Penggelaran layanan 5G di Asia Pasifik tengah berjalan, tetapi belum semua negara melakukannya. GSMA menyebut masih ada masalah penetrasi pengguna. Operator perlu mengatasi, selain tetap bertransformasi digital.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Teknisi melakukan perawatan rutin base transceiver station (BTS) milik salah satu operator telekomunikasi di kawasan Cempaka Putih, Jakarta, Selasa (15/6/2021). Kemenkominfo mencatat, 12.548 desa di Indonesia belum menikmati layanan sinyal 4G LTE. Dari jumlah itu, 9.113 desa di antaranya termasuk desa tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) yang pembangunannya menjadi tanggung jawab Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi Kemenkominfo sampai 2022. Sedangkan desa sisanya menjadi tanggung jawab enam operator telekomunikasi yang beroperasi di Indonesia.
Dalam laporan The Mobile Economy Asia Pacific 2022 yang dirilis Juli 2022, jaringan telekomunikasi seluler 3G, 4G, dan 5G telah menjangkau 96 persen populasi di kawasan Asia Pasifik. Global System for Mobile Communications Association menilai ini sebagai bukti investasi yang digelontorkan operator telekomunikasi seluler untuk pembangunan jaringan semakin meningkat dalam satu dekade terakhir.
Pada akhir tahun 2021, jumlah pengguna layanan telekomunikasi seluler di Asia Pasifik melebihi 1,2 miliar orang atau masih kurang 45 persen dari total populasi. Hal ini berarti lebih dari setengah populasi sebenarnya telah tercakup oleh jaringan pita lebar telekomunikasi seluler, tetapi belum berlangganan layanan. Dengan kata lain, masih ada kesenjangan penggunaan.
Head of Asia Pacific Global System for Mobile Communications Association (GSMA) Julian Gorman saat diwawancarai lewat sambungan telepon pada pekan lalu menilai, Asia Pasifik merupakan kawasan dengan kondisi sangat beragam, mulai dari geografis, ekonomi, hingga budaya. Tiga tahun lalu, Korea Selatan meluncurkan layanan jaringan 5G dan menjadi negara yang pertama kali merilis 5G. Akan tetapi, pada saat bersamaan, terdapat negara berpenduduk besar, seperti India dan Indonesia, juga negara berbentuk kepulauan kecil di Asia Pasifik, baru saja mulai atau bahkan baru berencana meluncurkan layanan 5G.
Indonesia, secara khusus, tercatat sebagai negara yang memiliki perkembangan pesat untuk penggelaran layanan 4G jika dibanding negara lain di kawasan. Pada 2021, sesuai data GSMA, tingkat keterjangkauan jaringan seluler 4G mencapai 77 persen dan diperkirakan menjadi 82 persen pada akhir 2025. Adopsi ponsel pintar tercatat sebesar 80 persen pada akhir 2021.
Julian berpendapat, operator telekomunikasi bersama pemangku kepentingan di ekosistem ekonomi digital, seperti pemerintah, semestinya duduk bersama untuk mencari jalan keluar mengatasi tantangan tersebut. Sebab, ada kemungkinan masih ada faktor yang menyebabkan kesenjangan pengguna, yaitu ongkos mengakses gawai.
Di tengah 5G sudah mulai banyak diluncurkan di sejumlah negara, kata Julian, operator telekomunikasi seluler di setiap negara semestinya menyadari bahwa 5G bukan ajang kompetisi. Operator seharusnya tidak berlomba-lomba siapa yang lebih dulu meluncurkan layanan telekomunikasi seluler 5G. Pemerintah perlu mendukung iklim inovasi teknologi digital yang berkelanjutan di samping menyediakan spektrum frekuensi yang dibutuhkan untuk penggelaran layanan 5G.
Operator seharusnya tidak berlomba-lomba siapa yang lebih dulu meluncurkan layanan telekomunikasi seluler 5G.
Mengutip laporan GSMA The Mobile Economy Asia Pacific 2022, pada akhir 2021, penetrasi keterjangkauan 4G mencapai 62 persen dari populasi, 3G sebesar 16 persen, 2G sebesar 20 persen, dan 5G sebesar 2 persen. GSMA memprediksi, pada akhir tahun 2025, penetrasi 4G akan mencapai 69 persen, 3G sebesar 8 persen, 2G sebesar 9 persen, dan 5G sebesar 14 persen.
Performa industri
Pada 2021, industri teknologi dan layanan telekomunikasi seluler menghasilkan 5 persen dari produk domestik bruto (PDB) di seluruh Asia Pasifik. Sektor industri ini berkontribusi menghasilkan nilai tambah ekonomi lebih dari 770 miliar dollar AS.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Seorang siswi sekolah dasar mengikuti pembelajaran jarak jauh daring dari rumahnya di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (3/8/2021). Sudah baiknya infrastruktur telekomunikasi menyebabkan sistem pengajaran jarak jauh dapat berlangsung dengan lancar.
Pertumbuhan pendapatan operator telekomunikasi seluler diperkirakan pulih dari pandemi Covid-19 mulai tahun 2022. Meski demikian, sebagian besar operator telekomunikasi seluler akan membukukan pendapatan dengan tingkat pertumbuhan yang datar hingga 2025 karena tekanan persaingan.
Menanggapi hal itu, Julian berpendapat, operator telekomunikasi seluler perlu terus mentransformasikan diri mereka tidak lagi sekadar menjadi perusahaan telekomunikasi, tetapi juga menjadi perusahaan teknologi digital. Di tengah kemunculan teknologi 5G, bisnis telekomunikasi akan semakin mengarah ke berbasis komputasi awan. Infrastruktur jaringan telekomunikasi akan semakin menjadi pilar yang mendukung inovasi aplikasi, seperti buatan para perusahaan rintisan bidang teknologi (start up).
Hasil penelitian GSMA Intelligence menunjukkan, pendapatan inti operator telekomunikasi seluler, seperti telepon dan layanan pesan pendek, sedang stagnan atau menurun. Operator yang mengalami pertumbuhan pendapatan yang lebih tinggi di luar inti bisnis tersebut bakal mempunyai kinerja keseluruhan (konsolidasi) yang kuat.
Sementara itu, Direktur Utama PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) Hendri Mulya Syam menyampaikan, pihaknya telah menyelesaikan pengalihan kepemilikan 6.000 unit menara pemancar kepada PT Dayamitra Telekomunikasi (Mitratel). Penjualan menara pemancar Telkomsel kepada Mitratel sudah dilakukan sejak 2020. Hingga kini, total menara telekomunikasi yang sudah dijual tercatat 16.050 unit.
Direktur Utama Mitratel Theodorus Ardi Hartoko menyampaikan, dengan adanya tambahan 6.000 unit menara pemancar itu, pihaknya memiliki modal yang semakin kuat untuk berekspansi. Alat produksi perusahaan bertambah dan mampu mendukung akselerasi penggelaran jaringan 5G di Indonesia.