Stabilitas Rupiah Relatif Terjaga di Tengah Agresivitas The Fed Naikkan Suku Bunga
Kenaikan suku bunga The Fed secara berturut-turut selama periode Mei-Juli ternyata tidak berdampak signifikan terhadap stabilitas nilai tukar rupiah.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve atau biasa disebut The Fed, secara berturut-turut selama periode Mei-Juli ternyata tidak berdampak signifikan terhadap stabilitas nilai tukar rupiah. Daya tahan perekonomian Indonesia dinilai cukup kuat.
Sepanjang tahun ini, The Fed telah menaikkan suku bunga sebesar 225 basis poin (bps) yakni pada Maret, Mei, Juni, dan Juli. Saat ini suku bunga The Fed berada pada kisaran 2,25-2,5 persen. Langkah agresif tersebut diambil otoritas moneter AS untuk mengendalikan inflasi yang terus melonjak.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah Redjalam mengatakan, kenaikan suku bunga The Fed yang agresif rupanya tidak berdampak signifikan terhadap stabilitas nilai tukar rupiah. Meski sempat terdepresasi menembus level psikologis Rp 15.000 selama beberapa kali pada Juli 2022, kini rupiah sudah kembali di kisaran Rp 14.800-Rp 14.900.
”The Fed sudah menaikkan suku bunga beberapa kali dalam beberapa bulan, tetapi ternyata nilai tukar kita tidak terdepresiasi terlalu dalam. Tekanan depresiasi memang ada, tetapi ternyata bisa ditangani BI dengan intervensi,” ujar Piter yang dihubungi Rabu (3/8/2022).
Menurut Piter, hal ini salah satunya karena dana asing yang bersifat jangka pendek (hot money) di pasar surat berharga negara (SBN) cenderung menyusut. Mengutip data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, sampai dengan 2 Agustus 2022, kepemilikan asing di SBN sebesar 15,52 persen. Dengan demikian, arus modal keluar (capital outflow) akibat kenaikan suku bunga The Fed relatif kecil.
Dampaknya, depresiasi rupiah lebih kecil dibandingkan mata uang negara-negara berkembang lainnya. Sejak awal tahun sampai 20 Juli 2022, rupiah terdepresiasi 4,9 persen, lebih rendah ketimbang ringgit Malaysia yang sebesar 6,41 persen, rupee India yang sebesar 7,07 persen, dan Thailand yang sebesar 8,88 persen.
Piter menambahkan, cadangan devisa Indonesia masih dalam posisi yang baik untuk menjaga stabilitas nilai tukar. Sampai dengan 30 Juni 2022, posisi cadangan devisa sebesar 136,37 miliar dollar AS. Nilai ini setara dengan pembiayaan 6,6 bulan impor atau 6,4 bulan impor dan pembiayaan utang luar negeri pemerintah. Nilai ini juga di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Selain itu, Piter menilai, Indonesia juga diuntungkan oleh lonjakan ekspor yang dipicu kenaikan harga komoditas. Lonjakan ekspor ini mendorong surplus neraca perdagangan dan mempertebal cadangan devisa Indonesia.
Piter memperkirakan, suku bunga The Fed tidak akan naik lebih tinggi lagi. Sebab, perekonomian AS sedang masuk jurang resesi seiring terjadinya kontraksi ekonomi dalam dua triwulan berturut-turut, yakni minus 1,6 persen pada triwulan I-2022 dan 0,9 persen pada triwulan II-2022.
Karena resesi, lanjut Piter, The Fed tidak akan lagi menaikkan suku bunga. Sebab, pemerintah AS pasti ingin membawa perekonomiannya kembali ke jalur pertumbuhan positif. Suku bunga yang terlampau tinggi justru akan menghambat pemulihan ekonomi AS.
Inflasi
Mengenai inflasi di dalam negeri yang terus melonjak, Piter menilai, hal itu lebih banyak didorong oleh naiknya harga produksi (cost push), ketimbang kenaikan permintaan (demand pull). Kenaikan harga produksi dipicu oleh terhambatnya pasokan sejumlah bahan pokok dan imported inflation akibat tingginya harga energi dan pangan di tingkat global.
Dengan demikian, pengendalian inflasi yang terjadi saat ini kurang tepat apabila menggunakan instrumen suku bunga. Sejauh ini pemerintah menggunakan instrumen subsidi untuk mengendalikan inflasi di sektor energi. Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) juga terus berkoordinasi untuk mengendalikan harga pangan bergejolak.
Piter memperkirakan Bank Indonesia masih percaya diri untuk mempertahankan suku bunga acuannya pada Agustus ini.
”Melihat inflasi Indonesia yang lebih rendah dari negara lain dan relatif terkendali, nilai tukar yang relatif terjaga, dan porsi kepemilikan modal asing di SBN yang tidak terlalu besar, saya kira BI masih akan tetap mempertahankan nilai suku bunga acuannya pada Agustus ini,” ujar Piter.
Dihubungi secara terpisah, ekonom Makro Ekonomi dan Pasar Keuangan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia Teuku Riefky punya pandangan berbeda. Menurut dia, dengan inflasi umum yang terus meningkat dan sudah melewati batas atas dan inflasi inti yang kian mendekati batas atas, BI perlu menaikkan suku bunga acuan.
Mengutip data Badan Pusat Statisk (BPS), inflasi umum Juli sebesar 0,64 persen, meningkat dibandingkan Juni yang 0,61 persen. Inflasi umum tahun berjalan Juli 2022 sebesar 3,85 persen dan inflasi tahunan 4,94 persen. Adapun target inflasi tahun ini berada di kisaran 2-4 persen.
Sementara itu, inflasi inti Juli sebesar 0,28 persen, inflasi inti tahun berjalan Juli 2022 sebesar 2,11 persen dan inflasi inti tahunan sebesar 2,86 persen.
Menurut dia, BI hanya perlu menentukan waktu yang tepat saja untuk menaikkan suku bunga acuan. ”Perlu waktu yang tepat untuk menaikkan suku bunga secara perlahan agar tidak mengganggu daya beli,” ujar Riefky.
Dalam rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) awal pekan ini, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menegaskan, sepanjang inflasi inti terjaga rendah, otoritas moneter akan tetap mempertahankan suku bunga acuan di level 3,5 persen. ”Dasar utama penetapan suku bunga adalah bagaimana perkiraan inflasi inti ke depan dan keseimbangannya dengan pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, tidak otomatis kalau negara lain naik, maka BI juga naik,” ujar Perry.
Perry mengatakan, kebijakan moneter tidak hanya mengatur besaran suku bunga, tetapi juga menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan mengelola likuiditas. Bank sentral kini mulai mengurangi likuiditas melalui kenaikan giro wajib minimum (GWM) untuk menjaga stabilitas nilai tukar tanpa mengganggu kemampuan perbankan dalam menyalurkan kredit.