Masih banyak aspek legal culture yang harus diperbaiki dan dibangun ulang secara matang oleh pemerintah untuk menyikapi bisnis digital yang berkembang pesat. Koordinasi antarkementerian/lembaga amat diperlukan.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
KRIS - BIRO PERS SEKRETARIAT PRESIDEN
Presiden Jokowi saat meresmikan Sea Labs Indonesia di Gedung Pacific Century Place, SCBD, Jakarta, pada Selasa (1/3/2022).
Akhir pekan lalu, tagar #BlokirKominfo memuncaki daftar trending topic worldwide Twitter. Hal ini dipicu sorotan warganet atas pemblokiran platform Steam, Epic Games Store, PayPal, Counter Strike, dan Dota oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika karena tidak kunjung menunaikan kewajiban mendaftar sebagai penyelenggara sistem elektronik privat.
Sebelumnya, menjelang tenggat pendaftaran penyelenggara sistem elektronik (PSE) privat yang sudah lama beroperasi, yakni 20 Juli 2022, sejumlah organisasi masyarakat sipil gencar menyampaikan kritik. SAFEnet, misalnya, merilis petisi yang menolak penerapan Peraturan Menkominfo (Permenkominfo) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Permenkominfo No 5/2020 tentang Penyelenggaraan Sistem Elektronik Lingkup Privat. Sanksi blokir jika PSE privat tidak mendaftar dianggap mengganggu hak akses dan hak kebebasan berekspresi.
Sementara itu, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) memprotes substansi pengawasan yang terkandung dalam Permenkominfo No 5/2020. Beleid ini dinilai
membolehkan kementerian/lembaga dan aparat penegak hukum meminta akses sistem elektronik demi kepentingan pengawasan. Elsam juga melihat tak ada kewajiban untuk meminta surat penetapan pengawasan dari pengadilan negeri.
Kebijakan wajib pendaftaran PSE privat sebenarnya merupakan itikad baik pemerintah untuk melindungi konsumen dan membangun ekosistem internet sehat. Akan tetapi, pada saat bersamaan, apa yang ditakutkan sejumlah warganet ataupun organisasi masyarakat sipil cukup beralasan.
Belum proporsional
Harus dipahami bahwa kewajiban mendaftar mengharuskan PSE privat patuh terhadap ketentuan regulasi yang berkaitan dengan PSE. Artinya, PSE privat bukan hanya harus tunduk pada Permenkominfo No 5/2020 beserta perubahannya, melainkan juga regulasi di atas permenkominfo ini. Misalnya, Peraturan Pemerintah (PP) No 71/2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik serta Undang-Undang (UU) No 19/2016 tentang Perubahan atas UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Masuk akal jika kemudian muncul keengganan sejumlah PSE privat, terutama asing yang memiliki pangsa pasar di Indonesia, untuk mendaftarkan dirinya. Ada dugaan, mereka yang enggan mendaftar itu karena hanya ingin mengeruk keuntungan dari pasar internet Indonesia yang besar.
Namun, kita semestinya perlu kritis apakah legal culture di balik pembuatan Permenkominfo No 5/2020 beserta perubahannya ataupun regulasi PSE lainnya sudah proporsional? Tampaknya belum. Untuk konteks pendaftaran PSE saja, Pasal 47 Permenkominfo No 5/2020 mengamanatkan wajib pendaftaran enam bulan sejak beleid ini berlaku, yaitu 24 Mei 2021, tetapi diundur. Salah satu penyebabnya, Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik Berbasis Risiko atau OSS RBA belum siap. OSS RBA juga menyimpan kendala yang terbukti banyak PSE privat akhirnya mendaftar secara manual. Situasi ini malah menimbulkan distrust warga.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA (BAH)
Inovator menunjukkan program kolaborasi robot memanfaatkan jaringan 5G saat berlangsung Peluncuran Indosat Ooredoo 5G Services dan ITS 5G Experience Center Powered by Nokia di Gedung Robotika Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (16/9/2021). Kegiatan dihadiri oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno. Peresmian tersebut menampilkan sejumlah inovasi teknologi dengan memanfaatkan jaringan 5G. Dengan teknologi 5G, Indosat Ooredoo mendukung kebijakan ekonomi digital yang dapat memberikan peluang besar bagi masyarakat Indonesia dalam berinovasi dan berkembang.
Selanjutnya, Pasal 6 PP No 71/2019 mengamanatkan setiap PSE wajib melakukan pendaftaran. Ini berarti PSE publik wajib daftar, bukan hanya PSE privat. Akan tetapi, sejauh ini publik belum dibeberkan secara transparan data jumlah PSE publik yang telah mendaftar beserta hasil auditnya. Pertanyaan sejauh mana PSE publik sudah melindungi data pribadi warga yang disimpan belum terjawab jelas. Publik bahkan harus menyaksikan kasus demi kasus kebocoran data pribadi yang tidak tuntas penanganannya, seperti kebocoran data pribadi nasabah BPJS Kesehatan.
Masih banyak aspek legal culture yang harus diperbaiki dan dibangun ulang secara matang oleh pemerintah untuk menyikapi bisnis digital yang berkembang pesat. Koordinasi antarkementerian/lembaga amat diperlukan. Adanya keharusan PSE privat asing membangun bentuk usaha tetap di Indonesia memang lebih baik meskipun jika diterapkan akan mengundang perdebatan. Apalagi, bisnis digital PSE ini berada di ranah virtual. Operasional PSE bisa dilakukan dari mana saja. Perubahan teknologi digital berlangsung begitu cepat. Tentu alangkah bijak jika arsitektur keamanan siber beserta UU Perlindungan Data Pribadi yang dikedepankan terlebih dulu di samping penegakan pengenaan pajak.
Apabila pemerintah tetap bersikeras mempertahankan kebijakan wajib pendaftaran PSE privat dengan kondisi legal culture yang lemah ini, apakah ada jaminan keamanan digital bagi data warga?