”Durian Runtuh” Batubara Perlu Dioptimalkan untuk Dukung Transisi Energi Bersih
Harga batubara yang tinggi menjadikan ”windfall” bagi Indonesia sebagai negara pengekspor komoditas tersebut. Hal itu dinilai perlu dimanfaatkan, terutama bagi pengembangan energi yang lebih bersih.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagai negara pengekspor batubara, Indonesia masih merasakan windfall atau ”durian runtuh” dari tingginya harga batubara internasional sebagai dampak dari situasi geopolitik dunia. Situasi itu perlu dimanfaatkan dengan meningkatkan ekspor batubara. Namun, di sisi lain jangan sampai menggoyahkan komitmen peralihan menuju energi yang lebih bersih.
Tingginya harga batubara internasional terjadi sebagai dampak dari situasi perang antara Rusia dan Ukraina, yang kemudian memengaruhi rantai pasok energi ke Eropa. Terancam krisis energi, sejumlah negara di Eropa kemudian menghidupkan kembali pembangkit listrik berbahan bakar batubara yang membuat permintaan pada negara pemasok batubara, termasuk Indonesia, meningkat.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor batubara Indonesia pada Juni 2022 sebesar 4,5 miliar dollar AS. Jumlah tersebut meningkat 3,3 persen secara bulanan dan 136,6 persen secara tahunan. Khusus ke Uni Eropa, nilai ekspor batubara pada triwulan II-2022 sebesar 191,2 juta dollar AS atau meningkat 143,7 persen dibandingkan triwulan sebelumnya.
Trading Economics mencatat, per Senin (1/8/2022), harga batubara 405 dollar AS per ton. Kendati menurun dibandingkan sepekan sebelumnya, harga itu masih tinggi.
Ketua Program Studi Magister Energi Sekolah Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang, Jaka Windarta, saat dihubungi, Selasa (2/8/2022), mengatakan, Indonesia memang diuntungkan dengan tingginya harga batubara. Namun, perlu dicermati, hingga kapan situasi yang menguntungkan tersebut bakal berlangsung.
Di sisi lain, ada komitmen dari pemerintah untuk mengarah ke energi yang lebih bersih ataupun energi terbarukan. "Yang jelas, target NZE (emisi nol bersih pada 2060) jangan sampai terpengaruh kondisi batubara saat ini. Justru harus dimanfaatkan untuk pengembangan ke arah sana,” ujar Jaka.
Sejumlah pengembangan peralihan ke arah energi yang lebih bersih memang sudah dilakukan, seperti co firing atau pembakaran biomassa bercampur batubara di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Selain itu, juga sudah dikembangkan proyek gasifikasi batubara guna menghasilkan dimetil eter sebagai pengganti elpiji.
Ia menambahkan, pengembangan energi yang lebih bersih dan energi terbarukan mesti diikuti dengan perubahan pola pikir masyarakat. ”Misalnya, kompor induksi. Pemerintah sudah memberi insentif. Namun, masih relatif di kota besar. Jadi, upaya-upaya seperti itu juga mesti dibarengi dengan peningkatan demand dan pemahaman masyarakat,” ujarnya.
Kepala Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga, Surabaya, Rossanto Dwi Handoyo mengemukakan, windfall dari tingginya harga batubara internasional perlu dimanfaatkan. Sebab, nilai ekspor batubara sebesar saat ini, dan bertahan dengan relatif lama, belum pernah terjadi sebelumnya.
Sementara pengembangan energi terbarukan pun sudah digaungkan oleh pemerintah. ”Sebab, energi terbarukan ini tidak mudah dan murah. Namun, saat ini sudah ke arah sana, termasuk hilirisasi nikel (bahan baku baterai kendaraan listrik) yang akan menarik investor-investor dunia. Saya pikir, arahnya memang sudah ke sana,” jelasnya.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia menuturkan, jangan dilupakan bahwa sekitar 16 bulan lalu, harga batubara di bawah 70 dollar AS per ton dan berlangsung beberapa bulan. Ketika saat itu ada perusahaan yang rugi, kini ada kesempatan baik (harga tinggi) untuk mengompensasi kerugian tersebut. Namun, ia menekankan, kondisi perusahaan berbeda-beda.
Penerimaan dari tingginya harga batubara saat ini juga untuk investasi menuju kepada energi yang lebih bersih. ”Transisi energi kan jangka panjang. Maka, perusahaan yang akan bertransisi akan memaksimalkan sumber pendanaan. Sebab, transisi energi butuh dukungan keuangan. Maka, selagi bagus, (ekspor) dimanfaatkan untuk investasi. Apalagi tren (memulai ke energi bersih oleh perusahaan batubara) kan sudah berjalan, bukan baru di tahapan wacana," jelasnya.
Tren positif
Kondisi pasokan gas Eropa pun memberi pengaruh besar dalam kenaikan harga batubara acuan (HBA) Agustus 2022 yang ditetapkan 321,59 dollar AS per ton atau meningkat 2,59 dollar AS per ton dibandingkan HBA Juli 2022. Hal tersebut melanjutkan tren positif harga batubara sepanjang 2022 mengingat pada Januari HBA sebesar 158,5 dollar AS per ton.
”Harga gas alam cair di Eropa terus naik menyusul ketidakpastian pasokan gas. Bahkan, beberapa negara Eropa mengaktifkan kembali pembangkit listrik batubara guna mengantisipasi adanya krisis listrik,” ujar Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Agung Pribadi dalam keterangannya, Senin.
Ia menambahkan, kenaikan HBA Agustus 2022 juga dipengaruhi oleh kenaikan rata-rata indeks bulanan penyusun HBA, yaitu NEX naik 3,75 persen, GCNC naik 3,32 persen, ICI turun 3,94 persen, dan Platt's turun 3,58 persen.
Di samping itu, pemerintah menetapkan HBA domestik khusus kelistrikan sebesar 70 dollar AS per ton dan 90 dollar per ton diperuntukkan bagi HBA domestik untuk kebutuhan bahan bakar industri. ”Ini menjaga daya saing industri domestik dan utamanya memastikan keterjangkauan hasil produksi industri bagi masyarakat,” kata Agung.