenderung turun pada tahun ini dan bakal berlanjut pada 2023. Komoditas utama yang harganya masih bergejolak adalah gandum dan minyak nabati.
Dwi Andreas menjelaskan, produksi gandum global memang turun 1 persen dari 778,3 juta ton pada 2021 menjadi 770,3 juta ton pada 2022. Namun, produksi gandum di Kanada dan Australia bakal tetap menopang stok gandum global. Meski cenderung turun, harga gandum akan bertahan tinggi.
Adapun produksi minyak nabati global, termasuk minyak kedelai dan minyak kelapa sawit mentah (CPO), diperkirakan meningkat dari 600,33 juta ton pada 2021/2022 menjadi 643,74 juta ton pada 2022/2023. Meski masih bergejolak, harganya diperkirakan turun hingga tahun 2023.
Baca juga: Era Harga Tinggi Komoditas Global Diprediksi Berakhir
Kendati begitu, lanjut Dwi, pemerintah perlu mencermati dan mengatasi sejumlah persoalan pangan yang sedang dan akan terjadi. Pertama, apabila panen padi musim gadu terganggu, harga beras akan naik tinggi mulai Agustus 2022 hingga Januari 2023.
Kedua, dari tahun ke tahun, ketergantungan Indonesia terhadap gandum impor semakin besar. Pada era 1970-an, proporsi pangan berbasis gandum hampir 0 persen. ”Pada 2010 dan 2020 proporsinya melonjak masing-masing menjadi 18,3 persen dan 26,6 persen. Apabila kecenderungan ini terus terjadi, pada 2050, lebih dari 50 persen kebutuhan pangan pokok kita sudah tergantikan oleh gandum,” katanya.
Menurut Dwi, persoalan lain yang muncul adalah gejolak harga global dan ketidaksinkronan kebijakan pemerintah bisa memengaruhi kesejahteraan petani. Saat ini, harga tandan buah segar kelapa sawit di tingkat petani masih rendah.
Hal itu disebabkan oleh anjloknya harga CPO global. Koreksi tajam harga CPO global itu merupakan akibat kebijakan Pemerintah Indonesia membuka-tutup dan mengakselerasi ekspor CPO dan sejumlah produk turunannya secara besar-besaran.
Bukan hanya petani sawit, petani kedelai juga bakal dirugikan oleh ketidaksinkronan kebijakan pemerintah. Di satu sisi pemerintah menggulirkan program swasembada kedelai, tetapi di sisi lain, bea masuk kedelai impor masih nol persen.
”Apabila harga kedelai impor Rp 7.000 per kg dan kedelai lokal Rp 10.000 per kg, petani pasti bakal enggan menanam kedelai. Oleh karena itu, perlu ada sinkronisasi kebijakan antara Kementerian Pertanian, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Perdagangan,” kata Dwi.
Petani kedelai juga bakal dirugikan oleh ketidaksinkronan kebijakan pemerintah. Di satu sisi pemerintah menggulirkan program swasembada kedelai, di sisi lain, bea masuk kedelai impor masih nol persen.
Baca juga: Dunia Masih Cemas kendati Tren Harga Pangan Turun
Daerah merah
Dalam webinar itu juga terungkap pemerintah telah memetakan ketahanan pangan sejumlah daerah di Indonesia dari sisi pergerakan harga pangan. Pemerintah juga menggulirkan sejumlah strategi peningkatan pangan.
Pelaksana Tugas Deputi Bidang Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan Badan Pangan Nasional (NFA) Risfaheri mengatakan, harga sejumlah bahan pangan di sejumlah daerah di Indonesia masih tinggi. Hal itu terutama terjadi di daerah-daerah yang bukan produsen pangan.
”Neraca pangan daerah tersebut defisit. Harga sejumlah bahan pokok sudah di atas 25 persen dari harga eceran tertinggi (HET) dan harga acuan penjualan (HAP) di tingkat konsumen,” ujarnya.
Berdasarkan data NFA, per 5 Agusutus 2022, banyak daerah di Indonesia masuk kategori waspada (daerah kuning) dan perlu intervensi pangan (daerah merah). Suatu daerah masuk kategori daerah kuning jika harga 5-6 komoditas lebih tinggi 25 persen dari HET dan HAP, sedangkan daerah merah bila lebih dari enam komoditas harganya lebih tinggi 25 persen daei HET dan HAP.
Sejumlah daerah yang masuk daerah merah adalah Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, Kalimantan Utara, dan Kalimantan Selatan. Adapun yang masuk daerah kuning adalah Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Papua Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Jawa Barat, Bengkulu, Sumatera Selatan, Riau, dan Sumatera Utara.
Komoditas yang harganya masih tinggi di daerah-daerah itu, antara lain, kedelai, telur ayam ras, daging sapi, bawang merah, bawang putih, cabai rawit merah, dan cabai merah keriting.
Neraca pangan daerah tersebut defisit. Harga sejumlah bahan pokok sudah di atas 25 persen dari harga eceran tertinggi (HET) dan harga acuan penjualan (HAP) di tingkat konsumen.
Baca juga: Kenaikan Harga Global Tertransmisi di Sejumlah Sektor Domestik
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Serealia Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian (Kementan) Ismail Wahab menuturkan, strategi pembangunan pertanian pemulihan ekonomi nasional (PEN) terus digulirkan. Hal itu mulai dari peningkatan kapasitas produksi, diversifikasi pangan lokal, penguatan cadangan dan sistem logistik pangan, pengembangan pertanian modern, dan gerakan tiga kali ekspor.
Hingga saat ini, Indonesia baru bisa memenuhi kebutuhan beras dari dalam negeri selama tiga tahun berturut-turut tanpa perlu impor beras umum. Sementara untuk jagung konsumsi, kedelai, dan gandum masih bergantung impor.
Menurut Ismail, pemerintah berupaya menyubstitusi jagung pangan impor dengan produksi dalam negeri. Hal itu masih terkendala pengelolaan jagung pascapanen, yaitu membuat jagung tersebut rendah kandungan senyawa beracun bernama aflatoksin.
Namun untuk pemenuhan jagung untuk pakan ternak, Indonesia tidak pernah impor selama tiga tahun terakhir. Pada tahun ini, Kementan juga tidak mengeluarkan rekomendasi ekspor jagung meskipun stok di gudang-gudang pelaku usaha berlimpah. Hal itu untuk menjaga ketersediaan jagung di dalam negeri.
”Untuk memenuhi kebutuhan kedelai, pemerintah telah membuat peta jalan penanaman kedelai hingga 1,5 juta hektar hingga 2026. Produksi kedelai di lahan seluas itu bisa untuk memenuhi kebutuhan kedelai nasional tanpa harus impor,” tuturnya.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N Mande meminta pemerintah membangun sistem data dan ekosistem rantai pasok pangan dari hulu ke hilir yang akurat dan terintegrasi. Basis data yang akurat itu bukan yang berupa indikator atau perkiraan.
”Kami juga berharap, kusutnya rantai distribusi pangan di dalam negeri bisa terurai. Untuk mewujudkan sistem data pangan dan ekosistem rantai pasoknya, serta mengatasi persoalan logistik pangan, dibutuhkan satu ’dirigen’ yang mampu mengorkestrasi pangan nasional,” kata Roy.
Baca juga: Fenomena ”Lunchflation”