Kenaikan laju inflasi meluas ke berbagai sektor ekonomi. Bersamaan dengan itu, petani yang merupakan produsen sekaligus konsumen pangan semakin tertekan.
Oleh
Hendriyo Widi
·5 menit baca
ALIF ICHWAN
Patria (30), pedagang cabai merah, menata dagangannya di kios Pasar Warung Buncit, Jakarta, Selasa (22/10/2019). Kenaikan harga cabai merah berkontribusi terhadap inflasi Juli 2022 yang sebesar 0,64 persen secara bulanan dan 4,94 persen secara tahunan.
JAKARTA, KOMPAS — Kenaikan harga pangan, energi, dan pupuk terus memicu kenaikan inflasi. Inflasi tersebut semakin merambah ke berbagai sektor ekonomi, seperti rumah tangga, pertanian, industri, transportasi, dan konstruksi.
Modal petani bahkan semakin tertekan akibat kenaikan harga pupuk. Potret tekanan inflasi terhadap berbagai sektor itu terindikasi dari tingkat inflasi umum, inflasi harga perdagangan besar (HPB), dan nilai tukar usaha petani (NTUP).
Badan Pusat Statistik (BPS), Senin (1/8/2022), merilis tingkat inflasi pada Juli 2022 sebesar 0,64 persen secara bulanan dan 3,85 persen secara tahun kalender. Inflasi tahunan pada Juli 2022 bahkan mencapai 4,94 persen atau tertinggi sejak Oktober 2015 yang tercatat 6,25 persen. Inflasi tersebut juga jauh di atas target inflasi Bank Indonesia (BI) tahun ini yang sebesar 2-4 persen.
Komoditas yang memberikan andil besar terhadap inflasi adalah cabai merah dan rawit, tarif angkutan udara, dan bahan bakar rumah tangga. Untuk minyak goreng, harganya terus turun dalam tiga bulan terakhir. Secara bulanan, minyak goreng memberi andil terhadap deflasi 0,07 persen. Namun, secara tahunan, komoditas itu masih berkontribusi terhadap inflasi sebesar 0,29 persen.
Kepala BPS Margo Yuwono mengatakan, selain kenaikan harga pangan, energi, dan pupuk global, inflasi juga disebabkan oleh anomali cuaca serta kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), gas, dan tarif listrik nonsubsidi. Kenaikan tarif listrik 3.500 VA per 1 Juli 2022, misalnya, berkontribusi terhadap inflasi Juli 2022 sebesar 0,01 persen.
”Peningkatan permintaan selama libur Idul Adha dan tahun ajaran baru 2022-2023 juga turut menambah laju inflasi,” kata Margo dalam telekonferensi pers di Jakarta, Senin.
Selain kenaikan harga pangan, energi, dan pupuk global, inflasi juga disebabkan oleh anomali cuaca dan kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM, gas, dan tarif listrik nonsubsidi.
Data BPS juga menunjukkan, inflasi HPB Juli 2022 sebesar 0,46 persen secara bulanan dan 5,35 secara tahunan. Inflasi terjadi lantaran kenaikan harga sejumlah komoditas di ketiga sektor perdagangan besar, yakni pertanian, pertambangan, dan industri. Komoditas-komoditas yang memberi andil inflasi itu adalah cabai merah, bawang merah, cabai hijau, cabai rawit, batubara, solar, tepung terigu, mi kering instan, dan gas.
Sektor bangunan atau konstruksi juga mengalami kenaikan inflasi 0,64 persen secara bulanan dan 5,88 persen secara tahunan. Hal itu disebabkan oleh kenaikan harga solar, aspal, semen, dan pasir. ”Kami berharap pemerintah dapat menekan laju kenaikan inflasi melalui bauran kebijakan fiskal dan moneter. Salah satu kebijakan yang dapat diambil adalah mempertahankan subsidi energi,” ujar Margo.
Ekonom PT Bank Danamon Indonesia Tbk Irman Faiz berpendapat, inflasi pada Juli 2022 lebih disebabkan oleh kenaikan harga barang yang mudah bergejolak (volatile food) dan barang yang diatur pemerintah (administered price). Inflasi volatile food meningkat menjadi 11,47 persen secara tahunan karena imbas cuaca di sejumlah sentra pangan.
