Pensiun Dini dan Pembatalan Proyek PLTU Butuh Kompensasi Biaya yang Besar
Aneka upaya penghentian operasional pembangkit listrik tenaga uap, termasuk pensiun dini dan pembatalan proyek yang belum konstruksi, diyakini mengandung konsekuensi biaya yang besar.
Oleh
MEDIANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aneka upaya penghentian operasional pembangkit listrik tenaga uap, termasuk pensiun dini dan pembatalan proyek yang belum konstruksi, diyakini mengandung konsekuensi biaya yang besar. Walaupun pada saat bersamaan, penutupan PLTU akan berdampak positif ke pengurangan emisi karbon hingga perkembangan pembangkit listrik energi terbarukan.
Laporan riset ”Financing Indonesia’s Coal Phase Out: A Just and Accelerated Retirement Pathway to Net-Zero (2022)” yang dikerjakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Center for Global Sustainability (CGS) di University of Maryland serta didukung oleh Bloomberg Philanthropies menunjukkan, Indonesia dapat mempercepat penghentian pengoperasian PLTU batubara pada 2045 dengan dukungan internasional. Biaya pensiun PLTU diperkirakan 4,6 miliar dollar AS hingga 2030 dan 27,5 miliar dollar AS hingga 2050.
”Sekitar dua pertiga dari biaya itu berkaitan dengan pembangkit Independent Power Producer (IPP) dan sepertiga dengan pembangkit PLN. Biaya di muka yang besar untuk pensiun memerlukan dukungan internasional yang substansial,” ujar Salah satu penulis laporan riset Assistant Research Professor University of Maryland, Ryna Yiyun Cui, yang hadir saat peluncuran laporan, Rabu (3/8/2022), di Jakarta.
Para peneliti menggunakan model penilaian terintegrasi global, model analisis perubahan global (global change analysis model/GCAM) untuk mengembangkan opsi penghentian PLTU yang tepat dan sejalan dengan pencapaian net-zero emisi CO2 di Indonesia pada 2050 ataupun menjaga perubahan suhu dalam 1,5 derajat celsius secara global.
Ryna mengatakan, selama penelitian, temuan analisis mereka yang muncul adalah Indonesia harus menghentikan operasi 72 PLTU, yang dimulai dengan mengurangi pembangkit listrik sebesar 11 persen selama delapan tahun ke depan. Selanjutnya, Indonesia harus meningkatkan jumlah PLTU yang dipensiunkan menjadi 90 persen sebelum tahun 2040.
Sebanyak 72 PLTU yang dimaksud merupakan PLTU yang berada di wilayah kerja PLN. Artinya, PLTU bisa dimiliki oleh PLN atau IPP yang telah mengantongi perjanjian jual beli dengan PLN.
”Penghapusan PLTU yang dipercepat akan bermanfaat secara ekonomi dan sosial. Subsidi listrik dari PLTU dan biaya kesehatan dapat terus dikurangi,” katanya. Penghapusan bertahap batubara yang dipercepat dapat mengurangi CO2 kumulatif sebesar 341 MtCO2 hingga 2030 dan 2.297 MtCO2 hingga 2050.
Dalam laporan juga ditulis, apabila opsi yang diambil adalah membatalkan 11 PLTU (8,7 GW) yang belum memulai konstruksi dan diikuti menghentikan 8 GW PLTU yang telah mencapai masa pakai 30 tahun, opsi ini akan berdampak signifikan terhadap emisi. Peneliti menemukan, emisi PLTU akan dibatasi menjadi 216 MtCO2e dari 184 MtCO2.
Hingga Mei 2022, Indonesia memiliki 86 PLTU yang beroperasi dengan total kapasitas terpasang 40,2 gigawatt (GW). Dari jumlah itu, 26 pembangkit (12,5 GW) dimiliki oleh PT PLN (Persero), 32 pembangkit (18,5 GW) dimiliki oleh IPP, dan sisanya adalah pembangkit listrik off-grid captive.
PLTU di Indonesia relatif berusia muda karena dengan 75 persen dari total PLTU yang ada itu dibangun setelah tahun 2005. Kemudian, kapasitas total diperkirakan akan meningkat dengan tambahan proyek sedang berjalan, yaitu 19 proyek baru (10,8 GW, 11 pembangkit baru, dan 8 proyek perluasan) sedang dibangun, tiga proyek (1,5 GW) telah menandatangani perjanjian jual beli listrik (PPA), dan 11 proyek (8,7 GW) dalam tahap pengembangan awal. Sebagian besar pembangkit PLN dan IPP berlokasi di Jawa-Bali dan Sumatera.
Saat bersamaan, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Andriah Feby Misna menegaskan, pensiun dini PLTU telah menjadi perhatian pemerintah. Namun, detail waktu pelaksanaannya sedang dikaji. Pihaknya sekarang sedang menyusun peta jalan pensiun dini PLTU.
”Kebutuhan pembiayaan pensiun dini cukup besar. Dana pemerintah terbatas sehingga pemerintah mungkin hanya bisa menjadi katalis. Kami mendorong skema pembiayaan campuran pemerintah-swasta,” ujarnya.
Menurut Feby, pada saat puncak kegiatan Energy Transition Working Group G20, rencananya pemerintah akan mengumumkan paling tidak satu proyek percontohan PLTU yang akan dipensiunkan. Dia tidak menyebut detail kapasitas ataupun lokasi PLTU. Sebagai gantinya, dia menyebut pemerintah sudah melakukan kajian dan simulasi.
Dia menyebut lebih dari 60 persen porsi pembangkit listrik di Indonesia merupakan PLTU. Apabila membatalkan proyek PLTU yang belum memulai konstruksi, Indonesia sebenarnya mampu mempercepat kenaikan porsi pembangkit listrik energi terbarukan.
”Pembangkit listrik energi terbarukan setiap tahunnya bertambah. Pada saat bersamaan, daya PLTU yang masuk juga besar sehingga porsi pembangkit listrik energi terbarukan jadi tertekan,” katanya.
Director of Finance and Risk Managament PT PLN (Persero) Sinthya Roesly mengatakan, dengan atau tanpa instruksi pemerintah untuk pensiun dini PLTU, PLN akan selalu memperhatikan kondisi keuangan dan fokus pada lingkungan berkelanjutan. PLN berusaha mengatasi tantangan kelebihan pasokan daya dari PLTU, seperti yang tengah terjadi sekarang. Harapannya, ketika pembangkit listrik energi terbarukan masuk, tidak akan menambah tantangan kelebihan pasokan.
”Kami telah menyiapkan pusat kontrol di Jawa dan Bali untuk menyerap pembangkit listrik energi terbarukan,” katanya.
Menurut dia, PLN telah negosiasi dengan sejumlah IPP. Di antara IPP ingin berkontribusi dengan menunda operasional (commercial operation date/COD). Tantangannya yaitu konsekuensi legal dan distribusi listrik dari kontrak jual beli yang telah ditandatangani. Tantangan lainnya yaitu potensi dampak pada iklim investasi di Indonesia jika kontrak jual beli yang telah ditandatangani itu diubah ataupun dibatalkan serta dampak aset dan keuangan PLN terhubung ke negara.
”Kapasitas daya listrik PLTU PLN dan IPP menempati urutan kesembilan di dunia. Kita perlu melihat juga bagaimana negara lain— yang memiliki PLTU lain lebih besar dari Indonesia —berupaya menurunkan emisi karbon,” tuturnya.