Ada Kendala, Pemerintah Kurangi Jumlah Proyek Strategis Nasional
Selain masalah pembiayaan, kendala tersebut, antara lain, perizinan yang terlambat terbit, permasalahan konstruksi, dan pembebasan lahan.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah merevisi jumlah Proyek Strategis Nasional atau PSN yang ditargetkan rampung pada semester I-2024, dari semula 208 proyek menjadi 200 proyek. Penyesuaian ini dilakukan lantaran terdapat sejumlah kendala dan untuk mempercepat pencapaian target penyelesaian pada 2024.
Perubahan jumlah PSN bakal tertuang dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian yang akan diterbitkan dalam waktu dekat. Aturan tersebut sebagai revisi atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional. Dalam draf beleid revisi itu, pemerintah mengeluarkan beberapa proyek dari PSN. Di saat yang sama, pemerintah menambahkan proyek baru ke dalam PSN dan menyesuaikan proyek ataupun program secara nomenklatur.
Deputi Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Wahyu Utomo mengatakan, dari ke-208 proyek yang dicanangkan sebagai PSN, 14 proyek saat ini tengah menghadapi kendala, baik itu dalam perizinan maupun pembiayaan. Namun, enam proyek di antaranya dinilai masih membutuhkan perpanjangan statusnya sebagai PSN.
Salah satu proyek yang akan dikeluarkan dari daftar PSN adalah bendungan di Kecamatan Tiro, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh. Proyek ini berpotensi dikeluarkan dari daftar PSN lantaran pembangunannya mendapat penolakan dari masyarakat sekitar.
”Untuk itu, berdasarkan arahan dari Presiden, kami akan mengeluarkan proyek yang belum jelas pembiayaannya dan tidak dapat dipastikan waktu penyelesaian dari daftar PSN. Saat ini terdapat 14 proyek yang tidak memiliki kemajuan karena berbagai kendala,” ujarnya dalam diskusi pencapaian PSN hingga semester I-2022, di Jakarta, Selasa (26/7/2022).
Salah satu proyek yang akan dikeluarkan dari daftar PSN, lanjut Wahyu, adalah bendungan di Kecamatan Tiro, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh. Proyek ini berpotensi dikeluarkan dari daftar PSN lantaran pembangunannya mendapat penolakan dari masyarakat sekitar. Pemerintah khawatir kegaduhan sosial akan timbul jika proyek bendungan ini dilanjutkan.
Selain itu, proyek pengendali banjir Cikarang Bekasi Laut (CBL) juga dikeluarkan dari daftar PSN. Keputusan tersebut diambil dikarenakan kajian proyek yang tidak kunjung usai sehingga Kementerian Perhubungan dan PT Pelindo II selaku penggarap proyek infrastruktur merekomendasikan agar CBL dikeluarkan dari daftar PSN.
Proyek lain yang dikeluarkan dari daftar PSN ialah Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pelabuhan Tanjung Api-api di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, lantaran pemerintah daerah menilai lokasi pelabuhan sudah tidak representatif sebagai KEK. Namun, sebagai gantinya, saat ini proyek KEK tengah dibangun di Pelabuhan Tanjung Carat, Kabupaten Banyuasin.
”Proyek KEK di Tanjung Carat ini membutuhkan perpanjangan status sebagai PSN untuk kelancaran pembangunan sehingga bisa beroperasi sebelum 2024. Setiap proyek dan program baru ditetapkan berdasarkan sejumlah kriteria, seperti menciptakan lapangan kerja, mendukung hilirisasi, dan pembiayaannya murni dari pihak swasta,” ujarnya.
Hingga semester I-2022, tujuh PSN berhasil diselesaikan dengan nilai Rp 138,1 triliun, mencakup Kawasan Industri Tanjung Enim, Sumatera Selatan; Kawasan Industri Terpadu Batang, Jawa Tengah; Terminal Multiguna Labuan Bajo, NTT; dan Kawasan Industri Weda Bay, Maluku Utara. Adapun sejak 2016, sebanyak 135 PSN berhasil diselesaikan dengan nilai investasi Rp 858 triliun.
”Untuk detail lebih lanjut terkait proyek mana saja yang akan dikeluarkan dari PSN akan ada dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian yang akan terbit beberapa waktu ke depan,” ujarnya.
Kendala lapangan
Wahyu membeberkan, terdapat lima permasalahan utama yang menyebabkan penundaan penyelesaian PSN mencakup perencanaan dan penyiapan; keterlambatan penerbitan perizinan ataupun persetujuan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal); pendanaan dan pembiayaan; permasalahan konstruksi akibat kondisi cuaca ataupun kekurangan tenaga kerja dan material; hingga persoalan pengadaan tanah yang erat kaitannya dengan penolakan masyarakat setempat.
”Kami sudah punya peraturan pemerintah yang terkait dengan pengadaan tanah, tapi tetap ini masih muncul karena adanya konflik-konflik di lapangan dan terkait dengan tata ruangnya, serta sengketa di lahan ini yang harus kami selesaikan,” ujar Wahyu.
Dihubungi secara terpisah, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani mengatakan, selain mempercepat PSN, pemerintah juga perlu mengembangkan kawasan industri yang saat ini sudah beroperasi. Aviliani meyakini dampak ekonomi dari pengembangan kawasan industri eksisting akan lebih besar ketimbang menggarap daerah-daerah baru.
”Jadi (kawasan industri) yang sudah ada pasarnya itulah yang dikembangkan supaya ekonomi bisa tumbuh di dalam negeri. Saya rasa itu tidak kalah pentingnya untuk penyerapan tenaga kerja,” kata Aviliani.
Upaya pengembangan kawasan industri yang sudah ada, lanjutnya, termasuk juga penyediaan daya dukung fasilitas berupa infrastruktur dan utilitas agar daya saing kawasan industri lama tetap terjaga setelah memasuki era digitalisasi. ”Dengan daya dukung yang kuat, maka kawasan-kawasan yang sedang dibangun baru mempunyai daya saing,” katanya.
Pembiayaan mikro
Dalam kesempatan berbeda, Direktur Utama Pusat Investasi Pemerintah (PIP) Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan Ririn Kadariyah menjabarkan, sepanjang paruh pertama tahun 2022, PIP telah menyalurkan pembiayaan ultramikro senilai total Rp 3,95 triliun kepada 1 juta debitor di seluruh Indonesia.
Secara total, sejak 2017 hingga semester I-2022, total penyaluran kredit ultramikro oleh PIP telah mencapai Rp 22 triliun dengan total debitor 6,4 juta orang. Dari keseluruhan debitor tersebut, 95 persen terdiri atas perempuan. Ririn mengungkapkan masyarakat yang dapat mengakses pembiayaan UMi (ultramikro) adalah pelaku usaha ultramikro yang belum mendapat akses permodalan dari perbankan.
”Kredit ultramikro disalurkan melalui Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) dengan plafon maksimal Rp 20 juta. Untuk mendapatkan pembiayaan, pelaku usaha ultramikro cukup memiliki kartu tanda penduduk (KTP), tidak sedang menerima program pemerintah lain (KUR), dan dana yang dipinjamkan harus digunakan untuk usaha,” kata Ririn.