Investasi Tumbuh Pesat, Struktur Industri Perlu Lebih Diperdalam
Di balik capaian pertumbuhan investasi manufaktur yang tinggi masih tersisa pekerjaan rumah untuk memperdalam struktur industri dalam negeri serta mendorong kemandirian bahan baku.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Investasi di sektor manufaktur tumbuh hingga menyentuh dua digit sepanjang enam bulan pertama tahun ini. Ekspansi di sektor pengolahan itu diharapkan dapat memperdalam struktur industri dalam negeri, menguatkan rantai pasok, dan mengurangi ketergantungan pelaku industri nasional pada bahan baku impor.
Setelah sempat melambat dan memunculkan kekhawatiran deindustrialisasi prematur, investasi di sektor manufaktur belakangan ini cenderung meningkat kembali kendati investasi di sektor jasa masih menduduki posisi tertinggi.
Kementerian Perindustrian mencatat, pada periode Januari-Juni 2022, realisasi investasi di sektor manufaktur mencapai Rp 230,8 triliun. Angka tersebut naik 38 persen dari investasi Rp 167,1 triliun pada semester I-2021. Dengan capaian itu, sektor manufaktur memberikan kontribusi sebesar 39,5 persen terhadap total nilai investasi Rp 584,6 triliun pada semester I-2022.
Pada periode itu, penanaman modal dalam negeri (PMDN) sektor industri tercatat sebesar Rp 65,2 triliun atau berkontribusi 23,8 persen dari total PMDN Rp 274,2 triliun. Sementara itu, penanaman modal asing (PMA) sektor industri mencapai Rp 165,6 triliun atau menyumbang 53,4 persen dari total PMA Rp 310,4 triliun.
Sektor manufaktur yang paling banyak dilirik investor dalam negeri adalah industri makanan dengan nilai investasi Rp 24,2 triliun atau naik 8,8 persen secara tahunan. Sementara sektor manufaktur yang paling menarik perhatian investor asing adalah industri logam dasar, barang logam, bukan mesin dan peralatannya yang mencapai 5,7 miliar dollar AS (naik 26,3 persen secara tahunan), serta industri kimia dan farmasi senilai 1,8 miliar dollar AS (naik 8,1 persen).
Peneliti Center of Industry, Trade and Investment dari Institute for Development of Economics and Finance Ahmad Heri Firdaus, Selasa (26/7/2022), menilai, di balik capaian pertumbuhan investasi manufaktur yang tinggi itu masih tersisa pekerjaan rumah untuk memperkuat dan memperdalam struktur industri dalam negeri.
Menurut dia, dari capaian pertumbuhan investasi manufaktur sebesar 38 persen itu belum terlihat adanya pendalaman struktur industri dalam negeri. ”Namun, setidaknya, ini proses awal untuk kembali meningkatkan porsi investasi sekunder. Ke depan, kita perlu memperdalam struktur industri, harus ada investasi yang sifatnya dari hulu ke hilir,” kata Heri.
Dari capaian pertumbuhan investasi manufaktur sebesar 38 persen itu belum terlihat adanya pendalaman struktur industri dalam negeri.
Ia mencontohkan, realisasi investasi di sektor makanan yang relatif tinggi pada semester I-2022 itu seharusnya tak cukup hanya di sisi hilir, melainkan juga diiringi investasi agroindustri di sisi hulu dan antara. Misalnya, investasi di budidaya tanaman pangan dan perkebunan.
Ketergantungan
Selama ini ada kecenderungan pembangunan industri terlalu terfokus pada industri hilir yang memproduksi barang jadi. Tanpa pembangunan yang pesat dari sisi hulu dan antara, implikasinya adalah ketergantungan industri yang terlalu tinggi pada bahan baku impor.
Di tengah krisis ekonomi global dan inflasi biaya produksi (cost-push inflation) seperti sekarang, industri yang tidak mandiri dari segi bahan baku akan paling terdampak oleh kenaikan harga komoditas. ”Harus ada peta jalan dan pemetaan struktur industri yang jelas. Sampai kapan kita mau impor bahan baku? Sektor apa yang bahan bakunya sudah bisa kita penuhi sendiri?” tuturnya.
Untuk mendorong kemandirian produksi bahan baku dalam negeri dibutuhkan sinkronisasi strategi antara Kementerian Perindustrian dan Kementerian Pertanian. Heri mencontohkan, industri pemanis buatan selama ini masih bergantung pada impor jagung, padahal Indonesia memproduksi jagung sendiri.
”Ternyata tidak sinkron antara produksi pertanian kita dengan standar yang diminta industri. Persoalan seperti ini yang seharusnya disikapi dengan mendorong lebih banyak investasi di sektor agroindustri yang bisa menguatkan sisi hulu dari sektor makanan dan minuman, misalnya investasi untuk menghadirkan teknologi pascapanen,” katanya.
Tanpa pembangunan yang pesat dari sisi hulu dan antara, implikasinya adalah ketergantungan industri yang terlalu tinggi pada bahan baku impor.
Masih optimistis
Terkait industri manufaktur yang masih melakukan ekspansi lewat penanaman modal baru, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Bidang Industri Manufaktur Johnny Darmawan mengatakan, optimisme pelaku industri pada umumnya memang masih cukup tinggi kendati saat ini kondisi ekonomi global sedang tidak pasti dan terjadi inflasi di tingkat produsen.
Hal itu juga tampak dari Indeks Purchasing Managers’ Index (PMI) Indonesia yang masih di atas level 50 sehingga masih berada di zona ekspansif. ”Semua tergantung skenario ke depan seperti apa. Pemerintah dan banyak pihak lainnya menilai ekonomi Indonesia masih bagus ke depan, tidak akan resesi, optimisme pelaku usaha juga masih terjaga,” ujarnya.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, peningkatan investasi di sektor industri selama ini selalu mampu memberikan efek pengganda (multiplier effect) yang luas bagi perekonomian nasional.
Selain mampu menambah devisa dan menyerap tenaga kerja, capaian investasi di sektor pengolahan kali ini juga diharapkan bisa memperkuat struktur manufaktur di dalam negeri dan mendorong substitusi impor agar industri nasional bisa lebih berdaya saing di kancah global.
Ia mengatakan, beberapa tahun terakhir ini, investor kebih banyak mengincar sektor produktif, seperti manufaktur, ketimbang sektor lainnya. Ini yang membuat tren investasi di sektor jasa berkurang dan investasi di sektor manufaktur terus bertumbuh.
”Selain mendorong sektor industri padat modal untuk transfer teknologi, kami juga memacu sektor industri padat karya untuk meningkatkan serapan tenaga kerja di dalam negeri,” tutur Agus.