Produksi Bertumpu di Jawa, Antisipasi Risiko di Masa Depan
Hingga kini produksi sejumlah bahan pangan masih bertumpu di Pulau Jawa yang makin menghadapi tekanan berat seiring perkembangan penduduk dan industri. Indonesia perlu mengantisipasi kerawanan pangan di masa depan.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Buruh tani mulai kembali menanam bibit padi untuk memasuki musim tanam pertama di sekitar Kecamatan Karangtengah, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Senin (2/11/2015).
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia dinilai perlu mengantisipasi risiko kerawanan pangan di tengah segenap kendala produksi di hulu dan peningkatan kebutuhan seiring pertumbuhan penduduk. Apalagi hingga kini produksi sejumlah bahan pangan pokok masih bertumpu di Pulau Jawa yang menjadi pulau terpadat penduduknya di Indonesia.
Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB University Ernan Rustiadi mengatakan, dari tahun ke tahun, jumlah manusia di dunia terus bertambah. Sejalan dengan penambahan jumlah penduduk, kebutuhan pangan pun terus meningkat, tak terkecuali di Indonesia yang memiliki 270,2 juta jiwa menurut hasil sensus penduduk tahun 2020.
”Masalahnya, di Indonesia, produksi pangan tertumpu di Pulau Jawa, sedangkan daya dukungya semakin terbatas, salah satunya karena perubahan iklim yang membuat (menambah risiko) kerawanan pangan,” kata Ernan dalam webinar ”Antisipasi Kerawanan Pangan di Pulau Jawa” oleh Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, Selasa (2/8/2022).
Ernan menambahkan, Indonesia yang tidak mengimpor beras medium dalam 2,5 tahun terakhir perlu diapresiasi. Namun, jika dilihat secara menyeluruh, hal itu tak serta-merta membuat ketersediaan pangan aman. Sebab, di sisi lain, pemenuhan kebutuhan bahan pangan lain, seperti gandum, masih ditunjang impor. Oleh karena itu, berbagai mitigasi perlu dilakukan guna menghindari kerawanan pangan berkait dengan permintaan dan penawaran.
Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University Edi Santosa menuturkan, terdapat sejumlah persoalan pada on farm (produksi di lahan). Persoalan itu antara lain biaya produksi yang semakin tinggi, sulitnya diversifikasi karena ketiadaan pasar, ketergantungan petani pada tengkulak, keterbatasan akses modal petani, daya dukung yang melemah, hingga pasar masih terfokus pada padi.
Pada off farm (pascapanen), sejumlah masalah mesti diselesaikan, seperti disparitas harga dengan luar negeri yang semakin lebar serta marjinalisasi pangan lokal. Selain itu, komitmen pemerintah daerah yang masih beragam dan stabilitas harga yang tak berujung.
Kesejahteraan petani juga menjadi isu yang belum terselesaikan selama ini. ”Sangat mendasar bahwa para pelaku pertanian kita belum sejahtera. Ada yang sudah, tetapi pelaku tanaman pangan kita, NTP (nilai tukar petani)-nya masih di bawah harapan. Lalu, lebih dari 60 persen rumah tangga petani adalah net consumer. Jadi, setiap ada kenaikan harga produk pertanian, jutru membebani mereka,” ujar Edi.
Di sisi lain, Indonesia sebenarnya memiliki banyak sumber daya karena merupakan negara terbesar ketiga di dunia yang memiliki keanekaragaman hayati pangan. Namun, jenis pangan yang berkembang masih sangat terbatas. Dengan demikian, pemanfaatan berbagai jenis pangan dapat dioptimalkan guna mengantisipasi kerentanan cuaca pada tanaman tertentu.
Menurut Global Food Security Index atau Indeks Ketahanan Pangan oleh The Economist Impact, Indonesia ada di peringkat ke-69 dari 113 negara. Peringkat tersebut menurun dari tahun sebelumnya, yakni di peringkat ke-65.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (PISPI) Kamhar Lakumani mengatakan, berbicara tentang Pulau Jawa, lahan menjadi modal dasar bagi petani. Lahan selama ini menjadi persoalan yang rumit karena tingginya konversi lahan dari sektor pertanian ke nonpertanian, baik untuk pemukiman maupun untuk industri.
Sejumlah regulasi yang ada selama ini, menurut dia, lemah dalam implementasi. Oleh karena itu, kehadiran Badan Pangan Nasional dinanti langkah nyatanya ke depan. ”Namun, ini bukan urusan satu sektor atau lembaga saja, tetapi semua harus berperan karena menyangkut kebutuhan paling dasar. Itu agar tujuan Indonesia yang berdaulat pangan tercapai,” katanya.
Sebelumnya, terkait ketersediaan pangan, Kepala Badan Pangan Nasional (National Food Agency/NFA) Arief Prasetyo Adi mengatakan, sesuai Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2021, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian BUMN ada pendelegasian kewenangan kepada NFA. Koordinasi lintas kementerian/lembaga terus dilakukan.
Namun, masih diperlukan penyesuaian atau revisi sejumlah peraturan lain. ”(Nantinya) Jumlah cadangan pangan pemerintah ditentukan Badan Pangan Nasional. Misalnya untuk kebutuhan 29,5 juta-30 juta ton beras per tahun, berapa cadangan pemerintah yang harus dikuasai, harga yang diserap dari petani dan harga untuk dilepas ke masyarakat,” ujar Arief, pekan lalu.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Warga Sunda Wiwitan menumbuk padi saat perayaan Seren Taun 22 Rayagung 1955 Saka Sunda di Kelurahan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Jumat (22/7/2022). Masyarakat mengumpulkan 22 kuintal gabah hasil panen. Sebanyak 20 kuintal, di antaranya ditumbuk secara tradisional sedangkan 2 kuintal disiapkan sebagai bibit.
Tata kelola jagung
Salah satu upaya menjaga ketersediaan pangan yang ditempuh oleh NFA adalah dengan memperbaiki tata kelola jagung, yakni dengan menjaga stabilitas harga di tingkat produsen serta penguatan peran BUMN dalam menjamin serapan panen. Sebab, pada akhirnya, harga jagung yang baik di tingkat produsen bakal memotivasi petani meningkatkan produksi.
Arief mengemukakan, pihaknya telah berkoordinasi dengan semua pemangku kepentingan jagung nasional. Itu dalam rangka membangun keseimbangan hulu-hilir melalui penetapan harga acuan pembelian atau penjualan (HAP) jagung, telur, dan ayam. Besaran nilai yang ditetapkan, untuk tingkat peternak dan masyarakat, berdasarkan harga pokok produksi.
Selain itu, stabilisasi harga dari hulu ke hilir menjadi perhatian. ”Offtaker hasil panen oleh BUMN akan dilakukan Perum Bulog dan ID Food sebagai Holding (induk) BUMN Pangan. Penguatan konektivtas antarwilayah juga penting sehingga perlu revitalisasi pelabuhan di sentra produksi dan optimalisasi trayek tol laut,” ujar Arief, dalam keterangan tertulis, Senin (1/8/2022).
NFA memastikan stok jagung pakan nasional hingga akhir 2022 aman. Hingga September 2022, stok jagung mencapai 2,7 juta ton dan pada akhir 2022 diperkirakan surplus 2,8 juta ton. Adapun menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Pertanian, produksi jagung nasional meningkat dari 22,6 juta ton pada 2019, menjadi 22,9 juta ton pada 2020, dan 23 juta ton pada 2021.