Inflasi di dalam negeri yang biasanya di sekitar 3 persen, berpotensi meningkat di atas 6 persen pada tahun ini. Per Juni 2022, tingkat inflasi tahun kalender (Januari-Juni 2022) saja sudah mencapai 3,19 persen.
Oleh
Hendriyo Widi
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah cara mengatasi inflasi pangan diusulkan Institute of Development on Economics and Finance serta Organisasi Pangan dan Pertanian. Cara-cara tersebut, antara lain, mencakup diversifikasi negara asal impor, pembukaan restriksi pangan melalui kerja sama perdagangan, membuat kebijakan pro-pangan, dan budidaya pangan yang lebih tahan terhadap anomali cuaca.
Laju kenaikan inflasi pangan dan energi yang tengah melanda dunia, termasuk Indonesia, menjadi momen tepat untuk mewujudkan langkah-langkah itu. Inflasi tersebut sangat kompleks lantaran disebabkan oleh akumulasi berbagai faktor, seperti pandemi Covid-19, anomali cuaca, restriksi pangan, dan invasi Rusia ke Ukraina.
Hal itu mengemuka dalam Gambir Trade Talk 2022 #6 bertajuk ”Inflasi Global: Pangan Dunia untuk Indonesia Kestabilan Harga Bahan Pokok” yang digelar Badan Kebijakan Perdagangan (BKP) Kementerian Perdagangan secara hibrida, di Jakarta, Rabu (27/7/2022).
Pembicara dalam kegiatan itu adalah Kepala BKP Kasan Muhri; Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad; Food Security and Nutrition Officer, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), Dewi Fatmaningrum; serta Ketua Umum Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo) Franciscus Welirang.
Tauhid Ahmad mengatakan, inflasi di Indonesia lebih didominasi komoditas pangan, baik lokal maupun impor. Hal itu tidak terlepas dari kenaikan harga pangan global dan masalah tahunan di dalam negeri berupa gangguan produksi pangan akibat cuaca.
”Kenaikan harga pangan tersebut, khususnya komoditas impor, mulai dipengaruhi oleh depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Ketika nilai tukar rupiah rendah atau melemah, biaya impor bertambah tinggi,” ujarnya.
Kenaikan harga pangan tersebut, khususnya komoditas impor, mulai dipengaruhi oleh depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Ketika nilai tukar rupiah rendah atau melemah, biaya impor bertambah tinggi.
Pada Rabu, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS kembali melemah akibat imbas rencana bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve, menaikkan suku bunga acuan. Kurs rupiah di pasar spot ditutup melemah 0,11 persen di posisi Rp 15.010 per dollar AS dari hari sebelumnya. Sementara Bank Indonesia menutup transaksi nilai tukar rupiah di posisi Rp 15.020 per dollar AS atau melemah 0,2 persen dari perdagangan hari sebelumnya.
Tauhid memperkirakan, inflasi di dalam negeri yang biasanya di sekitar 3 persen, berpotensi meningkat di atas 6 persen pada tahun ini. Per Juni 2022, tingkat inflasi tahun kalender (Januari-Juni 2022) saja sudah mencapai 3,19 persen.
Oleh karena itu, ia mengusulkan lima langkah mengatasi inflasi pangan. Pertama, kemandirian pangan lokal, seperti kedelai, daging sapi, dan gula sangat diperlukan. Untuk merealisasikannya dibutuhkan perbaikan produktivitas dan luas tanam, pemanfaatan teknologi, dan efisiensi produksi.
Kedua, memperbaiki sistem produksi pangan yang bergantung pada cuaca, terutama cabai dan bawang merah, melalui riset dan pemanfaatan teknologi pangan. Ketiga, mencari sumber alternatif negara importir lain.
Indonesia, lanjut Tauhid, juga harus memimpin perubahan negara-negara G20 untuk mengurangi proteksi pangan. Selain itu, pemerintah perlu meningkatkan alokasi subsidi dan input pangan, seperti benih dan pupuk, agar harga dapat distabilkan dan petani tidak dirugikan.
Dewi menyatakan, FAO telah merekomendasikan berbagai program mitigasi kiris pangan global kepada setiap negara di dunia. Kunci utamanya adalah setiap negara harus membuka perdagangan. Negara-negara yang saat ini merestriksi ekspor pangan perlu melonggarkan kebijakan.
”Di sisi lain, setiap negara diminta untuk menghindari kebijakan yang terlalu reaktif jika terjadi sesuatu di sektor pangan. Setiap pemerintah harus dapat melihat dampak kebijakan itu terhadap produsen ataupun konsumen,” ujarnya.
Langkah-langkah tersebut, lanjut Dewi, sangat diperlukan. Jika hal itu tidak dilakukan, bakal ada penambahan orang yang kekurangan pangan. FAO mencatat, ada sekitar 800 juta orang di seluruh dunia yang belum terpenuhi kebutuhan pangannya sebelum pandemi dan perang Rusia-Ukraina. Pascapandemi dan konflik, diperkirakan akan ada penambahan 11 juta orang hingga 19 juta orang di dunia yang kekurangan pangan.
Menekan biaya impor
Franciscus Welirang berpendapat, kenaikan harga pangan berdampak pada rumah tangga dan dunia usaha. Kenaikan harga pangan dapat semakin menggerus daya beli rumah tangga, terutama yang berpenghasilan rendah.
Bagi dunia usaha, kenaikan harga pangan ditambah lonjakan harga energi akan mengerek kenaikan biaya produksi. Kondisi tersebut dapat menggerus keuntungan dan mengurangi modal usaha.
Menurut Welirang, untuk mempertahankan keuntungan, harga jual pasti akan dinaikkan atau ukuran dan porsi produk diperkecil. Hal itu tentu saja dengan mempertimbangkan daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih.
”Kami berharap agar bantalan ekonomi bagi masyarakat berpenghasilan rendah terus berlanjut dan pemerintah meringankan biaya-biaya yang membebani dunia usaha,” katanya.
Kami berharap agar bantalan ekonomi bagi masyarakat berpenghasilan rendah terus berlanjut dan pemerintah meringankan biaya-biaya yang membebani dunia usaha.
Kasan Muhri menuturkan, laju kenaikan inflasi tengah melanda dunia, termasuk Indonesia. Inflasi itu disebabkan oleh kenaikan harga komoditas pangan dan energi akibat berbagai faktor, seperti pandemi Covid-19, anomali cuaca, restriksi pangan, dan invasi Rusia ke Ukraina.
Bagi Indonesia, kenaikan harga komoditas itu menjadi berkah ”durian runtuh” atau windfall sekaligus memberikan tantangan karena mendorong kenaikan inflasi. Per Juni 2022, inflasi tahunan di Indonesia sudah mencapai 4,35 persen.
”Semua negara berharap kondisi itu segera membaik. Ada sebuah angin segar dari momen penandatanganan pembukaan ekspor pangan antara Rusia, Ukraina, dan PBB yang difasilitasi Turki. Harapannya, ketersediaan dan harga pangan global kembali stabil,” tuturnya.
Kasan menambahkan, dalam kondisi tersebut, pemerintah telah mengambil kebijakan memperlancar impor bahan baku pangan. Berbagai hambatan tarif dan nontarif yang bisa memperlambat impor pangan dihapus.
Misalnya, pemerintah telah membebaskan tarif bea masuk gandum dan kedelai. Kebijakan itu diharapkan dapat menekan harga pangan impor yang tinggi sekaligus memperlancar pemasukan dan distribusi ke setiap industri.