Anjloknya Harga TBS Sumbang Penurunan Nilai Tukar Petani
Anjloknya harga tandan buah segar (TBS) petani merupakan dampak dari kebijakan larangan ekspor CPO yang sempat dilakukan pemerintah. Hal itu membuat TBS tak terserap dan harganya jatuh yang kemudian memengaruhi NTP.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anjloknya harga tandan buah segar sawit atau TBS berkontribusi pada penurunan nilai tukar petani sebesar 1,61 persen secara bulanan pada Juli 2022. Di sisi lain, kalangan pelaku usaha menilai ada kompleksitas kebijakan yang didorong oleh tuntutan pemenuhan ketersediaan minyak dalam negeri dan upaya percepatan ekspor minyak sawit mentah atau CPO.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, nilai tukar petani (NTP) pada Juli 2022 mencapai 104,2. Angka itu turun 1,61 persen secara bulanan. NTP subsektor tanaman perkebunan rakyat yang turun 6,63 persen menjadi penyumbang terbesar perubahan itu. Sementara NTP subsektor tanaman pangan turun 0,62 persen. Adapun NTP subsektor lain justru naik.
NTP merupakan salah satu indikator yang biasa digunakan untuk melihat kesejahteraan petani. Apabila NTP lebih dari 100, berarti indeks harga yang diterima petani lebih tinggi dibandingkan dengan harga yang dibayarkan oleh petani.
Kepala BPS Margo Yuwono, pada konferensi pers yang digelar virtual, Senin (1/8/2022), menjelaskan, penurunan NTP itu terjadi karena indeks harga terima petani perkebunan rakyat menurun 6,06 persen, sedangkan indeks harga yang harus dibayar petani naik 0,61 persen. ”Itu, antara lain, karena menurunnya harga (komoditas) kelapa sawit, karet, dan kelapa,” katanya.
Anjloknya harga TBS petani terjadi setelah pemerintah melarang ekspor CPO dan sejumlah produk turunannya sejak April 2022. Kebijakan itu ditempuh guna mengendalikan harga minyak goreng di dalam negeri. Tangki-tangki pabrik kelapa sawit (PKS) penuh dan TBS petani tak terserap sehingga harganya bahkan sempat anjlok di bawah Rp 500 per kilogram (kg).
Pada 23 Mei 2022, kebijakan larangan ekspor CPO dicabut pemerintah yang diikuti sejumlah kebijakan percepatan ekspor. Harga TBS perlahan terkerek naik, tetapi masih belum seperti yang diharapkan petani atau di atas biaya pokok produksi (HPP).
Menurut data Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), harga TBS petani sawit swadaya di wilayah anggota SPKS (14 kabupaten di 10 provinsi) per 1 Agustus 2022 berkisar Rp 750-Rp 1.540 per kg. Pada periode 28 Juli-1 Agustus 2022, beberapa daerah tak mengalami kenaikan harga TBS, sedangkan tertinggi di Kobar, Kalimantan Tengah, dengan kenaikan mencapai Rp 300 per kg.
Sekretaris Jenderal SPKS Mansuetus Darto, lewat keterangan tertulis, Senin (1/8/2022), mengatakan, harga TBS petani sawit swadaya saat ini belum bisa menutupi HPP sekitar Rp 2.000 per kg. ”Mayoritas petani sawit tidak melakukan pemupukan dan perawatan kebun. SPKS meminta kebijakan menghapus pungutan ekspor (PE) diperpanjang, kalau perlu dihilangkan,” katanya.
Dalam upaya percepatan ekspor, pemerintah telah menerapkan sejumlah kebijakan, salah satunya meniadakan tarif pungutan ekspor CPO. Kebijakan ini berlaku 15 Juli hingga 31 Agustus 2022. Selain itu, ada pula insentif berupa faktor pengali kuota ekspor bagi eksportir yang memenuhi kewajiban pemenuhan kebutuhan dalam negeri (DMO) serta program flush out atau pengosongan tangki-tangki CPO.
Ketua Tim Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Eugenia Mardanugraha mengemukakan, meski hanya sementara, pelarangan ekspor mendistorsi kegiatan perdagangan sawit dari hulu ke hilir. Di hulu, penuhnya tangki-tangki PKS membuat harga TBS petani jatuh.
”Itu membawa penderitaan bagi petani sawit, khususnya (petani sawit) swadaya. Dampak negatif terbesar dirasakan petani swadaya,” kata Eugenia dalam diskusi virtual ”Dampak Kebijakan Pengendalian Harga Minyak Goreng bagi Petani Swadaya” yang digelar oleh Majalah Sawit Indonesia, Senin (1/8/2022).
LPEM FEB UI merekomendasikan, antara lain, kebijakan ekspor disederhanakan menjadi dua saja, yaitu bea keluar (BK) dan PE. Menurut Eugene, keduanya harus berlandaskan harga referensi yang sesuai dan mampu menyesuaikan dengan segera atas dinamika pasar. Penghapusan pungutan ekspor juga didorong agar dilanjutkan hingga ekspor CPO mencapai 4 juta ton per bulan atau harga TBS petani swadaya di atas Rp 2.000 per kg.
Sekretaris Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Heru Tri Widarto, saat dikonfirmasi mengenai upaya Kementerian Pertanian dalam melindungi petani sawit kala harga TBS jatuh, hingga Senin (1/8/2022) malam, belum merespons.
Sebelumnya, Staf Khusus Kementerian Perdagangan Oke Nurwan, Senin, mengatakan, per 28 Juli 2022, realisasi ekspor CPO dan sejumlah produk turunannya mencapai 1,77 juta ton atau sekitar 88,33 persen dari total volume PE yang telah diterbitkan, yakni sekitar 1,99 juta ton. Dengan begitu, serapan dan harga TBS sawit petani diharapkan bisa terus meningkat bertahap (Kompas.id, 29/7/2022).
Kompleksitas kebijakan
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono, dalam diskusi virtual sawit, Senin, mengemukakan, apa yang terjadi saat ini kondisional, termasuk penghentian ekspordan belum pernah terjadi sebelumnya. Di sisi lain, selama ini, Indonesia tak pernah punya data pasti stok CPO sehingga ke depan perlu data yang akurat.
Menurut dia, kebijakan DMO belum optimal. ”Di satu sisi, DMO untuk menjamin ketersediaan (di dalam negeri), tetapi di sisi lain menjadi faktor yang menjadi constraint (pembatas) terhadap ekspor. Ada kompleksitas. Untuk mendapat izin ekspor sangat dipengaruhi kinerja distribusi minyak goreng. Padahal, itu bukan tanggung jawab eksportir. Ada dua pekerjaan terpisah,” katanya.
Oleh karena itu, ia pun mendorong adanya bauran kebijakan. Secara alamiah, sebagai negara produsen CPO (surplus), memang sudah seharusnya Indonesia mengekspor. Kemudian, perlu ada instrumen kebijakan untuk menjaga ketersediaan dalam negeri, misalnya subsidi yang terjamin keberlanjutannya. Ada kejelasan sasaran, jumlah pasti, mekanisme, dan penetapan harganya. Artinya, tidak perlu semua jenis minyak goreng diatur pemerintah.
Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga menilai, DMO dan DPO (batasan harga) seharusnya dihapus. Dari pengalaman Juni 2022 hingga sekarang, ekspor CPO terseok-seok, antara lain, akibat pelaksanaannya yang rumit. Instrumen kebijakan bisa misalnya dengan bea keluar dan pungutan ekspor saja.