Sementara inflasi administered price mencapai 6,51 persen secara tahunan. Inflasi itu terutama didorong oleh kenaikan tarif tiket pesawat akibat kenaikan harga avtur.
Menurut Irman, inflasi inti yang terus merangkak naik hingga 2,89 persen secara tahunan pada Juli 2022 juga perlu dicermati. Pada bulan tersebut, inflasi inti masih berada di bawah ambang batas 3 persen kendati terjadi kenaikan harga.
Tingkat inflasi inti yang masih di bawah ambang batas dan tensi volatilitas rupiah yang mulai turun akan menjadi pertimbangan Bank Indonesia untuk tidak menaikkan suku bunga acuan pada Agustus 2022. ”Namun, inflasi inti itu akan terus meningkat di atas ambang batas pada triwulan III-2022 sehingga ada kemungkinan BI bakal menaikkan suku bunga acuan,” katanya.
Petugas Pertamina merapikan selang seusai mengisi bahan bakar avtur ke pesawat yang mendarat di Bandara Mozes Kilangin, Mimika, Papua, Kamis (28/10/2021). PT Pertamina (Persero) siap mengembangkan bioavtur dari olahan kelapa sawit untuk kebutuhan komersial. Bioavtur adalah bahan bakar nabati hasil campuran avtur dan bahan baku minyak inti sawit.
Petani tertekan
Gejolak harga pangan, energi, dan pupuk dunia juga semakin membebani petani yang merupakan produsen sekaligus konsumen pangan. Hal itu salah satunya tecermin dari penurunan Nilai Tukar Usaha Rumah Tangga Pertanian (NTUP) sebesar 1,34 persen menjadi 105,47 pada Juli 2022.
Penurunan NTUP itu disebabkan pendapatan yang diterima petani turun, sedangkan pengeluaran petani untuk biaya produksi dan penambahan barang modal (BPPBM) naik. Penurunan NTUP terjadi pada subsektor tanaman pangan dan perkebunan rakyat yang masing-masing terkontraksi 0,29 persen dan 6,39 persen.
Menurut Margo, penurunan NTUP subsektor tanaman perkebunan rakyat terutama dialami petani kelapa sawit. Di tengah anjloknya harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit, BPPBM justru meningkat. ”Kenaikan BPPBM terjadi akibat kenaikan harga NPK dan urea, upah permanen, transportasi, dan bibit. Hal ini tidak terlepas dari imbas kenaikan harga pupuk dan energi,” kata Margo.
Kenaikan biaya produksi dan penambahan barang modal terjadi akibat kenaikan harga NPK dan urea, upah permanen, transportasi, dan bibit.
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Bank Dunia, serta Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) meminta setiap negara bersama-sama mengatasi masalah krisis pangan. Krisis pangan itu tidak hanya disebabkan oleh kenaikan harga komoditas pangan, tetapi juga kenaikan harga energi dan pupuk, serta restriksi pangan dan pupuk.
Bank Dunia mencatat, indeks harga pupuk global per Juni 2022, naik hampir 15 persen dari awal tahun ini. Harga pupuk naik lebih dari tiga kali lipat dibandingkan dua tahun lalu.
Juni lalu, Direktur Jenderal WTO Direktur Jenderal WTO Ngozi Okonjo-Iweala mengatakan, pandemi Covid-19 yang menghambat rantai pasok gobal dan perang Rusia-Ukraina mengganggu pasar komoditas pangan, bahan bakar, dan pupuk yang saling terkait satu sama lain. Restriksi komoditas ekspor, termasuk pangan dan pupuk, oleh 25 negara juga memengaruhi sekitar 8 persen perdagangan pangan dunia.
Persoalan pasokan pangan yang tersendat semakin diperumit oleh peningkatan harga pupuk hingga dua kali lipat selama 12 bulan terakhir. Harga gas dan batubara yang tinggi juga bakal mendorong kenaikan biaya produksi pupuk. ”Situasi itu terjadi di saat ruang fiskal setiap negara terbatas untuk memerangi pandemi Covid-19. Di sisi lain, dampak perubahan iklim turut memengaruhi produktivitas pertanian di banyak negara. Restriksi ekspor pangan dan pupuk perlu segera dibuka,” ujarnya.