Pemerintah berencana mengganti sistem kontrak penangkapan ikan terukur berbasis kuota dengan sistem perizinan khusus.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana penerapan sistem kontrak penangkapan ikan terukur akhirnya dibatalkan. Sebagai gantinya, Kementerian Kelautan dan Perikanan akan menggulirkan perizinan penangkapan ikan terukur berbasis kuota, dengan jangka waktu izin 15 tahun.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Muhammad Zaini Hanafi mengemukakan, pemerintah siap melakukan uji coba perizinan khusus penangkapan ikan terukur berbasis kuota mulai pertengahan Agustus 2022. Perizinan khusus ini diterapkan menyusul pembatalan sistem kontrak penangkapan ikan terukur.
Ia menambahkan, pemerintah tidak bisa menerapkan sistem kontrak untuk pemanfaatan sumber daya alam. Oleh karena itu, pihaknya sedang menyiapkan sistem perizinan khusus penangkapan ikan terukur berbasis kuota. Jangka waktu perizinan khusus itu 15 tahun, sehingga investor sektor perikanan memiliki kepastian usaha, termasuk memperhitungkan titik impas (BEP) investasi di sektor perikanan.
”Tujuannya memberikan kepastian bagi pelaku usaha perikanan,” kata Zaini, saat dihubungi, Minggu (7/8/2022).
Zaini menambahkan, skema perizinan khusus penangkapan ikan terukur hampir menyerupai sistem kontrak, akan tetapi tidak ada skema penandatanganan kontrak antara pemerintah dan pelaku usaha dalam pemanfaatan sumber daya ikan. Alokasi jumlah kapal per jenis alat tangkap yang diberikan akan dialihkan ke alokasi kuota tangkapan ikan. Sistem penarikan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) juga beralih dari pra produksi ke pasca produksi.
Penerapan perizinan khusus penangkapan ikan terukur mulai pertengahan Agustus 2022 akan dilakukan bertahap. Tahap awal mulai dilaksanakan pada tiga pelabuhan, yakni Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Tual, PPN Ternate, dan PPN Kejawanan. Saat ini, pemerintah telah menyiapkan 140 timbangan elektronik, dan memesan tambahan 400 timbangan elektronik.
”Pada tahap awal, (perizinan khusus) ini diberlakukan untuk kapal-kapal besar yang memperoleh izin pemerintah pusat,” lanjut Zaini.
Zona industri perikanan yang menerapkan kuota penangkapan ikan meliputi empat zona di tujuh wilayah pengelolaan perikanan (WPP), yakni WPP 718, WPP 711 (Laut Natuna dan Laut China Selatan), WPP 716 (Laut Sulawesi), dan WPP 717 (Teluk Cendrawasih dan Samudra Pasifik). Selain itu, ada WPP 715 (Laut Maluku dan Laut Halmahera) serta WPP 572 (Samudra Hindia sebelah barat) dan WPP 573 (Samudra Hindia sebelah selatan Jawa hingga Nusa Tenggara).
Zaini menambahkan, perusahaan yang akan masuk berinvestasi diwajibkan mengajukan alokasi kuota tangkapan dan mengikuti beauty contest. Setelah mendapatkan alokasi kuota tangkapan per tahun, baru mengurus prosedur surat izin usaha penangkapan (SIUP). Adapun industri penangkapan ikan yang sudah memiliki SIUP dengan alokasi kapal akan dikonversi ke alokasi kuota tangkapan.
”Kuota tangkapan tetap menjadi kontrol utama dalam rangka pengendalian sumber daya. Perusahaan yang sudah mencapai kuota tangkapan ikan sebelum akhir tahun, wajib berhenti melakukan kegiatan penangkapan,” kata Zaini.
Ia mengakui, pelaku usaha perikanan saat ini sudah memiliki SIUP dengan jangka waktu 30 tahun. Namun, perizinan khusus memberikan kepastian lebih kepada pelaku usaha dalam berinvestasi. Kerap terjadi, investor perikanan yang mau masuk diliputi keraguan akan kepastian iklim investasi, terutama dengan adanya pergantian rezim pemerintahan.
Secara terpisah, Sekretaris Asosiasi Tuna Indonesia (astuin) Jakarta Muhammad Bilahmar mengemukakan, belum ada kejelasan mekanisme perizinan khusus, termasuk mekanisme tarif. Selama ini, pelaku usaha perikanan yang memiliki SIUP memperoleh alokasi kapal per jenis alat tangkap, serta diwajibkan membayar pungutan pengusahaan perikanan (PPP) per GT kapal sesuai jenis alat tangkap.
”Kalau sekarang alokasi berdasarkan kuota, perlu dijelaskan mekanisme perhitungan tarifnya,” katanya.
Ia menilai, pemberlakuan SIUP hingga 30 tahun selama ini cukup memberikan kepastian berusaha bagi pelaku usaha perikanan nasional. Sebaliknya, ketidakpastian justru dirasakan investor asing kapal perikanan tangkap karena regulasi terkait kapal perikanan milik pemodal asing yang kerap berubah-ubah seiring pergantian rezim.
Dicontohkan, pada 2003 pemerintah pernah mengizinkan kapal perikanan asing dengan bendera asing untuk beroperasi di Indonesia, tetapi pada 2006 investasi asing di kapal perikanan wajib berbentuk penanaman modal asing (PMA). Tahun 2014, pemerintah melarang penuh kapal-kapal perikanan buatan luar negeri (eks asing).
Bilahmar menyoroti kelemahan utama kebijakan perikanan tangkap selama ini justru pada pengawasan, sehingga memicu eksploitasi berlebih. Penerapan kuota tangkapan tidak bisa menjamin kepastian, karena kuota tangkapan harus dievaluasi berdasarkan stok sumber daya.